Bersekutu, Berkarya dan Bersaksi...

Injil dan Budaya

I. Pengantar
Membahas tentang perjumpaan Injil dan budaya dewasa ini, mesti dimulai dari “Apa Yang Ada” (tradisi lisan maupun tulisan) atau mengamati apa yang ada dan bukan “Apa Yang Harus Ada”. Dengan demikian pada tahapan ini proses penilaian injil terhadap adat maupun sebaliknya budaya terhadap injil mesti ditanggalkan.
• LOKUS : GPM – Masyarakat Maluku
• TUJUAN-SASARAN : Menemukan sikap menghayati dan mengungkapkan Iman (Injil) dalam konteks GPM.
• PERSOALAN : Bagaimana memposisikan diri dalam menghayati dan mengungkapkan Iman (Injil) dalam konteks orang Maluku … (terhadap hal ini ada yang lebih suka menggunakan istilah AKULTURASI, INKULTURASI atau KONTEKSTUALISASI).
II. Fakta-Fakta Yang Ada
Fakta-fakta dalam kehidupan sosial-keagamaan, sebut saja masyarakat Maluku :
a. satu kelompok masyarakat yang memiliki budaya (adat-istiadat) yang sama, tetapi ada beberapa agama (agama samawi).
b. satu kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan budaya (adat- istiadat dan juga agama (agama samawi)
c. Satu kelompok masyarakat yang memiliki satu agama (agama samawi) dan beberapa budaya (adat-istiadat)
d. Ada kelompok masyarakat yang pola pikir, tingka-laku mereka sangat didominasi oleh Injil dan mereka merasa nyaman, sebaliknya ada yang didominasi oleh budaya (adat-istiadat).
e. Ada yang balance (terkait dengan point c & d).
f. Ada pemahaman bahwa : “Tuhan yang pertama kemudian para Leluhur”, namun dalam prakteknya sebagian besar terbalik.
g. Dalam prakteknya budaya sering didukung oleh Pemerintah dan Masyarakat pada umumnya.
h. Injil harus dapat hidup dan berkarya dalam budaya, misalnya sunat di Pulau Buru; dalam acara-acara tertentu SOPI yang katanya didoakan (disucikan) kemudian diminum,. ANGGUR PERJAMUAN yang salah satu bahan dasarnya adalah SOPI (Lambang : Darah Kristus),. PASAWARI (Memanggil orang Tatua-Para Leluhur) untuk kawali Negeri, bahwa ada kekuatan pada pohon besar atau batu, MENYEMBUKAN ORANG SAKIT : para tua-tua difungsikan, pendeta mungkin dipanggil tetapi dalam banyak kasus bukan yang pertama,…dsb
Inilah beberapa fakta disamping fakta-fakta lain yang dapat ditemukan dalam realitas perjalanan injil dalam konteks gumul GPM.

III. EKSPLORASI Injil & Budaya/Adat-Istiadat
III.1 Apa itu Injil ??? . . .
Injil adalah Ungkapan kabar sekucita atau ungkapan EUANGGELION. Ia adalah sebuah rahasia ILAHI yang tak berawal & tdk berakhir. PAULUS mendefenisikan Injil sebagai kekuatan ALLAH yang menyelamatkan semua orang percaya (baik orang Yahudi tetapi juga orang Yunani… Roma.1:16), karena itu Injil bukan sekedar berita, Ia adalah sebuah kuasa atau lebih tepat Ia adalah sebuah berita atau realitas yang memiliki kuasa yang menyelamatkan. Injil adalah daya yang menyelamatkan dari ALLAH.
Penulis kitab MARKUS berbicara lebih kongrit lagi mengenai Injil. Ia langsung menunjuk kepada YESUS KRISTUS sebagai Injil dari ALLAH… “Inilah Permulaan Injil tentang Yesus Kristus (Markus. 1:1)”.
Lagi-lagi Injil bukan hanya seperangkat prinsip, nilai atau doktrin. Ia adalah realitas yg berwujud dalam diri manusia, bahkan Injil itu sendiri adalah suatu pribadi “YESUS KRISTUS”.
Pemikiran ini dikemukakan juga oleh Karl Barth, Ia berpendapat bahwa ungkapan “Firman Allah” pada awalnya berarti Allah sendiri yang menyatakan diri-Nya melalui sabda-Nya. Kemudian Yesus Kristus juga dinamakan “Firman Allah”…… Emil Brunner juga sependapat dengan K.Barth tentang arti Firman Allah, selanjutya Dia menambahkan bahwa Alkitab adalah Firman Allah sejauh dimengerti bahwa Yesus Kristus itulah pusat kesaksian Alkitab.
Sebagai suatu Pribadi Injil memiliki beberapa kualifikasi :
1. Ia bersifat KEKAL ; … Injil adalah kenyataan ALLAH, Ia mengawali, memenuhi segala sesuatu & memberi makna pada semua yang ada. ini ditegaskan Paulus dalam (Kolose. 1:15) “Ia adalah gambaran ALLAH yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan”… karena itu Injil adalah SANG PENCIPTA sendiri.
Dengan demikian berbicara tentang Injil artinya berbicara tentang YESUS KRISTUS, yang adalah ALLAH juga adanya.
2. Sekalipun bersifat Kekal, Injil ternyata memiliki kemampuan “berubah yang luar biasa”, Ia disebut Paulus sebagai “Kekuatan ALLAH yang menyelamatkan” setiap orang percaya baik orang Yahudi juga org Yunani ….. (Roma. 1:16).
Injil bukan sesuatu yang TAHAN PERUBAHAN atau ANTI PERUBAHAN. Dalam rangka menyelamatkan manusia dari latar belakang berbeda Injil siap MEMBAHARUI & MENGUBAH bentuk kehadiranNya. Karena itu Injil memiliki daya PENYESUAIAN diri yang tinggi sehingga bisa diterima baik Yahudi maupun Yunani.
Karakteristik Injil seperti itu menjadi nyata bagi kita di dalam diri & karya YESUS KRISTUS. Di dalam DIA kita berhadapan dengan KEKUATAN ALLAH yang menyelamatkan setiap orang percaya, dengan kata lain Injil adalah suatu GERAKAN YG BERADA DALAM PERJALANAN DENGAN ALLAH UNTUK MENJUMPAI MANUSIA.
III.2 Apa itu Budaya/ Adat-Istiadat ??? . . .
Budaya sebagai konsep, dipandang sebagai keseluruhan gagasan dari karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya. Kebudayaan dapat dipandang juga sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpertasikan lingkungan dan pengalamannya serta menjadi landasan untuk mewujudkan tingkah lakunya.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia adat adalah aturan yang lazim diturut sejak dahulu kala. Adat istiadat di suatu tempat bisa berbeda dengan adat istiadat di tempat lain.
Menurut Lothar Schreiner,. adat berarti kebiasaan, sesuatu yang dikenal, diketahui, yang sering berulang dilakukan.” Menurut Fridolin Ukur,…. adat mencakup segala-galanya, termasuk bentuk peraturan tindakan seremonial, kultus agamania, tata hukum yang mengatur seluruh perhubungan individu, keluarga dan masyarakat seluruhnya.
Adat istiadat yang mempunyai akibat hukum disebut Hukum Adat. Namun ada adat istiadat yang “tidak” mempunyai akibat hukum yang juga tidak tertulis, tetapi tetap dipelihara oleh suatu kelompok masyarakat, misalnya calon pengantin keluarga prialah yang pergi melamar calon pengantin keluarga wanita.
Di samping adat istiadat, ada kaidah-kaidah yang dinamakan “peraturan (hukum)” yang biasanya dengan sengaja dibuat demi keserasian masyarakat. Di Indonesia, Peraturan (hukum) dimaksud ditetapkan oleh MPR/DPR. Di dalam setiap masyarakat ada yang disebut “pola-pola perilaku”, patterns of behavior. Pola-pola perilaku merupakan cara-cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut. Pola-pola perilaku sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat tersebut. Ada perbedaan antara pola-pola perilaku dengan kebiasaan. Kebiasaan merupakan cara bertindak seseorang (anggota masyarakat) yang kemudian diakui dan mungkin diikuti oleh orang lain, sedang pola perilaku menunjuk kepada norma-norma yang dilakukan dalam “perhubungan dengan orang lain” dalam suatu masyarakat.
Soerjono Soekanto mengatakan, “Istilah keBUDAYAan berasal dari kata Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Culture berasal dari kata Latin colere yang berarti mengalah atau mengerjakan.” Selanjutnya S. Soekanto mengatakan, “Kebudayaan adalah semua hasil dari karya, rasa dan cita-cita masyarakat.”
Setiap kelompok manusia yang kita kenal dengan nama MASYARAKAT memiliki budaya. Ia TERBENTUK DALAM PROSES-PROSES SEJARAH yang panjang dan bersifat historical condition dimana masyarakat itu ada dan berinteraksi. Dalam arti ini, adat istiadat itu bersifat Man Made. Manusia merumuskan budaya dan adat istiadat dengan tujuan, yakni untuk MEMBERI MAKNA KEPADA SELURUH AKTIVITAS dan KARYANYA .
Adat-istiadat menjadi semacam wali atau mandor yang mengarahkan hidup dan biografinya ke arah satu tujuan, sehingga hidupnya menjadi bermakna. Dalam arti bisa disebut sebagai upaya manusia dalam suatu masyarakat untuk merumuskan makna atau arti hidupnya. Meskipun demikian tidak dapat kita sangkal bahwa dalam adat-istiadat itu ada juga dimensi yang bersifat “SUPRA SENSURUN”, arti adat-istiadat merupakan karya dari yang ILAHI,.. keyakinan ini dimiliki dalam hati semua bangsa di muka bumi.
Sebagai suatu fenomena yg bersifat human made, manusia meyakini bahwa adat-istiadat memiliki dimensi KEILAHIAN. Adat merupakan jalan-jalan yg dibangun manusia untuk membangun kontak dengan yang ILAHI atau menjadi kuasa yang disegani, sekaligus digemari menjadi realitas yang memadu kehidupannya sehari-hari. Dalam arti ini Budaya/ Adat-Istiadat juga memiliki kuasa terhadap masyarakat sehingga menjadi tertib & terarah. Jadi, selain bersifat man made adat juga memiliki kuasa.
• Dari Uraian bagian III ini ada dua pokok besar yang diperoleh, terkait dengan Injil dan Budaya/Adat-Istiadat.
1. Injil menunjukan pada realitas ILAHI yang Kekal, ALLAH yang sedang dalam perjalanan menemui manusia. Sedangkan Adat menunjukan pada realitas INSANI, yakni karya cipta manusia untuk membangun jalan untuk datang kepada ALLAH.
2. Injil meskipun merupakan realitas yang KEKAL, Ia bukan sesuatu yang KEBAL atau ANTI PERUBAHAN.
Injil bagi kita sudah disinyalir sangat pekah terhadap konteks dimana Ia dibritakan atau disampaikan.
Sebagai mana kita tahu adalah fenomena masyarakat yg selalu mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Meskipun begitu secara de-fakto Adat-Istiadat-pun dirubah & diperbaharui
IV. Paradigma Relasi Injil & Budaya/Adat-Istiadat
Karena perbedaan-perbedaan ini maka, diskusi mengenai hubungan Injil & Adat sebagai mana mengemuka dalam pemikiran Teologi dalam Gereja dapat dikelompokan dalam 3 arus utama :
1. Kelompok Antitese (Radikal Menentang).
Injil & Adat dianggap sebagai dua realitas yang bukan hanya berbeda tetapi bertentangan & saling meniadakan satu sama lain.
misalnya, ketika para misionaris eropa datang ke Indonesia (Maluku) & menanamkan Gereja (Injil), Orang Kristen di Indonesia diperhadapkan dengan dua Opsi : “menjadi warga atau tetap tinggal dalam kekafiran. Menjadi warga Gereja artinya menggantikan nama KAFIR dengan nama ALKITAB. Tentu saja sikap ini dikembangkan dengan menunjuk pada beberapa referensi Alkitab.
Misalnya; Sikap Yesus dengan tegas menolak adat-istiadat Yahudi sebagai yang tidak berguna lagi & menyalakan hukum atau adat-istiadat baru yang berlaku dalam Kerajaan Allah.
Dalam bahasa Niehbuhr sikap ini disebut “crist against culture”, sikap radikal menolak paham dan pelaksanaan (budaya) oleh warga gereja ini bersikap eksklusif. Otoritas Kristen ditekankan secara mutlak, sehingga keberadaan dewa-dewa dipuji dalam budaya (adat-istiadat) tertutup sama sekali. Bagi kelompok yang bersikap radikal menentang ini, hanya injil dan Kristus yang boleh diberi tempat. Budaya (adat-istiadat) dianggap sebagai berhala yang perlu ditolak, bahkan ditentang. hanya Kristuslah yang berkuasa atas segala kehidupan di bumi, hanya Kristuslah kurban sejati penebus dosa manusia.
Penolakan secara radikal terhadap budaya ini tentunya bertentangan dengan kasih Allah dan perwujudan kehadiranNya melalui budaya. Kita tidak mungkin melepas diri dari budaya yang telah ada. Kita harus realistis bahwa warga gereja selalu berada dalam konteks budaya tertentu & budaya tersebut suka atau tidak selalu membawah pengaruh, bahkan berbenturan dalam kehidupan & kerohanian warga Gereja. Sebab itu kita justru terpanggil untuk menterjemahkan injil dalam budaya.
2. Kelompok Sintesis
Upaya mengsintesis injil dengan Budaya/Adat-istiadat ini sudah mulai dirintis oleh Thomas Aguines pada abad pertengahan. Dalam arus ini injil dan budaya/adat-istiadat dipandang sebagai dua entitas yang meskipun berbeda dan berlawanan arah tetapi berada dalam posisi sejajar. Itu sebabnya pada hal-hal tertentu keduanya bisa dipertemukan untuk sebuah tujuan. Jelasnya ada point of contac antara kedua realitas itu. Sikap yang biasanya dipakai oleh kelompok ini yakni :
a. Sikap Akomodasi/ Menyesuaikan
Sikap kultur yang menekankan kesinambungan injil dan budaya ini, serta peranan akal manusia tanpa Allah tidak dapat dijadikan sikap Gereja dalam menghadapi budaya. Hal ini tentu disebabkan karena sikap akomodatif ini menyingkapkan penyingkapan secara antropologis. Kita memang perlu menerima keberadaan budaya, namun tidak serta merta dalam paham antropologis. Suatu model yang mengutamakan akal manusia, seperti peranan ilmu-ilmu antropologis & sosial, lebih diutamakan dari pada kebenaran firman Tuhan dalam Alkitab. Sikap ini tidak sesuai kita jadikan sikap gereja, karena sikap ini meniadakan batas mendasar antara Allah sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan.
b. Sikap Perpaduan (Mendialogkan)
Bila dibandingkan dengan model sintesis yang dikemukakan oleh Bevans, maka model ini dapat pula disebut model dialektis atau menurut david Tracy model dialogis atau model dwi-cakap. Sikap terhadap budaya, ini mencoba mendialogkan antara injil Kristus dengan kebudayaan. Sikap sintesis terhadap budaya, ini meyakini bahwa budaya memiliki unsur-unsur yang unik dan juga unsur-unsur yang dipunyai bersama dengan konteksnya. Proses dialog antara injil Kristus dan budaya menimbulkan jati diri Gereja (Umat) dan jati diri budaya. Model ini dapat digunakan oleh warga gereja untuk menyikapi budaya tertentu. Sikap ini memerlukan kreatifitas dalam mendialogkan injil Kristus dan budaya sebagai suatu proses, agar identitas atau jati diri keduanya tetap dapat terjaga dengan baik.
c. Sikap Dualis (Sejajarkan)
Sikap warga gereja yang mencoba mensejajarkan injil Kristus dengan budaya. Sikap ini menyebabkan adanya sikap dualis secara praksis. Pada sisi lain sikap ini menerima suatu bagian dari budaya yang dianggap sejajar dengan Injil Kristus. Jadi sikap ini juga melihat adanya kesejajaran yang saling melengkapi, Injil melengkapi budaya dan budaya melengkapi Injil. Namun ada paham dualis ini yang memberi kesan kurang baik. Budaya dinilai sebagai hal yang sudah diracuni sikap tanpa Tuhan, tetapi budaya itu juga memiliki nilai-nilai yang baik yang sejajar dengan Injil. Sikap dualis ini jelas berbicara, bertindak dan berprilaku secara paradoksal. Budaya telah diracuni oleh dosa, tetapi budaya memiliki kesejajaran juga dengan Injil. Sikap yang kurang konsisten dan bersifat filosofis ini menyebabkan kekaburan dan kebingungan bagi kebanyakan umat Kristen.

3. Kelompok yang menilai bahwa Budaya/Adat-Istiadat itu “OTONOM“
Menurut kelompok ini meskipun Budaya/ Adat-Istiadat itu Otonom ia tidak dapat dilihat sebagai realitas di luar Karya Keselamatan Allah yang telah disempurnakan dalam Kristus. Mereka menganggap Budaya/Adat-Istiadat meskipun berkarakter historical conditinal, tetapi juga termasuk dalam orde ciptaan Allah, artinya keberadaan Allah sebagai pencipta tidak hanya berlaku untuk langit dan bumi serta segala isinya, tetapi juga untuk semua karya cipta manusia termasuk Budaya/Adat-Istiadat.
Bahwa kebudayaan adalah kegiatan akal dan rasa manusia dalam mengelolah dan menguasai alam untuk kebutuhan kehidupan jasmani dan rohani. Sebab itu kebudayaan harus dinamis dan dikembangkan senantiasa di dalam suatu pergumulan rangkap yaitu pergumulan manusia dalam hubungan dengan Allah dan dunia.
Disatu pihak tugas kebudayaan adalah tugas dari Allah yang harus ditaati, tetapi dipihak lain sikap ini sadar sepenuhnya mengenai penghakiman Allah berlaku juga atas kebudayaan.. budaya dipahami sebagai sarana dan usaha manusia memuliakan Allah, namun budaya juga disadari sekaligus sebagai pembenaran dan penghukuman atas budaya. Budaya oleh salib Kristus dibaharui sebagai bagian dari kehidupan baru dan pengudusan. Dengan demikian budaya juga diselamatkan seperti manusia yang diselamatkan karena karya Kristus, budaya dibaharui dan diselamatakan
V. Catatan Kritis
Dari kajian di atas ada beberapa hal mendasar yang menjadi pegangan ketika seseorang ingin mengungkapkan iman (keKristenan) pada kelompok masyarakat tertentu (Khusus masyarakat Maluku) antara lain :
a. manusia tidak bisa terlepas Dari Budaya/Adat-Istiadat
b. budaya/Adat-Istiadat “MENYIMPAN MAKNA” yang terdalam dari aktivitas masyarakat, entah itu melalui simbol-simbol, upacara-upacara, kepercayaan-kepercayaan masyarakat, dengan demikian perlu melakukan pengkajian/ studi antropologis dan sosiologis masyarakat setempat yang dibarengi dengan penelaahan Teologis, ini mencakup :
a. memahami sudut pandang atau gagasan para Masyarakat setempat.
b. memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka.
c. menilai peristiwa-peristiwa tersebut pada konteksnya.
d. tugas hermeneutis merupakan tugas untuk memahami situasi dan membongkar secara kritis ketidakberartian yang ditemukan dalam Budaya/Adat-Istiadat.
Dengan demikian menghayati dan mengungkap Injil atau Iman (Kekristenan) benar-benar TerKontekstualisasi.

PUSTAKA ;
Alkitab, Jakarta: LAI,2005
Bevans. Stephen.B, Model-model teologi kontekstual, Maumere: Lembaga pembentukan berlanjut Arnold Janssen seminari tinggi ledalero,2000).
F. Ukur, Tantang Djawab Suku Dajak, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Geretz Clifford. Kebudayaan dan Agama, Yokyakarta : Kanisius, 1992
Hartoko Dick, etr. Memanusiakan Manusia Muda, Jakarta : Kanisius. 1985
Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jilid I A-CER, Jakarta: Ichtiar Baru ; Van Hoeve, 1980.
Konebtjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka,2000.
L. Schreiner, Telah Kudengar dari Ayahku. Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah
Plaisier A.J. Manusia Gambar Allah, Jakarta : BPK Gunung Mulia. 2000
Singgih.E.G. Perjumpaan Gereja & Budaya,(Hartono. Charis,dkk) perjumpaan gereja di INA dengan dunia-dunia yang sedang berubah, Jakarta : Persetia,1995.
Soekanto, Sosiologi. Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers,1992.
W.J.S. Poerwadarminta, et al., Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.