Bersekutu, Berkarya dan Bersaksi...

Refleksi HUT Anak 1 Tahun

Bacaan Alkitab : Ratapan 3:22-25
Oleh : Maria Hukubun, S.Si

Kasih-Nya seperti sungai, Kasih-Nya seperti sungai…
Itulah penggalan syair lagu yang sering kita dengar dan nyanyikan. Lagu yang mengungkapkan kasih dan kemurahan TUHAN yang luar biasa dan tak pernah berhenti di hidup ini. Demikian juga yang dikatakan oleh penulis kitab Ratapan dalam teks saat ini.
Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, Tak Habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi.
Kasih itulah yang kita rasakan dan kasih itulah yang telah mengantar anak terkasih sampai hari ini. 1 tahun perjalanan boleh dijalani, tentu tidak terlepas dari peran orang tua, Papa dan Mama dalam proses pembimbingan, pemeliharaan bahkan cinta dan kasih sayang yang selalu diberikan dan itu menjadi kekuatan bagi anak terkasih dalam pertumbuhannya. Karena keluarga adalah basis pendidikan, dengan demikian, nilai-nilai moral, rohani mesti ditanamkan sejak dini. Bagaimanapun kesulitan yang dihadapi orang tua dalam mendidik anak, tentunya hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk membiarkan anak berjalan sendiri mencari jati dirinya. Pendidikan dari orang tua yang tekun dan penuh kasih disertai doa yang sungguh untuk perkembangan dan pertumbuhan anak …. sangat diperlukan. Anak … menjadi baik tergantung upaya Papa-Mama dalam menanamkan nilai-nilai yang sesuai dengan iman Kristiani. Dan tetap mengundang TUHAN hadir dalam kehidupan keluarga, supaya dari keluarga ini lahir anak yang takut TUHAN. Bagian firman TUHAN ini, menyadarkan kita kembali untuk tetap melihat kasih dan kemurahan TUHAN yang luar biasa di hidup ini. Semoga ungkapan syukur dan terima kasih kita di saat ini. Selamat Ulang Tahun, Tuhan Yesus sayang selalu,Amin
Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

Lagu Pujian

1. SATU HAL YANG KU RINDU
Satu hal yang kurindu, berdiam didalam rumah-Mu
Satu hal yang kupinta menikmati bait-Mu tuhan
Lebih baik satu hari di pelataran-Mu
Dari pada sribu hari di tempat lain
Memuji-Mu menyembah-Mu Kau Allah yang hidup
Dan menikmati s’mua kemurahan-Mu
2. BAGAIKAN BEJANA
Bagaikan bejana siap dibentuk
Demikian hidupku ditangan-Mu
Dengan urapan kuasa roh-Mu, ku dibaharui selalu
Jadikan ku alat dalam rumah-Mu
Inilah hidupku ditangnMu
Bentuklah sturut kehendak-Mu
Pakailah sesuai rencana-Mu
Kumau sperti-Mu Yesus, di sempurnakan slalu
Dalam segnap jalanku, memuliakan nama-Mu
3. SEKARANG B’RI SYUKUR
Sekarang b’ri syukur,besarkan nama Tuhan
Pemimpin hidup mu,yang mendengar seruan
Yang oleh anaknya,memb’ri anugerah
Dan tak terbilang pun mujisat berkatnya
4. PERSEMBAHAN HATI
Bilang pada ku hari ‘ni, barang yang patut ku b’ri,
Hati berdosa begini, boleh kah Tuhan tragli
Meski dosa ku pun banyak,,Tuhan sucikan bersih
Hati yang engkau hai anak, hendak membawa dan b’ri
Hati yang engkau hai anak, hendak membawa dan b’ri
5. KU UTUS KAU
Ku utus kau mengabdi tanpa pamrih
Berkarya t’rus dengan hati teguh
Meski dihina dan menanggung duka
Ku utus kau mengabdi bagi ku
Ku utus kau tinggalkan ambisi mu
Padamkanlah segala ambisi mu
Namun berkaryalah dengan sesama
Ku utus kau bersatulah teguh
Kuutus kau mencari sesama mu
Yang hatinya tegar terbelenggu
Tuk menyelami karya di kalvari
Ku utus kau mengiring langkah ku
Coda : Kar’na bapa mengutus ku,ku utus kau
6. BAWA PERSEMBAHAN MU
Bawa persembahan mu dalam rumah Tuhan
Dengan relah hati mu janganlah jemu
Bawa persembahan mu,bawa dengan suka
Reef : Bawa persembahan mu,tanda suka cita mu
Bawa persembahan mu,ucaplah syukur
Persembahkan diri mu untuk Tuhan pakai
Agar kerajaanNya makin nyatalah
Damai dan sejahtera diberikan Tuhan
Reef :
7. JANGAN LELAH BEKERJA DILADANGNYA TUHAN
Jangan lelah bekerja diladangnya Tuhan
Roh kudus yang bri kekuatan,yang mengajar dan menopang
Tiada lelah bekerja bersama mu Tuhan,yang selalu mencukupka….a….a..an, akan segalanya
Reef : ratakan tanah bergelombang,
Timbunlah tanah yang berlubang
Menjadi siap di bangun
Di atas dasar Iman.(2x)
Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

Contoh Liturgi

LITURGI IBADAH PERSEKUTUAN GIAFIDRISA
Rabu, 07- Juli- 2010
TEMA: MAZMUR KU – PUJIAN KU

I. MENGHADAP TUHAN (Berdiri )
• Pujian: Satu hal yg kurindu
• Doa pembukaan: Mazmur 84:2-11a
• Pujian: Bagaikan bejana (Duduk )
II. MAZMUR PUJI-PUJIAN
• Mazmur 118: 1-4
• Pujian: Ny Roh 16:1 Sekarang B’ri syukur
III. GIAFIDRISA MENGAKU DOSA
• Mazmur 51: 3-12
• Pujian: DSL 32:1 Bilang padaku hari’ ni
Iv. PELAYANAN FIRMAN
• Doa: Mazmur 119: 33-40
• PA : Mazmur 73:1-28
• Pujian: PKJ. 182 : 1,2,4,5 Ku utus kau
v. PERSEMBAHAN SYUKUR
• Mazmur 128: 1,2.
• Pujian: PKJ.146: 1 dst Bawa persembahanmu
VI. DOA SYUKUR (Mazmur 139: 1-24)
VII. PENGUTUSAN DAN BERKAT (Berdiri)
PENGUTUSAN:
GIAFIDRISA berada dalam kapal yang satu dan sama GIAFIDRISA harus berlayar bersama-sama, karena GIAFIDRISA adalah saudara, yang menuju tujuan akhir yang sama. Matahari menari gembira di langit, ikan-ikan pun berenang riang di laut menyambut persekutuan yang indah dan manis. GIAFIDRISA bersekutu dalam 1 kapal tanpa membedakan satu dengan yang lain, karena kita semua adalah sama. GIAFIDRISA tetap saudara dalam lautan semesta, dibawah matahari yg sama, dihembusi angin yg sama pula. Dan GIAFIDRISA bersatu tekad untuk tetap berjuang bersama-sama, karena ada 1 Nahkoda yg sanggup membawa kita menuju tempat Perlabuhan yg sejati !!!!
BERKAT:
• Mazmur: 41: 13-14. Mzm 21;5-8
• Pujian: Jangan lelah bekerja di ladangnya Tuhan

GB – GIAFIDRISA
“By.T73110X”
Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

Mengapa Perlu Ibadah/Liturgi Yang Kreatif ?

Ibadah yang kreatif seharusnya menjadi karya yang berkualitas, yang terbaik kita berikan kepada Allah dan membangun kita sebagai umat-Nya. Ibadah yang kreatif adalah ibadah yang Utuh, memiliki struktur liturgy yang utuh yaitu: Komunikasi antara Allah dan manusia (dialogis: Anabatis-Katabatis) Anabatis : Allah menawarkan kasih kepada manusia, Katabatis : Tanggapan manusia atas karya Allah, Pengenangan sebagai perayaan kehadiran karya keselamatan Allah di dalam Kristus (anamnesis) Seruan permohonan bagi turunnya Roh Kudus (eplikesis) Menghadirkan kehadiran Kristus yang dilambangkan dalam ruang, benda dan aktivitas ibadah (simbolis) Kontekstual, berkarya sesuai dengan situasi dan kondisi untuk lebih membangun umat. Sesuai tahun liturgi, sejalan dengan siklus perayaan liturgi setiap tahunnya dari masa adven – natal – epifania – pra paskah – paskah – kenaikan Tuhan Yesus – Pentakosta – minggu biasa Siklus tahun liturgi telah dibuat gereja dengan menggunakan sistem yang telah ada dalam budaya masyarakat yakni sistem bulan dan matahari. Masa raya ini diatur sedemikian rupa agar jemaat dapat merayakan, memahami dan mengenang karya agung Allah secara utuh dalam satu tahun. Tematik, memiliki tema setiap minggu yang menjadi fokus dalam pembinaan umat. Ke empat hal di atas merupakan hal yang seharusnya ada dalam ibadah, bisa tersurat maupun tersirat dalam perayaan kita. Sedangkan tata ibadah memuat susunan unsur-unsur liturgi yang kita lakukan bersama. Tata ibadah disusun supaya ibadah itu tertib, teratur dan khidmat. Tata ibadah sendiri bukanlah tujuan, melainkan alat untuk melayani Tuhan dalam perayaan kita. Semua itu dapat dibuat sekreatif, seindah, semenarik mungkin namun juga maknawi, sebagai abodah kepada Tuhan. Tiada yang lebih indah dari segalanya selain membuat karya yang terbaik sebagai ungkapan syukur kepada Sumber Kehidupan selamat melayani Tuhan.

Cara Pengerjaan Liturgi Kreatif
Setiap liturgi pada dirinya telah kreatif. Karena sesungguhnya disusun dari realitas hidup masyarakat/umat yang riil. Yang diperlukan sesungguhnya adalah kreatifitas liturgi. Terkait dengan itu, inti liturgi adalah pemberitaan firman, maka kreatifitas liturgi harus dilaksanakan sebagai cara mengimplementasi firman secara nyata dalam ibadah dan kehidupan nyata. Ada korelasi yang jelas antara keduanya. Kreatifitas liturgi itu harus membuat ibadah bersentuhan langsung dengan pergumulan nyata umat. Karena itu mesti dapat mengakomodasi atau mengangkat realitas kehidupan umat secara khusus ke dalam ibadah. Maka setiap unsur liturgi dapat dikreasikan. Prinsipnya adalah isi dari unsur-unsur itu harus benar-benar mewakili atau memuat unsur-unsur pergumulan nyata umat. Kemasan liturgi tidak boleh berbau asing dari kehidupan nyata umat. Kemasannya harus ‘berbau’ umat setempat dan bukan ‘bau asing’. Demikian pun firman yang diberitakan harus benar-benar menjawab pergumulan nyata umat, dan bukan menceritakan sepakterjang sejarah masyarakat Israel Alkitab. Teks Alkitab yang dipakai harus pertama-tama dibaca dari perspektif sosial umat setempat, kemudian ditafsir dengan menggunakan kacamata orang setempat (tafsir sosiologis), lalu seluruh dinamikanya coba diresapi ke dalam dinamika orang-orang setempat pula. Kreatifitas liturgi harus memperhatikan isu pokok yang penting sebagai pokok pergumulan liturgi. Jika ada isu, maka seluruh unsur dan perangkat liturgis dapat dikreasikan sesuai dengan isu itu. Jika itu dilakukan, ibadah dan semua perangkat liturgisnya adalah benar-benar ‘milik kita’.

Beberapa Hal Penting Untuk Membuat Liturgi Kreatif
Berikut ini di sajikan bebrapa hal penting yang harus diperhatikan dalam membuat suatu bentuk liturgy yang Kreatif :
1. Siapa peserta Ibadahnya?? Pemuda, SM-TPI, Pelayanan Perempuan/laki-laki?? Berapa jumlahnya?? Hal ini penting untuk menciptakan suasana dialog dalam liturgy dengan membagi peran sehingga semua umat berpartisipasi.
2. Dimana tempat ibadah itu dilaksanakan ? Di luar gedung seperti di pantai, gunung, lapangan, dan sebagainya, atau di dalam gedung. Suatu tempat ibadah yang baik mengandug beberapa unsur :
a. Tempatnya indah, (Beautiful) karena itu kita dapat mempergunakan simbol-simbol liturgi seperti lilin, salib, bunga, dan sebagainya.
b. Tempat ibadah dapat menciptakan suasana oikumenis
c. Tempat ibadah dapat memungkinkan semua peserta ibadah dapat berpartisipasi aktif, hindarilah sikap umat untuk menjadi penonton.
d. Biarlah tema ibadah mempengaruhi suasana ibadah itu.
3. Apa tema dan sub tema ibadah itu ? Natal, syukur HUT, dan sebagainya? Ingatlah bahwa tema setiap perayaan (Ibadah) dapat mempengaruhi suasana ibadah itu sendiri.
4. Musik pendukung apa yang dipergunakan? Musik tradisional / etnis atau musik barat ? hal ini berhubungan dengan pemilihan lagu dan iringannya serta fungsi yang tepat dari setiap musik pengiring.
5. Apakah ada juga musik gerejawi sekunder lainnya yang akan terlibat dalam ibadah itu ? (PS,VG,Solo,Dan lain-lain) hal ini berhubungan dengan fungsi prokantor atau pelayan musik dari PS,DLL.
6. Apakah perlu adanya tim pendukung liturgi? (TPL). Hal ini berhubungan dengan peran symbol liturgi pada akta liturgi tertentu yang dapat dimainkan atau didramatisasi.
7. Buku-buku lagu sebagai sumber nyanyian ibadah juga dipersiapkan.
8. Berapa lamanya waktu yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan ibadah itu? Hal ini penting agar waktu yang disediakan dapat dipergunakan sebaik-baiknya, sehingga ibadahnya tidak panjang dan membosankan.
9. Siapa-siapa yang menjadi pelayan ibadah itu?(pelayan I dan pelayan II misalnya). Hal ini berhubungan dengan pembagian perannya.
10. Sesudah itu buatlah kerangka dasar liturgi dengan berpedoman pada 4 unsur penting:
Persiapan dan Menghadap Tuhan
Pelayanan Firman
Respons atas Firman Tuhan
Pengutusan dan Berkat
11. Mengkaji ulang kerangka itu, kalau sudah oke, kerjakan isinya untuk siap dipergunakan!!!!
Demikian hal-hal yang berkaitan dengan litirgi kreatif, kiranya dapat di gunakan untuk menata pelayanan sebagai calon-calon hamba Tuhan ke depa, Tuhan Memberkati kita sekalian.
Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

MAKNA UNSUR-UNSUR DALAM LITURGI

Ada banyak teori mengenai unsur-unsur liturgi (baca. Abineno). Bahkan dalam Tata Ibadah GPM, kita bisa melihat beragam unsur, antara Model A-F (Liturgi lama) atau Minggi I-V (Liturgi baru yang sedang disosialisasi). Demikian pun tata ibadah Wadah Pelayanan, Unit/Sektor. Unsur-unsur itu dinamai secara beragam dan ada unsur tertentu yang tidak ada dalam suatu model tertentu. Terlepas dari semua variasi itu, ada tujuh unsur pokok di dalam liturgi, yaitu [1] Votum; [2] Pengakuan Dosa, Pengampunan Dosa dan Petunjuk Hidup Baru; [3] Pemberitaan Firman; [4] Respons dan Jawaban umat, dalam bentuk [4.1] Pengakuan Iman; dan [4.2] Persembahan Syukur; [5] Doa Syafaat; dan [6] Pengutusan dan Berkat. Setiap unsur dikembangkan di dalam setiap liturgi di semua kalangan kristen, hanya dengan metode dan pola pengembangan yang tentu berbeda pada masing-masingnya. Saya tidak membahas kebedaan itu, karena yang penting adalah apa makna dari setiap unsur itu. Pengembangannya dapat dilakukan oleh siapa saja, dengan pola liturgi apa pun yang dikreasikannya. [1] Votum, adalah proklamasi yang menandai bahwa Tuhan telah masuk ke dalam Ibadah, dan melandasi ibadah itu. Artinya ibadah adalah perintah Tuhan kepada umat, sehingga melaluinya umat berjumpa dengan Tuhan. Secara formulatif, proklamasi itu berbunyi ‘Ibadah ini berlangsung dalam nama Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus’. Dengan demikian Votum bukanlah doa permulaan ibadah. [2] Pengakuan Dosa, Berita Anugerah Pengampunan Dosa dan Petunjuk Hidup Baru. Setiap manusia yang beribadah adalah orang berdosa. Di dalam ibadah ia akan mengalami suatu anugerah pengampunan dosa, setelah ia mengakui dosanya. Pengampunan dosa akan diikuti oleh petunjuk hidup yang baru, agar umat hidup sesuai dengan firman dan kehendak Tuhan, dan tidak melakukan dosa yang sama itu lagi. Pengakuan dosa berarti manusia merendahkan diri di hadapan hadirat Allah yang kudus, lalu memohonkan anugerah dan Allah memberi perintah yang baru untuk dilakukan. [3] Pemberitaan Firman. Ibadah protestan berpusat pada pemberitaan Firman (bnd, konsep sola scriptura). Artinya Tuhan yang menyapa umat dalam ibadah adalah Tuhan yang memberi firman kepada mereka. Ia hadir di dalam ibadah dan bertindak melalui firmanNya. Karena itu, setiap pemberitaan firman (khotbah) adalah penyampaian maksud dan kehendak Tuhan kepada manusia. Untuk itu, khotbah berisi pesan firman, dan bukan pesan pengkhotbah. [4] Respons atau Jawaban Umat. Umat yang mendengar Firman adalah umat yang meresponi Tuhan. Ada dua bentuk respons umat dalam ibadah yaitu: [4.1] Pengakuan Iman (affirmasi), yaitu bentuk respons umat tentang siapa Tuhan yang memberi kepadanya pengampunan dosa dan firmanNya. Pengakuan Iman ini adalah pernyataan kepercayaan umat/gereja yang ada di dalam dunia, di dalam pergumulan dengan realitas dunianya. Gereja yang sadar bahwa dalam pergumulan itu, Tuhan tidak meninggalkan dia. Pengakuan iman juga mengandung janji eskhatologis yaitu kasih setia Tuhan yang tetap nyata di dalam hidup umat/gereja.
[4.2] Persembahan syukur (offerings). Unsur ini adalah unsur respons umat terhadap realitas anugerah yang ia terima dari Tuhan di dalam hidup sehari-hari. Persembahan yang dipolakan dalam liturgi adalah manifestasi dari tindakan pelayanan umat dalam hidup sesehari. Karena itu, persembahan di dalam ibadah harus menjadi spirit yang terus menyemangati pelayanan sosial di dunia. Artinya, ibadah protestan adalah ibadah yang terbuka dan terarah ke dunia. [5] Syafaat. Unsur ini adalah doa yang biasa diselenggarakan di dalam ibadah. Syafaat berarti doa bersama secara pasti/tepat/tegas/tidak berubah. Kata itu sendiri berarti hukum. Tetapi ada aspek perilaku yang berhubungan dengan hukum dalam kata itu, yaitu ‘kesetiaan’ atau ‘kepatuhan’ terhadap hukum. Karena itu ‘syafaat’ dimengerti sebagai doa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan umat dituntut untuk setia dan patuh terhadap apa saja yang didoakan.
Syafaat adalah doa umum yang dipimpin oleh Juru Doa (Pendeta/Pendoa). Dalam kebiasaannya, syafaat biasa diakhiri dengan berdoa Bapa Kami secara bersama-sama, sebagai cara melibatkan jemaat dalam aktifitas berdoa secara bersama itu. [Doa Bapa Kami bukanlah Doa sempurna, melainkan salah satu bentuk doa yang diajarkan [Yesus] kepada umat, agar mereka bisa berdoa [bersama-sama]. Juga bukan pelengkap doa syafaat, tetapi cara gereja melibatkan jemaat dalam doa umum. [6] Pengutusan dan Berkat. Unsur ini merupakan unsur penting dalam liturgi.umat yang beribadah adalah umat yang telah mengalami perjumpaan dengan seluruh realitas anugerah Tuhan. Umat telah mendengar firmanNya, dan diutus ke dunia untuk bersaksi tentang Tuhan yang ia jumpai dalam ibadah di tengah hidup sesehari. Karena itu, berkat Tuhan adalah jaminan dasar dari kesaksian hidup manusia/umat. Di situ berarti ada korelasi yang jelas antara ibadah dengan tugas di dunia. Semua unsur itu berhubungan satu dengan lainnya, dan saling menopang. Selain itu, aspek spontanitas umat yang tidak boleh diabaikan dalam liturgi adalah Nyanyian Umat. Ini adalah bentuk ekspresi umat yang harus dibiarkan bertumbuh secara spontan. Ada dua corak nyanyian jemaat, yaitu nyanyian primer dan nyanyian sekunder. Nyanyian primer adalah nyanyian umat secara bersama-sama, sedangkan nyanyian sekunder adalah nyanyian yang biasa dinyanyikan secara khusus oleh kelompok Paduan Suara (Chorus), Vocal Group, dll. Penempatan nyanyian sekunder dalam liturgi lebih tepat pada bagian Respons Umat.
Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

Sejarah Perkembangan dan Pembaruan Liturgi

Selama dekade abad dua puluh liturgi Gereja mengalami beberapa tahap perkembangan. Perkembangan itu terlihat dalam tahap warna ibadah dengan lahirnya berbagai bentuk simbol. Pada awalnya peribadahan Gereja berakar dari tradisi oral dan ritual di zaman umat Israel dalam Perjanjian Lama. Pengajaran di Bait Allah, Sinagoge dan rumah tangga cenderung dilakukan dengan ritual oleh para Imam (bnd Luk.4: 16-22). Bentuk pengajaran di luar ruang ibadah cenderung dilakukan dengan cara oral oleh orang-orang tua, para Hakim dan para Nabi (bnd Ul.6: 4-9).
Sejak lahirnya Gereja pada abad pertama hingga akhir Abad Pertengahan warna peribadahan Gereja sangat kuat pada tradisi oral, ritual dan visual dengan pemeran sentral ibadah adalah umat. Pengajaran kepada umat disampaikan melalui drama, homili, ritus-ritus, gambar, hari-hari raya, jenis-jenis ibadah dan berbagai benda pendukung liturgi. Pada masa kini umat mengenal kisah-kisah Alkitab dan pengajaran Gereja melalui peribadahan oral dan ritual tersebut.
Pada akhir Abad Pertengahan partisipasi umat dalam peribadahan lambat laun menurun karena perdebatan teologis tentang kedudukan klerus dan umat dalam Gereja juga karena perselisihan intern Gereja.
Reformasi membawa dampak perubahan warna ibadah dari ritual menjadi didaktik. Pada akhir Abad Pertengahan tampilan liturgi yang berpusat pada imam, sakramen, dan cenderung teaterikal digeser menjadi liturgi yang berpusat pada pemberitaan Firman Tuhan dan mimbar. Didaktik dalam liturgi hampir seluruhnya verbalisme dan tata gerak serta pemakaian simbol-simbol tidak terlalu ditekankan. Segala sesuatu: simbol, edukasi, misteri doa, komitmen, disampaikan secara verbal dari mimbar. Bersama dengan lahirnya peribadahan injili abad ke-19, altar call menjadi model ibadah yang dominan di sebagian besar di Gereja . Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

MERANGKAI IBADAH KREATIF

Arti Ibadah/Liturgi
Ada berbagai istilah yang kita kenal dan sering kita pakai dalam persekutuan gereja. Ada yang memakai istilah liturgi, ibadah atau kebaktian. Yang mana yang benar? Semua benar, jika kita memahaminya sebagai ungkapan diri kita sepenuhnya kepada Allah. Kata Liturgi berasal dari bahasa Yunani leitourgia (ergon: karya; leitos atau kata sifatnya laos: bangsa). Jadi secara harfiah, leitourgia berarti karya atau pelayanan yang dibaktikan untuk kepentingan bangsa. Sejak abad 4 SM, pemakaian kata leitourgia ini diperluas, yakni untuk menyebut berbagai macam karya pelayanan, demikian juga dalam arti kultus, leitourgia berarti pelayanan ibadah, karya untuk Allah. Ibadah sendiri berasal dari bahasa Ibrani Abodah yang berarti bakti, dan kemudian acaranya kita sering sebut kebaktian. Ketika kita memahaminya sebagai karya dan bakti kepada Allah, sudah tentu karya itu harus baik, bagus, teratur, khidmat, sebagai ungkapan syukur kita kepada Allah. Ibadah bukan merupakan karya pemimpin dan milik satu orang saja. Ibadah merupakan karya umat. Seluruh umat berkarya dan mengungkapkan syukur kepada Allah bersama-sama.
Ibadah merupakan suatu aktifitas agama yang dikemas sedemikian rupa sehingga tampak kesakralannya. Kesakralan itu dikemas melalui suatu tata liturgi, sehingga umat yang beribadah masuk dalam situasi yang khusuk, beralih dari dunianya, dari aktifitas kesehariannya, dan merasakan ‘kehadiran Tuhan’ (God Presence) di dalam ibadah itu. Pengertian lain memahamkan ibadah sebagai aktifitas pelayanan dalam ruang sosial, melalui serangkaian perbuatan baik, atau pekerjaan baik yang mendatangkan keadilan, kebenaran, kesejahteraan kepada orang lain/sesama. Ketika digunakan dalam lingkungan ritus agama, ibadah lalu dibawa masuk ke dalam hubungan antara Tuhan dengan umat. Bentuk relasi sosial tadi diubah menjadi suatu relasi ritual yang terkadang mistis. Karena itu aspek pelayanan dimengerti sebagai pelayanan ritual.
Aspek ekspresi umat sebetulnya yang menjadi hal penting dalam liturgi. Ekspresi yang muncul sebagai cara umat meresponi Tuhan yang telah menyatakan diri dan hadir di dalam kehidupan mereka. Orang-orang Yahudi lebih suka memahami tindakan itu sebagai ‘abodah’ yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘wor[k]ship’. Kedua istilah itu menunjuk pada ada suatu sistem yang teratur di dalam tindakan melayani. Artinya sebuah realitas pelayanan itu tidak dilakukan secara serampangan, tanpa aturan dan tanpa tujuan.
Tidak sedikit para teolog praktika Indonesia yang merasa tidak puas melihat praktek liturgi Gereja-gereja di Indonesia masa kini, Salah seorang di antaranya J.L.Ch.Abineno dalam pidato Dies Natalis STT-Jakarta, pada tanggal 27 September 1962, mengungkapkan bahwa bentuk tata ibadah yang dipakai Gereja-gereja di Indonesia merupakan pengambilalihan dengan atau tanpa perubahan dari Gereja-gereja Barat. Pengimporan bentuk-bentuk dari barat ini telah terjadi berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus tahun lamanya. Hal senada juga disampaikan oleh Muller Kruger seorang teolog Jerman yang lama bekerja di Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk pelayanan yang diimpor dari Barat (oleh Gereja-gereja di Indonesia) diterima begitu saja, sehingga hampir-hampir tidak dirasakan sebagai bentuk-bentuk asing.
Rumusan dalam setiap unsur-unsur liturgi menggunakan kata-kata yang meskipun sulit dimengerti dianggap sudah baku dan tidak boleh diubah. H. Kraemer juga mencatat sekalipun Gereja-gereja muda telah merdeka atau otonom dan memerintah sendiri, tetapi dalam struktur dan gaya ekspresinya masih merupakan koloni spiritual dari Barat.
Terhadap kenyataan ini, beberapa pimpinan dan ahli teologi Gereja-gereja di Indonesia pada masa itu mulai sadar bahwa ternyata Indonesia belum lepas dari “penjajahan spiritual” karena semua liturgi pada waktu itu hanya merupakan warisan dan sebetulnya tidak relevan lagi untuk kebutuhan iman jemaat saat ini.
Di kalangan protestan, pembaruan liturgi sejalan dengan gerakan oikumenis. Puncak pembaruan adalah Liturgi Lima tahun 1982 di Peru melalui konferensi Komisi Iman dan Tata Gereja dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD). Secara umum telah terjadi penerbitan revisi buku-buku liturgi Gereja. Baik penyesuaian maupun gerakan liturgis memberi pembaruan pada unsur-unsur dalam liturgi. Tata ibadah termasuk tata ruang, para petugas, simbol-simbol, tata gerak, musik dan sakramen yang seluruhnya dalam liturgi ditempatkan dalam pemahaman kontekstualitas dalam semangat gerakan liturgi.
Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

KETUA-KETUA SINODE YANG BERTUGAS 1935-SEKARANG

- Pdt J. E. Stap (1935-1938)
- Pdt G. Hamel (1938-1940)
- Pdt W. Van Oest (1940-1942)
- Pdt S. Marantika (1942-1946)
- Pdt A. Poot (1946-1947)
- Pdt J. Van Wick (1947-1948)
- Juriaanse (1948)
- Pdt dr. Ch. C. Geissler (1948-1949)
- Pdt S. Marantika (1949-1953)
- Pdt Chr. MAtaheru (1953-1957)
- Pdt F. H. De fretes (1957-1961)
- Pdt Th. P. Pattiasina (1961-1976)
- Pdt. Dr. A. N (1978-1987)
- Pdt A. J. Soplantila (1987-1995)
- Pdt S. P. Titaley (1995-2000)
- Pdt I. W. J. Hendriks (2000-2005)
- Pdt. J. Ch. Ruhulessin (2005-2015)
Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

Nama-nama Klasis di GPM

- Ternate
- Bacan
- Pp Sula
- Pp Obi
- Buru Utara
- Buru Selatan
- Seram Utara
- Taniwel
- Seram Barat
- Kairatu
- Masohi
- Teluti
- Seram timur
- Lease
- Kota Ambon
- Pulau Ambon
- Banda
- Kei Kecil
- Kei Besar
- Pp Aru
- Tanimbar Utara
- Tanimbar Selatan
- Barbar
- Pp Kisar
- Lemola (Leti, moa, lakor) Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

SEJARAH BERDIRINYA GEREJA PROTESTAN MALUKU

Gereja Protestan Maluku adalah gereja yang berasal dari “indische kerk” atau gereja Protestan Indonesia. Indische kerk adalah gereja yang dibangun oleh VOC sejak tahun 1602-1800. Pada masa itu semua biaya pelayanan yang dibutuhkan gereja menyangkut pembangunan, penerbitan bacaan serta pembiayaan gaji para pendeta dan “penghibur orang sakit” di bayar oleh VOC. Semua itu dilakukan VOC karena ia adalah penguasa Kristen sehingga gereja hindia Belanda di sebut “gereja negara”. Mengikuti gereja induknya di Belanda, maka gereja yang dibentuk oleh VOC di Maluku bercorak calvinisme. Saat itu gereja di Maluku belum mandiri lepas dari pemerintah VOC.
Selama hampir dua setengah abad, Gereja di Maluku mengalami proses perkembangan dengan pembagian sebagai berikut:
1. Tahun 1540-1605, usaha misi portogis serta pengkristenan yang pertama
2. Tahun 1605-1815, gereja di Maluku dibawa pemerintahan VOC samapi 1800-an dan jangkah pendek yang berikutnya di bawah pemeliharan pekabaran Inggris (1814-1817)
3. Tahun 1815-1864, hidupnya kembali gereja di Maluku oleh usaha pekabaran injil NZG dalam kerjasamanya dengan gereja protestan.
4. Tahun 1864-1935, gereja di maluku di bawah pimpinan gereja protestan serta perkembangannya.
Pada rapat GPI tahun 1933 di Jakarta ditetapkan pemisahan GPI dari negarasecara administrasi tetapi perpisahan secara keuangan masih ditangguhkan. Sebelum rapat tersebut pada tanggal 19 mei 1933 di Maluku telah dibentuk badan sinode dan mengadahkan sidang pada tanggal 24-27 Maret 1933 yang membicarakan tetang:
- Nama Gereja Maluku-Gereja Maluku Injili (GMIA)
- Tata gereja GMIA
Proto Sinode yang ke dua berlangsung pada tanggal 7 Desember 1933 yang membicarakan:
- Usul problem tata gereja
- Usul problem nama GMIA menjadi GPM
- Membicarakan surat terbuka AMK (autonome Maluksche kerk) dan komite ummum menyangkut bentuk dan tata gereja
Hingga sidang proto terakhir 5 september 1935 yang membicarakan tentang:
- Penyerahan kepemimpinan kependetaan GPI Resort Amboina kepada pemimpin Badan Pekerja Sinode GPM
- Diterima dan diberlakukan tata gereja GPM yang sudah disahkan oleh GPI
- Acara upacara pelantikan GPM tanggal 6 September 1935
- Acara persidangan sinode pertama pada tanggal 7 september 1935

Setelah berdiri pada tanggal 6 september 1935maka pengesahannya dilakukan pada tahun 1936, bersama-sama dengan tata gereja.
Ketua Sinode GPM yang pertama adalah Pdt J. E. Stap dan Wakil ketua Pdt Tutuarima.
Struktur Badan Pekerja Sinode pada saat itu beranggota 10 orang, 7 diantaranya pendeta.
Dibentuklah 7 klasis yaitu: Ambon, Lease, Seram Barat, Seram Timur, Banda, dan Tarnate serta Ambon Kota.
Selain itu terdapat wilayah yang merupakan bagian dari GPM yaitu: Pulau Aru, Pulau Kei, Pulau Tanimbar, Barbar, Kisar, dan Irian Barat. Selanjutnya kelima wilayah ini menjadi klasis sedangkan Irian barat menjadi sinode tersendiri
Selama kurun waktu 1935-1942 baik pendeta, ketua resort kepemimpinan maupun ketua sinode GPM berasal dari gereja di Belanda karena pendidikan mereka dan karena mereka di angkat oleh GPI. Pada tahun 1942, setelah Jepang menduduki Indonesia, ketua Sinode di tawan karena berkebangsaan Belanda, maka Badan Pekerja Sinode yang berkebangsaan Indonesia mengambil alih kepemimpinan gereja sampai terpilihnya ketua Sinode Pertma orang Indonesia di zamn Jepang yaitu : Pdt s Marantika.
Seakarang GPM mempunyai 754 Jemaat
Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011
TRINITAS
 Trinitas dalam agama Kristen menjadi persoalan sebab agama Kristen adalah agama “MONOTEIS”. Oleh karena KEESAAN/KETUNGGALAN TUHAN adalah ESENSI monoteisme, maka akan kontras jika TRINITAS dalam pengertian yang hurufiah (TRI) menjadi bagian dari salah satu agama yang monoteis.
 PERSOALANNYA SEKARANG TIDAK TERLETAK PADA SATU ATAU TIGA TUHAN DALAM AGAMA KRISTEN ?
 TETAPI APAKAH TRINITAS ITU BERARTI TIGA (TRI) ATAU SATU (ESA) ?
 Memahami ketritunggalan sama halnya dengan memahami hakekat Allah itu sendiri. Mustahil untuk percaya kepada Allah tanpa memahami hakekat-Nya yang meskipun tidak terbatas tetapi berkenan memberikan penyataan tentang diri-Nya di dalam Alkitab sehingga dapat dipahami (walau hanya sepercik) dengan kemampuan akal yang terbatas.
Meskipun kata ‘TRINITAS’ tidak ada dalam Alkitab, tetapi para Bapa Gereja mula-mula merumuskannya dengan dasar Alkitabiah :
Contoh ayat yang menjadi dasar Paham Trinitas :
Matius 28:19
 LAI TB, Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam 'nama' ('ONOMA') Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
 KJV, Go ye therefore, and teach all nations, baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Ghost:
 NRS, Go therefore and make disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit,
 Bapa dan Anak dan Roh Kudus, oleh kalangan non kristiani dipandang seolah-olah 3 person atau bahkan politeisme (3 allah). Tetapi di dalam Alkitab bahasa asli ditulis dengan ‘ONOMA’ bentuk tunggal, bukan dengan ‘ONOMATA’ bentuk jamak.
 Teks bahasa aslinya adalah demikian :
πορευθεντες ουν μαθητευσατε παντα τα εθνη βαπτιζοντες αυτους εις το ονομα του πατρος και του υιου και του αγιου πνευματος
 Transliterasi:
poreuthentes oun mathêteusate panta ta ethnê baptizontes autous eis to onoma tou patros kai tou huiou kai tou hagiou pneumatos
(Kata ONOMA memiliki bentuk tunggal, bukan jamak. Perhatikan perubahannya dalam uraian berikut ini)
 Perubahan bentuk kata "ονομα - ONOMA" :
Tunggal:
Nominatif, 'ONOMA'
Genitif, 'ONOMATOS'
Datif, 'ONOMATI'
Akusatif, 'ONOMA'
Jamak:
Nominatif, 'ONOMATA'
Genitif, 'ONOMATON'
Datif, 'ONOMASIN'
Akusatif, 'ONOMATA'

Bapa, Anak, dan Roh Kudus, masing-masing bukanlah “nama yang menunjuk pada entitas yang berlainan”.
 Konsep ini tidak bertentangan dengan TANAKH IBRANI :
Salah satu contoh ayat :
 * Kejadian 1:1
LAI TB, Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.
KJV, In the beginning God created the heaven and the earth.
Hebrew,
בְּרֵאשִׁית בָּרָא אֱלֹהִים אֵת הַשָּׁמַיִם וְאֵת הָאָרֶץ׃
Transliterasi :
BERE'SYIT {pada mulanya} BARA' {Dia menciptakan} 'ELOHIM {Allah} 'ET HASYAMAYIM {langit itu} VE'ET {dan} HA'ARETS {bumi itu}"

Kata Allah dalam bahasa Ibrani " אלהים - ' = ELOHÎM" menggunakan bentuk jamak TETAPI dengan kata kerja tunggal (singular) : " ברא - BARA'", hal ini menyiratkan keesaan Allah yang memang kompleks.
 Alkitab mengajar dengan jelas bahwa Allah itu Esa :
Ulangan 6:4
LAI-TB, Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!
KJV, Hear, O Israel: The LORD our God is one LORD:
Hebrew,
שְׁמַע יִשְׂרָאֵל יְהוָה אֱלֹהֵינוּ יְהוָה ׀ אֶחָֽד ׃
 Transliterasi :
SYEMA' (dengarlah) YISRA'EL (Israel) YEHOVAH (YHVH dibaca Adonai, TUHAN) 'ELOHEINÛ (Allah kita) YEHOVAH (YHVH dibaca Adonai, TUHAN) EKHAD (ESA)"

 Yesus Kristus sendiri menekankan pentingnya ajaran Kitab Suci ini tentang ke-Esa-an Allah :
* Markus 12:29
 LAI TB, Jawab Yesus: "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa NTG, ο δε ιησους απεκριθη αυτω οτι πρωτη πασων τωνεντολων ακουε ισραηλ κυριος ο θεος ημων κυριος εις εστιν
 Transliterasi dan Terjemahan :
ho de (dan) iêsous (Yesus) apekrithê (Dia menjawab) autô (kepadanya) hoti (bahwa) prôtê (pertama) asôn (dari segala) tôn entolôn (perintah-perintah) akoue (dengarlah engkau) israêl (Israel) kurios (Tuhan) ho theos (Allah) hêmôn (kita) kurios (Tuhan) heis (satu) estin (Dia adalah)
 Orang Kristen mengimani Yesus Kristus adalah Tuhan dan Allah, tahu dengan jelas bahwa paham Trinitas sama sekali tidak berarti adanya tiga allah sebagaimana yang dibayangkan secara salah oleh beberapa kalangan, termasuk beberapa kelompok "Kristen" sendiri. Arti dari paham ini ialah bahwa Allah itu satu adanya.
 Yesus berkata kepada murid-muridNya, "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus" (Matius 28:19). Monoteisme jelas sekali dalam kata-kataNya, "baptislah mereka dalam nama 'ONOMA' (single). Yesus tidak berkata baptislah mereka dalam nama-nama 'ONOMATA' (plural) Bapa, Anak dan Roh Kudus. Namun Keesaan dipaparkan dengan jelas dalam kata-kataNya,
"ονομα του πατρος και του υιου και του αγιου πνευματος - ONOMA TOU PATROS KAI TOU HUIOU KAI TOU HAGIOU PNEUMATOS" (lihat penjelasan sblmnya).
Bapa Gereja Tertulianus, ia adalah yang mula pertama mencetuskan ide, gagasan dan dengan tepat mendasarkan doktrin Trinitas dari ayat Matius 28:19 dan dia menjabarkannya dalam suatu doktrin yang berbunyi : 'una substantia tres personae', "satu substansi/hakekat, tiga pribadi".
 Allah yang Esa bukan berarti Allah seperti sebuah batu. Keesaan Allah itu multi-kompleks.
 Kata Allah dalam bahasa Ibrani ‘ELOHIM’ menggunakan bentuk jamak tetapi dengan kata kerja tunggal, hal ini saja sudah menyiratkan keesaan Allah yang serba kompleks.
 Pengenalan dan penyapaan terhadap Allah dalam PB (sumber doktrin Trinitas) ada tiga (Bapa, Anak, dan Roh Kudus) tetapi ketiga nama itu tidak menunjuk pada tiga entitas, melainkan hanya kepada satu entitas, yakni Allah yang Esa itu.
 Pengakuan PL terhadap Monoteisme
 Ulangan 4:35,
 Ulangan 6:4,
 I Raja 8:59-60
 Yesaya. 45:5-6
 Ps : Baca sandiri jua e…

 Pengakuan PB terhadap Monoteisme
 Yohanes 17:3
KJV
And this is life eternal, that they might know thee the only* true God, and Jesus Christ, whom thou hast sent.
TB LAI
Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau satu-satunya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.
 1 Korintus 8:6
KJV
But to us there is but one God, the Father, of whom are all things, and we in him; and one Lord Jesus Christ, by whom are all things, and we by him.
TB LAI
Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa yang daripadaNya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus yang olehNya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.
 1 Timotius 2:5; Roma 3:29-30; Yakobus 2:19, DLL
Only : Monos = alone = Sendiri (without companion = tanpa rekan)
 REFERENSI
http://www.sarapanpagi.org/doktrin-trinitas-vt19.html
 Bruce A. Ware, Father, Son and Holy Spirit: Relationship, Roles, and Relevance, (Illinois: Crossway Books), 2005. hlm. 25 -28.
 Karl Rahner, The Trinity (London: Burn &Oates), 2001.
 L. Berkhof, Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas, (Bandung : Sinar Baru - cetakan 1) 1992.
 Jurgen Moltmann, The Trinity and The Kingdom: The Doctrine of God, (Minneapolis: Fortress Press), 1993

Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

Anggota-Anggota PGI

HKBP, BNKP, GBKP, GMI, GKE, GMIST, GMIM, GMIBM, GKST, GT, GTM, GKSS, GEPSULTRA, GMIH, GKI , Papua, GPM, GMIT, GKS, KPB, GKJW, GKI, GITJ, GKJ, GKP, GK, GPIB, GPI, GPIB, GIA , GKMI, GKPS, GKPI, GBIS, GPPS, HKI, GKLB, GKT, GPID, GPKB, GPIG, GKJTU, GKKB, GGP, GKPI, GPIBT, GKPM, GKI SUMUT, GKPA, KGPM, GAMIN, GKA, GPIL, GKKA, GKKK, GKSBS, GPKBP, GBI, GKII, GEMINDO, GEKISIA, GKLI, GPP, GKSI, GTdI, GKPB, AFY, GR, GPI Papua, GKPPD, GEKINDO, GKSB, GKO, GSI, GUPDI, GPIBK, GERMITA, GKA, GKRI, GSJA, GKY, GKPII, GKII, GPSI, GKSI, KGMPI. Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA

Berdasarkan pengakuan bahwa tiap gereja adalah ungkapan dari gereja yang esa.kudus,am danrasulim dan bahwa semua gereja disegala zaman dan tempat terpanggil untuk melaksanakan tugas panggilan gereja yang sama dan satu yaitu memberitakan, maka gereja-gereja diseluruh dunia bertanggung jawab melaksanakan tugas panggilan itu dalam persekutuan dan kerjasama serta saling menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing. Dalam mengembang panggilan oikumene semesta maka hubungan dan kerjasama oikumenis perlu dibina.
Yang dimaksudkan dengan hubungan-hubungan oikumenis adalah hubungan dengan gereja-gereja dan lembaga-lembaakristen di indonesia yang tidak atau belum menjadi anggota Pgi dan pgi wilayah.
Sejarah Kelahiran “Lima Dokumen Keesaan Gereja”(LDKG)
Secara resmi LDKG lahir selaku keputusan SR X DGI/PGI 1984 Ambon tahun 1984. rumusan LDKG Ambon telah mengalami beberapa perubahan dalam upaya penyempurnaan dalam SR XI PGI Surabaya dan SR XII PGI 1994 Jayapura sehingga mencapai bentuk yang sekarang. ( Buku, Lima Dokumen Keesaan Gereja ).
Ketika DGI dibentuk tahun 1950 dengan tujuan pembentukan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia belum ada bayangan/gambaran mengenai Gereja Kristen yang Esa di Indonesia itu. Setelah dibentuk baru kemudian diperkembangkanlah pemahaman dan gambaran mengenai Gereja Kristen yang Esa tersebut.
Dalam proses penegembangan pemahaman dan gambaran tersebut dari satu Sidang Raya ke Sidang Raya berikutnya kian dirasakan adanya semacam ketegangan antara 2 kecendrungan yaitu :
 kecendrungan untuk mengutamakan keesaan rohani dalam kristus dan karena itu enggan membahas hal-hal yang menjurus kepada penyatuan secara struktural organisatoris.
 kecendrungan untuk mengutamakan keesaan struktural organisasi dan karena itu kurang sabar terhadap segala perbedaan dan sikap mempertahankan identitas diri masing-masing.
Dalam upaya menampung kedua kecendrungan ini dan bersamaan dengan iklim yang sedang mempengaruhi Dewan Gereja se-Dunia ( DGD ) dilakukan dengan pola pendekatan melalui 3 komisi antara lain :
 Komisi Faith and Order ( Iman dan Tata Gereja )
 Komisi Life and Work ( Hidup dan Karya Gereja )
 Komisi Mission and Evangelism ( Misi dan Pekabaran Injil )
Dan DGI-pun menata diri dengan 3 pola diatas, dan dimulailah studi dan penyelidikan bersama mengenai pengakuan iman, tata gereja, katekisasi, liturgi yang digunakan oleh gereja-gereja anggota. Studi dan penyelidikan bersama ini memuncak pada SR IV DGI di Makasar dengan munculnya konsep mengenai :
 Tata Sinode Oikumene Gereja di Indonesia ( SINOGI )
 Pengakuan Iman Bersama.
Namun gereja-gereja anggota PGI tampaknya belum siap untuk menerima gagasan SINOGI dan Pengakuan Iman Bersama. Dalam SR VII DGI 1971 Pematang Siantar kemudian berhasil menampung sebagian dari konsep SINOGI dengan memperbaharui struktur DGI. Dimana Badan Pekerja Lengkap ( BPL ) DGI bukan lagi hanya untuk sejumlah kecil orang-orang yang dipilih oleh Sidang Raya untuk bertindak atas nama gereja-gereja , tetapi keanggotaan BPL-DGI terdiri dari unsur pimpinan pusat tiap gereja anggota yang ditunjuk oleh gerejanya dan disahkan oleh Sidang Raya. Dengan demikian kesepakan yang diambil sepenuhnya mendapat dukungan oleh dan berakar di dalam gereja.
sejak itu tidak sedikit telah dicapai dalam upaya mewujudkan keesaan gereja itu secara nyata.
Dalam SR IX DGI 1980 Tomohon diputuskan supaya dalam masa 4 tahun kedepan sungguh-sungguh dimanfaatkan DGI dan gereja-gereja anggota untuk bersama-sama menyusun dan melaksanakan program-program yang konkrit secara bertahap ditingkat setempat,sewilayah dan nasional guna mempersiapkan pembentukan satu gereja kristen yang esa didalam sidang raya X dgi.
Disadari bahwa keesaan gereja bukan hanya sekedar keesaan rohani saja,tetapi sekaligus tampak dalam wujud yaang kelihatan (kelembagaan) sehingga keesaan rohani menjadi kesaksian kepada dunia. Keesaan juga bukan keseragaman (uniformitas) dan bukan pula keterpisahan melainkan keragaman dalam kebersamaan.
Setelah SR IX DGI 1980 Tomohon, BPH DGI menyampaikan gagasan mengenai pembaharuan struktur,nama dan sarana DGI. Dalam gagasan tersebut dikemukakan 2 langkah penting : pertama,bertolak dari peristiwa pembentukan DGI selaku badan persekutuan Oikumene gereja-gereja di Indonesia maka mesti dilaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mengungkapkan keesaan gereja secara lebih nyata. kedua, setiap kali sesudah jangka waktu tertentu perlu dipersiapakan langkah-langkah baru dan untuk itu perlu dilembagakan kemajuan-kemajuan yang dicapai ditahun-tahun sebelumnya dan mendorong kemajuan-kemajuan baru ditahun yang akan datang.
Titik tolak inilah yang kemudian melahirkan konsep LDKG.
Dengan mempelajari keputusan-keputusan sidang raya-sidang raya sebelumnya dan dengan memperhatikan perkembangan pemikiran-pimikiran baru yang dilahirkan dari gerakan Oikumene sedunia (DGD) maka di buat suatu daftar mengenai pemahaman keesaan gereja yang menyebut bahwa gereja yang esa itu harus :
1. mempunyai satu pengakuan iman
2. mempunyai satu tata gereja dasar
3. Dapat Beribadah bersama dan merayakan perjamuan kudus (PK)
4. Mempunyai wadah disetiap tingkat untuk bermusyawarah dan menentukan hal-hal yang menyangkut pelaksanaan tugas panggilan bersama.
5. Tindakan saling mengakui dan saling menerima.
6. terpanggil untuk memberitakan injil
7. diwarnai oleh tindakan saling membantu dan saling menopang.
Dalam pengembangannya dipadatkan menjadi 5 butir saja yaitu 2 & 4 dijadikan satu dan 3 & 5 disatukan. Dari sini akhirnya lahir lima ciri pokok gereja kristen yang esa di indonesia :
a. Satu pengakuan iman
b. Satu wadah bersama
c. Satu tugas penggilan dalam satu wilayah bersama
d. Saling mengakui dan saling menerima
e. Saling menopang.
Pada sidang BPL-DGI 1981 lahirlah konsep tentang “SIMBOL-SIMBOL KEESAAN” yang meliputi 4 dokumen yaitu :
1. PIAGAM PRASETYA KEESAAN
2. PEMAHAMAN IMAN BERSAMA
3. PIAGAM SALING MENERIMA SALING MENGAKUI
4. TATA DASAR GEREJA
Konsep awal mengenai simbol-simbol keesaan mengalami perluasan, pembaharuan, dan peningkatan sehingga akhirnya lahirlah “LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA” LDKG yang terdiri dari :
i. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB)
ii. Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK)
iii. Piagam Saling Menerima dan Saling Mengakui (PSMSM)
iv. Tata Dasar PGI
v. Menuju kemandirian Teologi, Daya dan Dana.


Beberapa hal yang mesti dicatat bahwa :
 LDKG merupakan dokumen keesaan gereja-gereja yang bersifat utuh dan menyeluruh karena dalamnya terkandung seluruh pengalama ber-Oikumene di indonesia sejak berdirinya DGI tahun 1950.
 Keesaan gereja dalam LDKG tidak terjebak dalam pendekatan organisatoris/kelembagaan melainkan mengikuti pendekatan dari segi misi bersama.
 Kekuatan LDKG ialah merupakan Dokumen Keesaan dengan nilai teologis-eklesiologis, historis dan misologis.
Dalam SR XII PGI 1994 Jayapura dilakukan perbaikan namun tidak banyak melakukan perubahan sehingga susunan Lima Dokumen Keesaan Gereja menjadi :
 Prasetya Keesaan
1. Pokok-pokok tugas panggilan bersama ( PTPB )
2. Pemahaman Bersama Iman Kristen ( PBIK )
3. Piagam Saling Menerima dan Saling Mengakui ( PSMSM )
4. Tata Dasar PGI
5. Menuju Kemandirian Teologi Daya dan Dana
 Daftar anggota-anggota PGI
I. POKOK-POKOK TUGAS PANGGILAN BERSAMA
Dokumen ini memuat hal-hal dasariah mengenai :
a. Pemahaman bersama gereja-gereja tentang tugas panggilan (misi) bersama.
b. Konteks nyata dimana gereja ditempatkan dalam suatu realisme yang berpengharapan.
Dokumen ini pun dilihat selaku dokumen misiologi dari gereja-gereja di indonesia.
II. PEMAHAMAN BERSAMA IMAN KRISTEN
Pokok-pokok dokumen PBIK meliputi :
 Tuhan Allah
 Pencipta dan pemeliharaan
 Manusia
 Penyelamatan
 Kerajaan Allah dan hidup baru
 Gereja
 Alkitab

III. TATA DASAR
Berbeda dengan AD-PGI maka tata dasar PGI disusun secara agak luas
 Pembukaan
 Batang tubuh yang terdiri dari XIII bab dengan 27 pasal
 Penjelasan Tata Dasar PGI : Pembukaan
 Penjelasan tetang pasal IV Tata Dasar PGI
 Penjelasan tentang peranan PGI

IV. KEMANDIRIAN TEOLOGI, DAYA DAN DANA
Dokumen Kemandirian Teologi, Daya dan Dana ditata sebagai berikut :
1. Dasar pemikiran yang terdiri dari :
a. Pengertian umum tentang kemandirian
b. Kemandirian sebagai panggilan gereja
2. Permasalahan
3. Kerangka dasar untuk penyususnan program
Yang memuat pikiran-pikiran prinsip :
a. Kemandirian teologi
b. Kemandirian daya
c. Kemandirian dana
Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

KESELAMATAN

Konsep pemahaman tentang keselamatan :
 Pandangan Kristen
• Dosa & Ketidakberdayaan
• Penyelamatan
• Kebangkitan
 Hidup Sesudah Mati
• Surga
• Neraka
 Pluralitas Agama (konteks)
• Menggugat konsep keselamatan Kristen dalam konteks pluralitas agama di Indonesia.
Dosa dan Ketidakberdayaan
Ada dua pemahaman yang terkandung dalam konsep dosa :
• Kedosaan
• Universal
• Keberadaan/eksistensi
• Dosa
• Partikular
• Tindakan
KEDOSAAN (keadaan) : Manusia tidak bisa lepas dari kedosaannya
DOSA (Perbuatan) : Manusia bisa berupaya untuk tidak berbuat dosa
Dalam konteks pemahaman yang demikian, dosa mengandung dua hal yang substansial:
◦ Pertama, Dosa bersifat universal yang meliputi semua manusia sebagai bagian dari eksistensi.
◦ Kedua, Dosa bersifat khusus yang meliputi pribadi tertentu yang bertindak menyimpang dan berimbas pada hubungan-hubungannya dengan semua entitas.
Manusia tidak bisa lepas dari keberadaannya yang berdosa karena itu sering melakukan pelanggaran,kemudian Allah melakukan Intervensi lewat, Yesus Kristus (Sola Gratia), Iman (Sola Fide).
Langit dan Bumi Baru/Surga
 Surga sebagai situasi / kondisi
Kehidupan yang adil, berkecukupan, penuh damai sejahtera, penyembuhan dari penyakit, suasana sukacita dan kegembiraan, umur panjang, dst; (Yes. 65 : 17-18; 20-21; 25).
 Surga sebagai sifat-sifat Allah
Allah disifatkan dengan cinta kasih, kedamaian, kelegaan, sukacita, dst. (Yoh.15:10-11; 16:33; Mat. 11:28).
 Surga sebagai tempat ideal yang dijanjikan oleh Yesus.
Tempat untuk menikmati “Hidup Kekal” bersama Allah (tempat Allah berdiam) (Yes. 9:5; Yoh. 14:3).
Keselamatan Presentis (Kini)
 Keselamatan presentis ditandai dengan kondisi damai, berkecukupan, adil, kasih, dst.
 Sudah terjadi pada saat ini namun belum seutuhnya (temporer).
Contoh : Ada Kebahagiaan dan Kesedihan
Ada kedamaian dan Perang
Ada kecukupan dan Kelaparan
Keselamatan Futuris
 Berkaitan dengan surga sebagai tempat di mana orang percaya menikmati Kehidupan Kekal bersama Allah.
 Merupakan pemenuhan keselamatan presentis di mana damai, cinta kasih, sukacita, kegembiraan selamanya menjadi milik orang percaya.
Untuk sampai ke situ, ada dua hal yang menarik :
1. Kedatangan Kembali Yesus Kristus sebagai Raja (Parousia)
2. Kebangkitan Orang Mati
Kedatangan Kembali (parousia)
 Bersifat Rahasia (hanya Tuhan yang tahu)
(Matius 24:39,42-43,50; 25:13) Pengharapan eskhatologis yang dinanti-nantikan oleh orang percaya.
 Peringatan untuk tetap berjaga-jaga
(Lukas 21:36; Mat. 25:1-14, dll)
Mengisyaratkan keharusan untuk hidup dan berkarya dengan sungguh-sungguh dan setia.
Kebangkitan Orang Mati
Kebangkitan orang mati adalah satu fase untuk hidup dalam kekekalan bersama Allah.
Markus 16:8
Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut. Dengan singkat mereka sampaikan semua pesan itu kepada Petrus dan teman-temannya. Sesudah itu Yesus sendiri dengan perantaraan murid-murid-Nya memberitakan dari Timur ke Barat berita yang kudus dan tak terbinasakan tentang keselamatan yang kekal itu.
Matius 22:31-32
Tetapi tentang kebangkitan orang-orang mati tidakkah kamu baca apa yang difirmankan Allah, ketika Ia bersabda: Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup.
Kebangkitan Roh saja ??? Atau Kebangkitan secara Total ???
 Kebangkitan orang percaya mengacu pada kebangkitan Yesus, jadi sebagaimana Yesus bangkit dari kematian dengan seluruh totalitasnya, maka semua orang percaya yang kelak dibangkitkan pun mengambil contoh tersebut (Kebangkitan Yesus sebagai Prototype/Tipe utama Kebangkitan orang percaya).
Perhatikanlah teks Alkitab berikut ini :
I Korintus 15:20 (Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal).
Roma 8:29 (Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara).
NERAKA DAN SURGA
Jika surga adalah kedamaian, sukacita, dst, maka neraka adalah sebaliknya, Jika surga adalah kehidupan kekal, maka neraka adalah Kematian Kekal.
Keselamatan dalam Konteks Pluralitas Agama di Indonesia
 Pluralitas agama sekarang ini telah menjadi suatu keniscayaan dan mendesak agama-agama, termasuk kekristenan untuk menghadapi dan mengubah paradigma teologinya. Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak hanya didesak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu.
 Mengembangkanteologi agama-agama bukan tanpa kesulitan dan resiko. Tantangan internalnya
1. teologi tradisional (Barat) yang berakar kuat dalam gereja.
2. Resistensi fundamentalisme kristen.
Tantangan eksternalnya : Pluralisme agama dicurigai sebagai misi terselubung kekristenan untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus keengganan mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif. Sikap penolakan terang-terangan terhadap pluralisme agama dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat fatwa hasil Munas VII tahun 2005, karena paham ini bertentangan dengan ajaran Islam.
PLURALISME AGAMA
 Pertama, Karl Rahner. Rahner oleh banyak kalangan disebut sebagai teolog terbesar agama Katholik di abad 20. Pemikirannya memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap teologi Konsili Vatikan Kedua pada rentang waktu 1962-1965, yang telah membawa gereja Katholik Roma untuk merevisi pandangannya terhadap berbagai topik dari mulai doktrin sampai dengan liturgi. Proses modernisasi gereja Katholik Roma atau yang oleh John Paus XXIII disebut sebagai aggiornamento, juga memasukkan unsur penilaian terhadap pandangan gereja yang berkaitan dengan agama lain, selain Katholik.
 Pemikiran Rahner mempengaruhi pernyataan Konsili tersebut di antaranya tentang kehadiran karunia Tuhan di luar gereja setelah sebelumnya Konsili Vatikan kukuh dengan pendirianya yang terkenal yakni: extra eclessiam nulla salus (di luar gereja, tidak ada keselamatan).
Lebih dari itu, pemikiran teologis Rahner berpengaruh lebih jauh melalui artikulasinya secara pasti dalam tafsiran-tafsirannya terhadap doktrin Kristen. Dalam pandangan Rahner, penganut agama lain mungkin menemukan karunia Yesus melalui agama mereka sendiri tanpa harus masuk menjadi penganut Kristen. Inilah yang oleh Rahner kemudian dikenal sebagai orang Kristen Anonim (anonymous Christian). Yesus, dalam pandangan Rahner masihlah menjadi norma di mana kebenaran berada dan jalan di mana keselamatan dapat diperoleh. Akan tetapi, orang tidak harus secara eksplisit masuk menjadi penganut agama Kristen agar mendapatkan kebenaran dan memperoleh keselamatan itu. Oleh karena itu Rahner mengatakan bahwa agama lain adalah sebenarnya bentuk implisit dari agama yang kita anut.
 Kedua, John Harwood Hick. Hick adalah seorang filosof agama kontemporer yang concern terhadap masalah hubungan antar agama. Dalam pengertian dan pemaknaan Hick, pluralisme agama mesti didefinisikan dengan cara menghindari klaim kebenaran satu agama atas agama lain secara normatif. Berbeda dengan Rahner, Hick tidak setuju dengan penryataan bahwa agama Kristen memiliki kebenaran yang “lebih” dibanding kebenaran agama lain. Oleh karena itu, menurut Hick, kita harus menghindari penggunaan istilah terhadap penganut agama lain sebagai orang Kristen Anonim, Islam Anonim, Hindu Anonim, Buddha Anonim dan sejenisnya. Cara yang lebih arif untuk memahami kebenaran agama lain adalah dengan menerima bahwa kita (semua agama) merepresentasikan banyak jalan menuju ke satu realitas tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. Tidak ada satu jalan (agama) pun yang boleh mengklaim lebih benar daripada yang lain karena kita (semua agama) sama dekat dan sama jauhnya dari realitas tunggal tersebut. Realitas tunggal itu adalah realitas yang sama yang kita (semua agama) sedang mencari-nya.
 Dalam menjelaskan realitas tunggal yang sama itu, Hick menggunakan dualisme Immanuel Kant tentang the Real in-it-self (an sich) dan the Real as humanly thought-and-experienced. The Real in it self sesungguhnya adalah realitas tunggal yang dituju oleh kita (semua agama). Sementara, karena realitas tunggal itu bersifat maha baik maha besar, maha luas, maha agung, maha tak terbatas dan sebagainya, maka manusia (yang terbatas) mengalami keterbatasan untuk mengenalnya secara penuh. Itulah yang kemudian menurut Hick mewujud pada gambaran the Real as humanly thought-and-experienced (realitas tunggal yang dapat dipikirkan dan dialami secara manusiawi). Keterbatasan dan faktor budaya-lah yang kemudian menyebabkan respon orang tentang gambaran realitas tunggal itu menjadi berbeda-beda.
 Selanjutnya, mungkin muncul pertanyaan bagaimana menghubungkan kedua the Real tersebut? Atau bagaimana the Real as humanly thought-and-experienced yang mungkin berbeda-beda antara satu agama dengan agama yang lainnya bisa diartikan menuju ke the Real in-it-self yang sama? Menurut Hick, semua agama dengan the Real yang berbeda-beda itu tetap menuju pada the Real in it self yang sama sejauh mampu melahirkan fungsi soteriologis dari agama. Artinya, agama tersebut mesti memberikan pengaruh yang baik secara moral dan etis bagi para penganutnya dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, Hick menyatakan bahwa agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama kita dalam menuju kepada kebenaran dan keselamatan dari the Real in-it-self.
 Ketiga, John Cobb Jr. Cobb membangun konsep yang agak berbeda dengan konsep pluralisme agama menurut Hick. Melalui keterlibatannya yang luas dalam dialog Kristen dan Buddha, Cobb Jr sampai pada kesimpulan bahwa seseorang tidak dapat mengklaim bahwa agama Kristen, Buddha, Islam, Hindu dan sebagainya adalah berbicara atau menuju realitas tunggal yang sama seperti yang dinyatakan Hick. Selain itu, Cobb Jr juga menolak jika dikatakan bahwa kebenaran satu agama sama validnya dengan kebenaran yang dimiliki agama lain. Untuk memahami dan menilai secara sungguh-sungguh agama lain, kita harus mendengarkan apa yang mereka katakan dan mengevaluasinya tanpa berasumsi bahwa apa yang dibicarakan adalah benar-benar tentang hal atau the Real yang sama. Dalam hal ini, kalau misalnya, beberapa agama bertemu satu sama lainnya maka penganut agama-agama tersebut sesungguhnya akan saling diperkaya oleh pengetahuan mereka tentang agama-agama lain. Mereka dapat belajar satu dari yang lain tanpa meninggalkan kenyataan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan di antara mereka.
 Keempat, Raimundo Panikkar. Seperti juga Cobb, Panikkar menolak semua definisi pluralisme agama yang menyimpulkan bahwa agama-agama men-share common essence (hal-hal esensial yang sama). Sejarah kehidupan keagamaan dan intelektual Pannikar dapat dikatakan sangatlah kompleks. Dia dilahirkan dalam keluarga di mana ayahnya beragama Hindu dan ibunya beragama Katholik Roma. Panikkar sendiri menjadi seorang pastur Katholik yang memperoleh gelar Doktor dalam bidang sains, falsafah dan teologi. Dia menuliskan tentang pertemuannya (encounter) dengan agama lain: “saya meninggalkan ke-Kristen-an saya, menemukan diri saya sebagai penganut Hindu, dan kembali menjadi seorang penganut Buddha tanpa berhenti menjadi seorang penganut Kristen. Pendekatannya terhadap agama lain merefleksikan kompleksitas tersebut. Panikkar menjelaskan bahwa kita harus bekerja keras untuk memahami masing-masing agama dalam bahasa mereka sendiri-sendiri yang konsepnya berbeda-beda.
 Kita tidak dapat mengatasi dan menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut dengan mengatakan bahwa semua agama adalah sama atau satu. Tetapi kita juga tidak dapat mengabaikan apa yang dikatakan oleh orang (agama lain). Masing-masing agama merefleksikan, mengoreksi, melengkapi dan menantang agama-agama yang lainnya dalam jaringan interkoneksi yang dia sebut sebagai dialog antar agama. Karenanya Panikkar menyatakan bahwa masing-masing agama mengekspresikan sebuah bagian penting dari kebenaran. Ekspresi itu bisa berupa refleksi, koreksi, pelengkap dan tantangan antara agama yang satu dengan agama yang lain.
 Kelima, Wilfred Cantwell Smith. Smith adalah seorang sejarahwan agama yang memiliki pengalaman langsung dengan berbagai macam agama ketika mengajar di India pada tahun 1941-1945.
 Menurut Smith, pluralisme agama merupakan tahapan baru yang sedang dialami pengalaman dunia menyangkut agama. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri. Membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi. Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu Smith mulai dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga mencakup suatu doktrin mengenai agama lain.
 Pendirian teologis tersebut oleh Smith dimasukannya ke dalam analisis mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Dalam karya klasiknya yang berjudul The Meaning and End of Religion Smith menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai contoh, Smith mengutip pernyataan teolog Kristen bernama Emil Brunner yang menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan suatu berhala. Demikian juga bagi beberapa kaum Muslim, Yesus sebagai kristus adalah suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan agama yang tidak dapat kita terima. Semua agama mengarah kepada tujuan akhir yakni Tuhan. Smith menulis: Tuhan adalah tujuan akhir agama juga dalam pengertian bahwa begitu Dia tampil secara gambling di hadapan kita , dalam kedalaman dan kasih-Nya , maka seluruh kebenaran lainnya tak heni-hentinya memudar; atau sekurang-kurangnya hiasan agama jatuh ke bumi, tempatnya yang seharusnya, dan konsep agama ‘berakhir’.
 Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan sebagaimana diwahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Illahi dan manusia. Dengan pemahaman ini, Smith mengharapkan adanya toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut.
PERTANYAAN
 BAGAIMANA ANDA MEMANDANG AGAMA LAIN ?
 DI MANAKAH POSISI AGAMA LAIN DALAM KONSEP KESELAMATAN AGAMA KRISTEN?
 APAKAH YESUS ADALAH SATU-SATUNYA PENYELAMAT DUNIA ?? ATAUKAH SATU DI ANTARA BANYAK JALAN ??

Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

PENDAMPINGAN PASTORAL KEPADA MANULA

A. Realitas
Tahapan usia lanjut atau kita kenal dengan nama manula merupakan tahapan paling akhir dalam perkembangan dan pertumbuhan manusia. Oleh karena itu tahapan ini merupakan tahapan yang paling sulit dihadapi dibandingkan dengan tahapan perkembangan dan pertumbuhan yang pernah dilewati sebelumnya. Hal ini di sebabkan karena orang yang berada pada tahapan ini harus mempersiapkan dirinya menghadapi berbagai macam krisis yang terjadi baik fisik, mental spiritual-psikis, maupun krisis sosial. Menurut badan kesehatan dunia (WHO), umur usia lanjt ditetapkan sebagai berikut : a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia antara 45-59 tahun
b. Usia lanjut (elderly), ialah kelompok usia antara 60-74 tahun
c. Tua (old), ialah kelompok usia antara 75-90 tahun
d. Sangat tua (very old), ialah kelompok usia di atas usia 90 tahun
Kenyataan sosial bahkan dalam realitas bergereja ada banyak kaum manula yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi. Di satu sisi hal ini menyebabkan timbulnya pola hidup dan perilaku yang berubah dari kaum manula, namun di sisi lain ada kesan yang menonjol bahwa orang-orang yang berada pada kelompok ini kurang mendapat perhatian khusus, dalam hal ini pendampingan dari pihak gereja. Pelayanan yang terjadi hanya bersifat rutinitas dan kalau toh dilakukan itu dikarenakan ada permintaan langsung dari keluarga. Kenyataan lain yang sering terjadi pula bahwa, menghadapi berbagai perubahan yang terjadi pada kaum manula keluarga tentunya memegang peranan penting untuk memahami situasi dan kondisi yang dialami manula, ini guna memberikan pelayanan optimal bagi mereka. Ironisnya pelayanan yang dilakukan bersifat satu arah yakni kepada manula, pada hal keluarga juga mesti mendapat pelayanan dari pihak gereja.
Penilaian Kaum Manula Dan Keluarga Terhadap Pelayanan
Apa tanggapan kaum manula itu sendiri bahka keluarga terhadap pelayanan (pendampingan pastoral) yang mereka rasakan, ini tentunya ada beragam penilaian. Berdasrkan hasil penelitian yang dilakukan (……………) penilaian yang sering diungkapkan oleh kaum manula maupun dari keluarga mereka terhadap proses-proses pelayanan atau pendampingan pastoral yang sering dilakukan oleh gereja seperti :
• Bahagian Alkitab dan renungan yang disampaikan tidak sesuai dengan kondisi dan situasi yang sementara dihadapi.
• Kecendrungan berdoa yang terlalu panjang dan bertele-tele.
• Kredibilitas para pelayan yang masih diragukan, akibat tidak mampu menjaga rahasia
• Para pelayan merasa lebih pintar karena itu sering menyinggung perasaan dan meremehkan kaum manula maupun keluarga.
• Kurangnya pemahaman para pelayan terhadap pastoral, secara khusus pendampingan pastoral terhadap kaum manula.
Beberapa faktor seperti yang disebutkan di atas adalah penilaian baik kaum manula maupun keluarga mereka yang dinyatakan sebagai indikator bahwa pelayanan yang dilakukan belum dapat menjawab persoalan yang dihadapi.


B. Solusi
Terhadap kenyataan yang ada kami merasa bersyukur karena dapat berbagi dengan teman-teman, bagaimana prinsip-prinsip dasar yang mesti dipahami oleh seorang konselor (pelayan) dalam mendampingi kaum manula :
1. Pemahaman tentang kaum manula itu sendiri
a. Kondisi Fisik
Kondisi ini tentunya ditandai dengan perubahan warna rambut dan kulit yang semakin keriput, kondisi fisik yang semakin menurun, cepat merasa kelelahan, sering sakit-sakitan dan munculnya berbagai gejala seperti pikun (pelupa), terkadang berperilaku layaknya anak kecil, tuli, penglihatan yang terganggu dan lain sebagainya. Sangat baik jika dalam kondisi seperti ini segala aktifitas yang dilakukan oleh kaum manula dan aktivitas yang dilakukan kepada mereka (manula) harus disesuaikan dengan kondisi tubuh para manula.
b. Kondisi Mental-Spiritual
Pada fase ini para manula sangat berpotensi terkena stress dan krisis ketika kondisi menta-spiritual mereka terganggu. Hal ini di sebabkan karena beberapa hal, antara lain : kematian orang-orang yang dikasihi (istri/suami, sahabat), berbagai macam penyakit, hidup jauh terpisah dari anak dan cucu, serta ketakutan akan datangnya hari kematian yang semakin mendekat dan lain sebagainya.
c. Krisis Sosial
Tahapan ini ditandai dengan perasaan terasing dari masyarakat karena sebagian besar dari orang yang berusia lanjut merasa tidak berguna. Karena itu banyak diantara mereka yang memilih menghidupkan kembali kenangan-kenangan sukses masa lalu, dengan demikian mereka merasa bahwa segalanya menjadi lebih baik. Merasa cemburu dengan keberhasilan generasi muda, dan lain-lain.
2. Perilaku Kaum Manula
Ada dua pola perilaku yang sering ditampilkan kaum manula yaitu perilaku positif dan perilaku negatif.
• Perilaku positif
Perilaku positif yang menarik dari kaum manula ini yaitu mereka mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi.
• Perilaku negatif
Perilaku ini ditandai dengan sikap mengeluh, marah, mudah tersinggung, mudah merasa khawatir, mudah menjadi depresi, sedih, murung, suka merusak. Perilaku negatif ini sering ditunjukan apabila ada keinginan mereka yang tidak terpenuhi.

3. Beberapa Hal Penting Yang Perlu di Ketahui
a. Kematian
 masalah yang paling sering dihadapi kaum manula adalah masalah kematian. Bagi mereka umur yang semakin tua dan penyakit yang diderita merupakan pertanda bahwa mereka semakin dekat dengan kematian. Oleh karena itu orientasi pemikiran mereka tertuju pada datangnya hari kematian. Namun kenyataanya, banyak diantara mereka yang belum siap menghadapi hari kematian yang semakin mendekat karena berbagai alasan, diantaranya : anak dan cucu, dosa masa lalu, dan masih ingin lebih lama hidup bersama anak cucu.
b. Hal Menyenangkan :
- Berdoa dan membaca alkitab
- Bermain bersama anak cucu
- Kunjungan anak cucu

c. Hal Tidak Menyenangkan :
- Kenakalan anak cucu
- Tidak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan
- Kurang mendapat perhatian dari keluarga

2. KELUARGA
Dalam melayani kaum manula, keluarga memegang peran yang sangat penting untuk dapat memahami situasi dan kondisi mereka guna memberikan pelayanan yang optimal.
 Bentuk dukungan keluarga :
- Doa bersama manula
- Memberikan kata-kata penghiburan
- Memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
- Menciptakan suasana menyenangkan
 Hambatan dan tantangan
- Faktor ekonomi
- Faktor pekerjaan
- Tidak ada dukungan keluarga (mengejek)
- Perilaku keluarga : Marah, kesal, kecewa, dll




Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

PENDAMPINGAN PASTORAL KEPADA ORANG DUKA

I. Realitas
Duka (dead) adalah sikap atau reaksi kita terhadap kematian dari orang-orang yang kita cintai. Hal ini mengindikasikan bahwa jelas duka bukanlah peristiwa atau kejadian abadi yang terus menerus berlangsung tanpa akhir, namun akan berakhir tetapi membutuhkan waktu dan proses.
Kenyataan yang dihadapi selama ini ketika ada orang yang meninggal dunia yang sering sekali dilakukan adalah :
• Sebelum pemakaman : Perkunjungan, Malam penghiburan
• Acara pemakaman : Ibadah di rumah duka, Ibadah di tempat pemakaman, Ibadah syukur .
Sayangnya tahapan-tahapan ini belum sepenuhnya menjawab kedukaan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami kehilangan suami-istri, ayah-ibu, anak-cucu, sanak saudara dan sahabat yang mereka cintai, sehingga pada gilirannya muncul dampak atau reaksi duka di dalam diri orang yang mengalami kedukaan itu.
Sikap atau tingka laku yang sering sekali ditonjolkan oleh orang yang berduka yaitu mereka bersikap Pasif (baca: menyerah, karena mereka lihat sebagai kejadian yang dikehendaki Allah), Angresif (baca: mengeluh, memberontak, memprotes karena tidak dapat menerima kematian), Depresi (baca: tertekan karena mereka tidak mampu menggung beban penderitaan)
II MODEL PENDAMPINGAN
Tokoh bernama H. Norman Wright, mengemukakan bahwa pada dasarnya hidup merupakan babakan krisis. Maka Wright menjelaskan delapan langkah tentang proses memberikan pertolongan kepada orang yang mengalami masalah antara lain:
1. Intervensi segera
2. Aksi
3. Menghindari kata strophe
4. Membantu menciptakan harapan bagi orang yang mengalami krisis
5. Memberikan dukungan
6. Fokus dalam pemecahan masalah
7. Membangun rasa menghargai diri sendiri
8. menanamkan kepercayaan diri sendiri

Dari delapan langkah di atas, maka penting sekali peranan pastor dalam melakukan pelayanan kepada orang-orang yang mengalami duka dan menemukan model pengembalaan dukayang, dengan demikian yang harus dilakukan oleh pastor adalah :
1. Menciptakan situasi, dimana orang yang berduka dapat menerima baik secara rasional maupun secara emosional. Dalam pertemuan ini pastor cukup memberikan kesempatan kepadanya untuk mengungkapkan perasaan-perasaan atau emosi-emosi yang ditimbulkan oleh duka tersebut, pastor dengan bijaksana harus berusaha supaya orang yang mengalami duka itu dengan bebas mau mengungkapkan isi hati kepada pastor.
2. Menciptakan situasi, dimana orang duka dapat mencernakan perasaan-perasaan atau emosi-emosi yang problematis. Dengan demikian perasaan-perasaan atau emosi-emosi tidak boleh dielakan tetapi sebaliknya ia harus berusaha mencernakan hal tersebut. Hal itu tidak mudah ia membutuhkan bantuan, karena itu tugas pastor adalah dengan menciptakan “RUANG” (kesempatan) baginya dan menstimulirkannya untuk lebih dalam memasuki (membicarakan) perasaan-perasaan atau emosi-emosi tersebut.
3. Menciptakan suatu situasi, dimana orang duka belajar hidup dan situasi hidupnya yang baru sebagai suatu tugas. Tugas pastor adalah membantunya supaya ia menyadari dan menerima perasaan-perasaan atau emosi-emosi. Dan pastor harus sebagai patner dengan orang yang mengalami duka.
4. Dengan demikian pastor sudah dapat melihat pelayanan apa yang harus diberikan kepada orang yang mengalami duka dan bagaimana cara pelayanan itu diberikan.
5. Pelayanan yang dilakukan oleh pastor kepada orang duka adalah kekunjungan dan percakapan. Percakapan disini bukan yang biasa saja. Percakapan tentang kesehatannya, tentang rumah tangganya, pekerjaannya dll.
6. Percakapan mereka mempunyai maksud dan tujuan yang tertentu yakni membantu orang yang berduka itu supaya dapat menunaikan tugasnya dalam proses kedukaan. Percakapan yang demikian dalalm percakapan pastoral disebut percakapan yang membantu. Dalam percakapan tersebut pastor berusaha membantu orang yang mengalami duka supaya ia mencurahkan isi hatinya dan lebih alam memasuki dan “menggumulinya” situasinya. Sebagai dasar dari pastor adalah “MENGERTI” maksudnya adalah pastor dapat membantu tapi kalau tidak mengerti juga sulit. Mengerti bukan sekedar mengerti orang yang mengalami duka tetapi mengerti adalah mengerti secara dalam apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang mengalami duka. Mengerti dunia pikiran dan perasaan dari orang yang mengalami duka, mengerti dalam visi orang itu sendiri dan berusaha menyatakan pengertian itu bukan saja dengan perkataan tetapi juga dengan perbuatan sikapnya. Maka syarat yang harus dipenuhi oleh pastor dalam pelayanan tersebut adalah : Perhatian, Empati, Mendengarkan.

III BAHAN-BAHAN PENUNJANG DALAM PENDAMPINGAN ORANG DUKA
1. Bahan Alkitab yang dapat dipakai pada saat
Kematian : 1 Raja-raja, 19:4 ; Ayub, 30:23,24 ; Yesaya, 43:1,2 ; Lukas, 2:29 ; Yohanes, 11:25-27 ; Filipi, 1:21,23 ; Roma, 14:8 ; Ibrani, 4:9-11 ; Wahyu, 14:13 & 21:4
Pahitnya Kematian : Kejadian, 2:17 & 3:19 ; 1Samuel, 20:3 ; 2Samuel, 12:18-23 ; Mazmur, 55:5; 90:7 & 104:29 ; Pekhotba, 12:7 ; Yehezkel, 18:4 ; Yohanes, 8:24 ; Roma, 5:12,14; 6:23; 7:24; 1Korintus, 15:56 ; Ibrani, 2:15 ; Yakobus, 1:15
Kemenangan atas Kematian : 1Raja-raja, 2:2 ; Ayub, 19:25-27 ; Mazmur, 23 & 126:5 ; Lukas, 2:29 ; Yohanes, 11:16,25 ; Kisah para rasul, 7:58 ; Roma, 5:21 & 8:11 ; 1Korintus, 15:26 & 55-57 ; Filipi, 1:23 ; 2Timotius, 1:10 & 2:11 ; Ibrani, 2:14 ; Wahyu, 7:13-17;14:13 & 21:4
2. Lagu-lagu Pujian
Kidung Jemaat No : 30, 438, 439, 440, 396, 332, 402, 417, 144
Pelengkap Kidung Jemaat No : 285, 46, 125, 127,164, 201
Dua Sahabat Lama No : 3, 4, 15, 38, 98
3. Catatan Kritis
- Pastoral selama ini hamper sebagian besar dilakukan oleh pastor, namun ada baiknya jika pastor (Pendeta) juga melibatkan pelayan-pelayan lainnya (Majelis jemaat, Koordinator Unit) dalam kaitan pelayanan pastoral dalam jemaat.
- kekunjungan pastoral dalam rangka memberikan penghiburan bagi keluarga berduka pasca pemakaman baiknya melibatkan jemaat.
- Dalam proses pendampingan pastoral terhadap (manula atau orang sakit), keluarga perlu dilibatkan, sebab pendampingan ini bersifat dua arah yakni untuk memberikan penguatan bagi konseli tetapi juga bagi keluarganya yang mendampingginya tiap waktu
- Pelayanan pastoral bagi orang berduka pasca pemakaman di GPM selama ini lebih terbatas hanya saat ibadah pengucapan syukur atau ibadah malam ke tiga. Setelah itu pendampingan pastoral jarang dilakukan, karena itu perlu adanya perubahan.
- Setiap pelayan yang melakukan pastoral (Pastor) harus menjaga rahasia.
- Majelis jemaat dan Koordinator Unit sebaiknya sebelum melakukan kegiatan pastoral harus dibekali dengan pemahaman pastoralia.


Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011

PASTORAL NIKAH

Oleh : Matalsea Tamaela

Sebelum saya menyampaikan materi ini, dengan ketulusan hati saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Fakultas Teologi UKIM terkhususnya Pembantu Dekan I Dr. C. A. Alyona yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan materi ini.
Pengantar
Pada bagian ini saya ingin memaparkan tentang apa yang melatarbelakangi saya sehingga saya menulis skripsi dengan judul “Pastoral Nikah”. Berawal dari beberapa kontradiksi pikiran yang saya dapati yakni :
1. Pernikahan adalah sakral sehingga banyak orang memahaminya sebagai sesuatu yang tidak boleh “dimasuki” dengan hal-hal yang bertentangan dengan aturan masyarakat, agama dsb. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak akan pernah ada penyimpangan yang terjadi karena kesakralannya.
Hal ini kemudian digugurkan dengan kesadaran akan fenomena dewasa ini yang dialami oleh keluarga (baca : keluarga Kristen). Banyak keluarga mengalami masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh mereka (pasutri) yang kemudian berujung pada perceraian dan keretakan keluarga.
2. Gereja (baca : GPM) bukan berada di luar dunia tetapi gereja ada di tengah-tengah dunia sehingga mengindikasikan bahwa gereja juga berperan terhadap pembentukan keluarga dalam pernikahan.
Hal ini kemudian disadari dengan adanya pelaksanaan pastoral nikah (penggembalaan nikah) yang dilakukan oleh gereja. Pemikiran ini kemudian dikuatkan ketika membaca PIP-RIPP GPM ditemui bahwa :
Gereja Protestan Maluku (GPM ) sebagai jemaat setempat atau umat yang berada di kawasan kepulauan Maluku terpanggil untuk melakukan tugas yang berorientasi pada visi yakni terwujudnya orang beriman yang berkualitas, terbuka, maju, mandiri dalam segala aspek kehidupan dan yang memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan dengan orang-orang lain dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat serta tanpa pandang denominasi gereja, jenis kelamin, suku, bangsa, budaya, agama, turut berperan serta untuk mendirikan tanda-tanda kerajaan Allah yaitu cinta kasih, keadilan, kebenaran, kemanusiaan, perdamaian, keutuhan ciptaan dan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan Allah. Secara sederhana, semua tugas pelayanan yang dibuat berorientasi pada kebahagiaan dan kesejahteraan dalam segala aspek kehidupan dari umat Allah.

3. Pemikiran-pemikiran itu, membawa saya ke suatu titik reflektif tentang kesadaran fenomena keretakan keluarga yang terjadi dewasa ini dan bagaimana peran gereja untuk mengantisipasi dan mengatasinya.
4. Saya pun mendapatkan jawabannya pada pelaksanaan pastoral nikah yang dilakukan gereja karena saya meyakini bahwa dengan melakukan pekerjaan pastoral nikah, maka secara langsung gereja berupaya mengantisipasi dan mengatasi masalah yang terjadi dalam keluarga.
Proses pemikiran itu kemudian membawa saya untuk menulis skripsi tentang pastoral nikah bukan bertujuan untuk mengatakan bahwa penyebab keretakan keluarga adalah pelaksanaan pastoral nikah yang tidak fungsional karena bagi saya penyebab keretakan keluarga sangat kompleks tetapi yang menjadi tujuan penulisan saya adalah bagaimana saya meneliti kembali pelaksanaan pastoral nikah yang diselenggarakan dalam gereja sampai sekarang ini sehingga benar-benar fungsional (dialami dan dirasakan oleh pasutri).
Saya memfokuskan penelitian saya pada Jemaat GPM Bethel karena beberapa alasan yakni :
1. Jemaat ini berada pada wilayah pelayanan Klasis Kota Ambon. Secara administatif pemerintahan, jemaat ini termasuk dalam wilayah Kota Madya Ambon yang terletak di ibukota Provinsi Maluku.
2. Kedua, Wilayah pelayanaan Jemaat ini sangat luas (± 230 Ha), yang berbatasan dengan daerah-daerah perkembangan misalnya jemaat GPM Bethabara (sebelah utara), Jemaat GPM Bethania (sebelah selatan), pantai mardika dan teluk Ambon (sebelah barat), Jemaat GPM Imanuel Karang Panjang sampai Jemaat GPM Ebenhaezer di Skip depan (sebelah timur) .
3. Letaknya yang berada di pusat Kota Ambon, memungkinkan akses di segala bidang misalnya transportasi, perekonomian (pasar), perkantoran, komunikasi, informasi, politik, sosial-budaya dan sebagainya menjadi sangat mudah. Terlebih lagi, jika dihubungkan dengan pelaksanaan pernikahan, jemaat Bethel sangat dekat dengan kantor catatan sipil sehingga memungkinkan banyak pasangan yang memilih menikah di jemaat ini. Gedung gereja Yoseph Kam yang menjadi tempat pelaksanaan ritual nikah berada bersebelahan dengan kantor catatan sipil. Hal ini membuat seluruh proses ritual gereja dan pencatatan sipil tidak begitu sulit.
Alasan-alasan ini bagi saya sangat mempengaruhi keluarga karena akses yang mudah, daerahnya dekat dengan pusat-pusat pemerintahan, ekonomi yang juga memungkinkannya terjadi perubahan pikiran dan perilaku.
Pemaparan Realitas
Penulisan skripsi saya difokuskan pada dua hal yakni bagaimana pemahaman pendeta dan anggota jemaat tentang pernikahan dan pastoral nikah serta bagaimana pelaksanaannya di jemaat tersebut. Dari kedua fokus ini, maka akan ditemukan apa yang menjadi masalah dan darinya kita bisa merefleksikannya demi pengembangan gereja ini ke depan dengan berujung pada menawarkan model pastoral nikah berdasarkan hasil penelitian dan refleksi tersebut.
1. Pemahaman
a. Tentang pernikahan
Dari penelitian, saya temui bahwa pemahaman umat tentang pernikahan sangatlah bervariasi. Pertama, “pernikahan itu sebenarnya sakral sebab sudah diamanatkan oleh Allah sejak penciptaan dan itu berarti apa yang sudah disatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia”. Dengan demikian, data ini menggambarkan bahwa pernikahan itu sangatlah penting dan berguna demi kehidupan bersama, pernikahan itu sangat bersih, tidak bernoda, tidak membuat dosa, tidak mengandung perasaan buruk apapun, pernikahan adalah amanat Allah yang mesti dijalani oleh setiap manusia ciptaan-Nya karena dengan pernikahan ada tanggungjawab besar yang mesti dilakukan ke depan. Hal ini diperkuat dengan pemahaman bahwa “dengan pernikahan, suami dan istri menjalankan kewajibannya masing-masing. Selain itu, pernikahan pun dipahami sebagai “anugerah Allah”. Itu berarti bahwa pernikahan adalah hadiah yang diberikan Allah kepada umat-Nya, Allah yang berkehendak terhadap pernikahan itu.
Kedua, “Pernikahan adalah ikatan yang sejati”. Itu berarti bahwa umat memahami pernikahan sebagai sesuatu yang murni sehingga aspek keaslian menjadi penting. Keaslian yang dimaksudkan adalah seluruh entitas diri dari setiap pribadi yang mencakup karakter, kepribadian, kebiasaan, aturan dan sebagainya. Masing-masing pribadi mestilah mengungkapkan siapa dirinya yang sebenarnya karena “pernikahan adalah penyatuan dua pribadi yang berbeda sebab setiap manusia tidak bisa hidup sendiri dan tidak selamanya sendiri sehingga membutuhkan penolong”. Dari penyatuan dua pribadi ini, pernikahan pun dipahami “sebagai penyatuan jodoh”. Pengakuan akan jodoh seseorang didapati melalui proses perkenalan, pacaran dan pernikahan. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam pernikahan yang sejati maka setiap pribadi harus dapat mengenal, memahami dan merasakan apa yang dikenal, dipahami dan dirasakan oleh pasangannya sehingga mereka dapat bersatu. Penyatuan dua pribadi yang berbeda sangatlah sulit. Apalagi dua pribadi yang memiliki sekian banyak hal mendasar yang sulit sekali dilepaskan dari dirinya ketika kedapatan sangat berpengaruh negatif bagi kebersamaan keduanya. “Pernikahan bukan sekedar ikut-ikutan dan sekedar waktunya untuk menikah”. Oleh karena itu pendasaran akan kesakralan sebuah pernikahan menjadi berpengaruh pula pada aspek keaslian atau kesejatian setiap pasangan. Setiap calon pasutri atau pun pasutri yang menyadari akan sakralnya sebuah pernikahan pasti menyadari pula akan pentingnya keaslian diri dalam pernikahan. Sehingga pada akhirnya proses penyatuan itu dapat dilakukan dengan sempurna.
Ketiga, pernikahan merupakan dasar dari seluruh kehidupan selanjutnya. Hal ini dikuatkan dengan pemahaman bahwa “pernikahan dimulai dengan sebuah ketidaktahuan akan apa yang terjadi nantinya”. Bayangkan saja kalau kehidupan selanjutnya didasarkan pada ketidakaslian atau ketidakterbukaan kedua pasangan, maka pastinya kehidupan selanjutnya akan menjadi semakin pincang.
Keempat, pernikahan dipahami sebagai “anjuran agama untuk manusia dewasa”. Setiap manusia yang sudah dewasa haruslah menikah.
Kelima, pernikahan adalah cara untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud dapat mencapai banyak hal diantaranya membina kehidupan bersama dengan orang yang dikasihi, mempererat hubungan yang sudah ada sebelumnya bahkan meneruskan generasi atau mempunyai keturunan.
Bervariasinya pemahaman tentang pernikahan didasarkan pada dua faktor yakni internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pribadi pasangan itu dalam hal pendidikan, pekerjaan. Pendidikan dan pekerjaan seseorang sangat menentukan pemahamannya tentang pernikahan. Sedangkan faktor eksternal dalam hal ini lingkungan di mana pasangan itu ada, hidup dan berkarya sangat pula mempengaruhi pemahamannya. Jika seseorang yang hidup dalam lingkungan sosial yang mayoritas keluarganya kacau balau maka akan sangat mungkin pemahamannya tentang pernikahan menjadi negatif atau sebaliknya.
b. Tentang pastoral nikah
- Umat
Pertama, “Pastoral pra ritual nikah dipahami sangatlah penting untuk membekali pasutri mengarungi kehidupan keluarga”.
Pemahaman kedua, pastoral pra ritual nikah menjadi media untuk “seorang saksi dapat mengetahui kewajiban dan tanggungjawabnya dalam membina dan membimbing calon pasutri nantinya”, “serta calon pasutri yang ingin bertanya seputar bagaimana menjalani kehidupan keluarga nantinya” .
Pastoral ritual nikah dipahami sebagai “wadah untuk mengingatkan kembali apa yang telah dibicarakan sebelumnya dengan melegitimasikannya lewat akta pemberkatan nikah dan melalui media khotbah seorang pendeta dapat memberikan dasar-dasar penting juga bagi pasutri ketika mereka akan diteguhkan dan menghadapi sekian banyak persoalan nantinya”. Selain khotbah, gagasan-gagasan yang sarat makna dalam prosesi ritual nikah atau penggunaan tata ibadah juga menjadi media pembinaan yang baik bagi calon pasutri untuk memahami dan menjalankan akat nikahnya. Hal ini berarti bahwa pastoral pra ritual nikah belum cukup untuk membekali mereka. Pastoral ritual nikah pun menjadi sangat penting dan berguna.
“Pastoral pasca ritual nikah sangat berguna dan bermakna bagi keharmonisan keluarga”. Pemahaman ini menekankan pemahaman pertama tentang pastoral pasca ritual nikah.
Kedua, menyadari akan sekian banyak masalah yang sudah dihadapi maka “pastoral pasca ritual nikah sangat membantu memampukan pasutri mengatasi masalahnya”.
Ketiga, “pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah, memungkinkan pelayan dapat membantu mengokohkan dan mengingatkan pasutri untuk menjaga langgengnya pernikahan”.
Keempat, Pastoral pasca ritual nikah sangatlah berguna dan dipahami sebagai sebuah pergumulan bersama antara pelayan (pendeta dan majelis) dan umat (pasutri). Lebih kongkritnya, moment perayaan penambahan usia pernikahan menjadi salah satu upaya pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah. karena dapat mensyukuri akan sekian banyak gelombang dan badai kehidupan yang terjadi namun tidak membuat keretakan dalam rumah tangga karena Allah berperan dalam keluarga” .
Varian pemahaman umat tentang pastoral nikah bagi calon pasutri yang akan menikah, calon pasutri yang sedang menikah bahkan pasutri yang telah menikah, dilatar belakangi pada kebutuhan yang berbeda-beda. Baik kebutuhan sebagai seorang calon pasutri atau pasutri maupun saksi. Maksudnya ialah, sebagai seorang calon pasutri yang akan menikah memiliki kebutuhan hanyalah sebatas pengetahuan dan pendidikan tentang pernikahan sedangkan pasutri yang telah menikah, kebutuhannya terkait dengan soal praktis penanganan masalah yang sedang dihadapi. Dengan perbedaan kebutuhan ini, maka pastinya pemahaman mereka pun berbeda. Namun, ada hal menarik yang telah ditekankan bahwa perbedaan kebutuhan itu, mestinya dilakukan sinkronisasi atau upaya menghubungkan. Maksudnya ialah, pelayanan pastoral nikah mestilah berkelanjutan. Perbedaan kebutuhan tidak menjadi penghambat untuk keberlanjutan pelayanan ini. Tetapi, mestinya menjadi pegangan untuk melanjutkan pelayanan ini dalam wujud yang kongkrit yakni relasi. Pemahaman ini akan sangat bermanfaat bagi pelayanan pastoral nikah yang berkelanjutan mulai dari pastoral pra ritual nikah, pastoral ritual nikah dan pastoral pasca ritual nikah.
Pengalaman yang berbeda-beda juga menjadi latar belakang yang sangat penting untuk mengetahui varian pemahaman itu. Setiap calon pasutri ataupun pasutri dilayani oleh pelayan yang berbeda memungkinkan mereka pun memiliki pemahaman yang berbeda. Setiap pendeta akan membicarakan hal yang berbeda pada setiap pertemuan dan hal ini pun membentuk frame pikir umat tentang apa yang dilakukan. Hal ini memungkinkan mereka memiliki pengalaman dan berimplikasi pada pemahaman mereka.
- Pendeta
Pertama, Pelayanan pastoral nikah dipahami “sebagai sebuah keutuhan dan kelanjutan proses sebelumnya sehingga pelaksanaannya pun bertahap mulai dari sebelum menikah sampai setelah menikah”. Hal ini memberikan gambaran bahwa pastoral nikah berguna, utuh dan berkelanjutan.
Kedua, pastoral nikah dipahami sebagai sebuah panggilan karena Allah yang mengamanatkan lewat Alkitab tentang hubungan laki-laki dan perempuan lewat pernikahan. Ada sekian banyak pendasaran Alkitabiah yang mesti dimiliki sebagai sebuah proses panggilan pelayanan ini . Ketiga, aspek relasi yang kemudian terdapat proses saling mengenal antara calon pasutri dan pendeta menjadi hal penting dalam pelaksanaan pastoral pra ritual nikah. Karena dengan relasi dan pengenalan yang baik maka keterbukaan menjadi dapat dicapai dan pembicaraannya pun menjadi berarti.
Keempat, dalam pelaksanaan pastoral pra ritual nikah, calon pasutri yang datang dengan pemahaman pribadinya akhirnya dapat memperoleh pencerahan pemahaman dan pengetahuan bertambah soal pernikahan serta keluarga. Mulai dari bagaimana perannya sebagai seorang suami-istri, bagaimana menjaga kemurnian dan kesucian keluarga dan sebagainya.
Varian pemahaman pendeta ini, dilatar belakangi pada pengetahuan dan pengalaman. Jemaat GPM Bethel yang berada di Klasis Kota Ambon dan wilayahnya yang sangat strategis memungkinkan perbedaan pemahaman dan pengalaman. Apalagi jika dihubungkan dengan keterlibatan pendeta dalam sekian banyak seminar dan pelatihan bagi pelayanan, memungkinkan mereka memiliki pemahaman yang berbeda.
Hal ini memberi ruang bagi sebuah transformasi pastoral nikah yang fungsional. Di mana, para pendeta diberikan bekal yang baik untuk melakukan pelayanan pastoral nikah mulai dari pra ritual nikah, ritual nikah dan pasca ritual nikah. Keterampilan yang baik sangat memudahkan pelayanan pastoral nikah dan membantu keluarga-keluarga Kristen menghadapi dunia dengan segala perubahannya.

2. Pelaksanaan Pastoral Nikah
Pelaksanaan pastoral nikah dengan ketiga aspeknya yakni pastoral pra ritual nikah, pastoral ritual nikah dan pastoral pasca ritual nikah di Jemaat GPM Bethel adalah sebagai berikut :

a. Pra Ritual Nikah
Pelaksanaan pastoral pra ritual nikah dimulai dengan pendaftaran oleh pasangan, satu bulan sebelum pemberkatan nikah; setelah itu calon pasutri ini dikomunikasikan kepada jemaat lewat warta jemaat pada ibadah minggu selama 2 minggu berturut-turut dengan tujuan agar semua umat mengetahui; jadwal pastoral pra ritual nikah ditetapkan sehari atau dua hari sebelum ritual atau pemberkatan nikah; materi pastoral pra ritual nikah berbeda antara setiap pendeta, namun semuanya berangkat dari realitas masyarakat yang kemudian beracu pada Firman Tuhan. Proses pelaksanaan pastoral pra ritual nikah akan dideskripsikan melalui contoh verbatim ini.
Pelaksanaan pastoral pra ritual nikah yang dilakukan oleh Pdt. S. Hehanussa dengan percakapan sebagai berikut :
1. Pendeta berdoa
2. Percakapan yang dilakukan antara pendeta, saksi dan calon pasutri
Pdt : Apakah saksi sudah berkeluarga ?
Saksi : Sudah
Pdt : Hal ini perlu dipertanyakan karena pengalaman berkeluarga saksi dapat dijadikan pelajaran buat calon pasutri.
Pdt : Berapa lama saling mengenal ?
Calon pasutri : 13 tahun
Pdt : Kenapa baru menikah
Calon pasutri : Untuk lebih mengenal.
Pdt : Apakah sudah memikirkan untung dan rugi berkeluarga? karena menikah itu satu kali saja. Oleh karena itu mesti mendalami karakter masing-masing. Apalagi seorang laki-laki itu mau untung sendiri dan bagaimana sikap perempuan. Landaskan keluarga buat Tuhan dan jangan terlalu cemburu. Masa lalu kalian berdua sudah selesai ?
Calon pasutri : Sudah
Pdt : Hal ini mesti ditanyakan karena misalnya pada saat muda pernah mengecewakan orang lain dan sebagainya. Semuanya itu pada ujung-ujungnya berdampak pada keluarga nantinya. Ada fakta, bahwa ketika sudah menjadi suami-istri dan memiliki anak, ada masalah paling berat yakni anak sakit keras dan ditemukan bahwa orang tuanya pada masa muda pernah menyakiti hati orang. Coba bacakan mazmur 133.
Calon pasutri : membaca…
Pdt : Kalian berdua tidak menikah sendiri namun ada keluarga besar. Oleh karena itu kalian mesti mengenal dunia dalam hal ini keluarga baru. Selain itu persepuluhan juga menjadi penting sehingga harus mengetahui bagaimana pengaturan keuangan keluarga. Misalnya saja ketika mendapat gaji, pulang berdoa lebih awal, menyediakan persepuluhan, bagikan sesuai kebutuhan. Mestinya mengambil nilai positif dari keluarga.
Pdt : Apakah saksi mau bertanya ?
Saksi : …diam…
3. Penjelasan teknis ibadah pemberkatan nikah nantinya. Penjelasannya seputar cara pegang tangan, tukar cincin dan tata ibadahnya.
4. Menyanyi
5. Berdoa
Setting duduk dari proses ini seperti dalam persidangan karena pasutri dan saksi duduk dengan teratur di depan pendeta dan hanya dibatasi oleh meja. Pelaksanaan yang demikian sudah diberlakukan sejak lama dan menjadi sebuah kebiasaan dalam kurun waktu yang lama. Hal ini dilatar belakangi dengan kebiasaan pendeta yang melanggengkan sebuah tradisi, terlepas apakah itu efektif ataukah tidak (taken for granted). Semua kostor yang hendak mengatur ruangan gereja sudah mengetahui setting duduk seperti ini karena sudah sangat lama diberlakukan. Setting duduk yang seperti ini sangat menggangu kontak awal yang dijalin antara pendeta, saksi dan calon pasutri. Dikatakan demikian karena setting duduk yang kaku sangat menggangu relasi yang ada. Kekakuan duduk menjadi sebuah ketakutan untuk berbagi cerita, informasi dan memberikan bimbingan. Selain itu, pelayanan pastoral pra ritual nikah yang dilakukan tidak mengandung unsur penting dalam pastoral pra ritual nikah, dimana tidak ada aspek pendidikan atau berbagi informasi antara pendeta, saksi dan calon pasutri tentang latar belakang perkawinan ditinjau dari segi Alkitabiah dan sejarah, tempat dan posisi keluarga di dalam masyarakat dan budaya yang berubah-ubah, pengertian tentang peranan perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan pekerjaan, prinsip-prinsip keuangan keluarga, pengertian tentang seksualitas dan interpretasi tentang seks, apa artinya kesucian pernikahan, hubungan dengan mertua, kemampuan menyelesaikan masalah, hubungan gereja dan rumah tangga dan kehidupan religius keluarga. Selain itu, tidak adanya proses bimbingan untuk mengembangkan apa yang telah diinformasikan berdasarkan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Misalnya bagaimana mengelola keuangan dengan menentukan budget pada setiap kebutuhan yang ada. Pelayanan pastoral pra nikah lebih banyak dilakukan dengan percakapan. Hal memberikan sumber bacaan dan kelompok belajar tidaklah dilakukan. Proses konseling pastoral yakni hadir, mendengar dan empati yang semuanya dapat terwujud lewat suasana yang friendship, family interaction dan pastoral contacts tidak tercipta dalam pelayanan ini. Pendeta tidak benar-benar ada dan siap sedia dengan calon pasutri dan saksi, pendeta tidak menjadi pendengar yang setia karena pendeta mendominasi pembicaraan apalagi pendeta menjadi orang yang berempati atau merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh calon pasutri dan saksi. Selain itu, pendeta lebih banyak memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga calon pasutri tidak dapat mengeksplorasi pikiran dan perasaannya. Suasana yang dibangun dalam pelayanan pastoral pra ritual nikah ini, adalah kekakuan karena tidak ada respon dari calon pasutri dan saksi yang berarti demi pengembangan proses ini. Hal ini didasarkan pada pertanyaan yang bersifat tertutup yang memungkinkan hanya dijawab dengan satu atau dua kata saja. Proses pastoral pra ritual nikah yang dilakukan bukanlah konseling tetapi tanya jawab. Pelayanan pastoral pra ritual nikah yang seharusnya merupakan proses panjang atau tidak sekali jadi secara faktual dilakukan dengan durasi yang hanya 45 menit. Mengindikasikan bahwa pelayanan ini tidak memberikan sebuah kontribusi berarti bagi hubungan selanjutnya bahkan bisa dikatakan bahwa pelaksanaan ini hanyalah sebuah rutinitas dan menjawab kelengkapan pelayanan bukannya sebuah upaya menolong pasutri.
Verbatim yang berikut, tercatat lewat pelaksanaan pastoral pra ritual nikah yang dilakukan oleh Pdt. R. Rahabeat, dengan proses sebagai berikut :
1. Penyampaikan pokok pembicaraan seputar pembicaraan serius dan teknis oleh pendeta.
2. Pendeta berdoa
3. Percakapan yang dilakukan antara pendeta, saksi dan calon pasutri
Pdt : Apa alasan saudara-saudari menjadi saksi ?
Saksi : Saya adalah keluarga dari Billy dan baru disampaikan untuk menjadi saksi kemarin. Sedangkan saya merasa bertanggungjawab karena Lieke adalah jemaat yang berdomisili di sektor pelayanan saya serta ada ikatan keluarga di antara kami.
Pdt : Apakah perbedaan usia di antara calon pasutri menjadi masalah? apakah ini kehendak mereka ataukah Tuhan?
Calon pasutri : ....diam.... Kehendak Tuhan.
Pdt : Itu berarti badai apapun bisa diatasi.
Apakah sudah bekerja ?
Calon pasutri : Saya belum bekerja dan Lieke sementara berkuliah.
Pdt : Keluarga bisa berjalan dengan baik walau belum ada yang bekerja?
Calon pasutri : Bisa.
Pdt : Bagaimana pengaturannya, misalnya tempat tinggal?
Calon pasutri : Setelah menikah baru diatur namun mesti tinggal dengan orang tua laki- laki.
Pdt : Dengan pernikahan yang dilakukan, berarti keluarga menjadi tambah banyak, kalian mesti mengetahui bagaimana caranya mengatur kebutuhan keluarga apalagi sedikit lagi anaknya lahir karena menikah adalah keputusan untuk bertanggungjawab.
Apakah ada yang ingin disampaikan saksi buat calon pasutri?
Saksi : Percaya buat Tuhan adalah dasar berumahtangga, jadi mesti melandasi keluarga dengan Takut akan Tuhan.
Pdt : Bagaimana suasana hati sekarang ?
Calon pasutri : …diam…
Pdt : Apakah keluarga hadir dalam ibadah pemberkatan nikah besok ?
Calon pasutri : Ya
Pdt : Setelah ini apakah calon istri bisa melanjutkan kuliah ?
Calon suami : Ya
4. Penjelasan teknis ibadah
5. Pendeta menawarkan diri untuk menjadi gembala selesai menikah nantinya.
6. Meminta kesediaan saksi berdoa
Setting duduk yang telah diatur seperti biasa namun pendeta berinisiatif untuk duduk dengan santai namun serius, di mana calon pasutri dan saksi mencari tempat yang nyaman menurut mereka dan pendeta menyesuaikan. Pelaksanaan ini, sedikit membuat relasi menjadi agak baik. Durasi pelayanan pastoral pra ritual nikah yang 1 jam 50 menit menjadi berarti pada setiap tatap muka dari sekian tatap muka yang ada semestinya. Namun, kenyataannya pelayanan ini hanyalah satu kali saja memungkinkan banyak hal yang tidak dibicarakan dan dibagikan. Apalagi pembicaraan ini bagi calon pasutri yang menikah karena “kecelakaan” tidak menjadi hal yang begitu serius dilakukan oleh pendeta. Proses pelaksanaan pastoral nikah yang dilakukan tidak mengindikasikan proses konseling pastoral yang fungsional. Hal ini dibuktikan dengan pertanyaan pendeta yang masih bersifat tertutup sehingga jawaban calon pasutri dan saksi pun tidak memunculkan eksplorasi diri yang berarti sehingga yang dibangun adalah kekakuan dalam berelasi. Pertanyaan yang tertutup ini, berimplikasi pada eksplorasi pikiran dan perasaan calon pasutri yang tidak begitu dalam. Saksi dan calon pasutri belum begitu mengeksplorasi pikiran, pengalaman dan perasaannya. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa pelayan pastoral nikah hanya bertujuan untuk membicarakan proses pernikahan atau ritual nikah tanpa mempersiapkan calon pasutri secara mendalam.
Semua proses pelaksanaan pastoral pra ritual nikah sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan pengetahuan calon pasutri tentang pernikahan dan seluk-beluk keluarga nantinya serta kesadaran saksi akan tanggungjawabnya.
b. Ritual Nikah
Perencanaan pelaksanaan pastoral ritual nikah dilandasi dengan pikiran bahwa calon pasutri yang akan diberkati ini adalah anak yang ingin direstui keputusannya, sehingga membutuhkan penjemputan. Ada sekian simbol yang dipakai dalam pelaksanaan ritual nikah ini, salah satunya adalah lilin yang melambangkan pengharapan bahwa mereka dalam menjalani kehidupan, hendaknya berjalan dalam terang Tuhan. Seluruh rangkaian prosesi ibadah pemberkatan nikah menjadi tanggungjawab Majelis Jemaat GPM Bethel mulai dari pintu gereja sampai selesai ibadah pemberkatan nikah. Prosesinya sebagai berikut :
1. Pasangan lebih dulu berada di depan pintu dan menyambut keluarga besar, Keluarga besar pun memasuki gedung gereja. Sebagai ungkapan penghormatan bagi keluarga, karena sebelumnya (pada saat bersiap-siap di rumah), mereka (pasangan dan keluarga) datang bersama-sama dan keinginan atau keputusan ini berdasarkan dukungan keluarga besar.
2. Penyampaian ungkapan rasa dan gaung Syalom dari Majelis Jemaat bagi keluarga besar dan panggilan dari pelayan dalam hal ini pendeta bagi pasangan (majelis-pasangan dengan pendamping orang tua-saksi-anak kecil). Salah seorang anak kecil membawakan lilin sebagai simbol dari kepribadian masing-masing pasangan.
3. Sesampai di depan, pasangan membakar lilin masing-masing yang sudah disiapkan sebagai simbol bahwa mereka masing-masing masih dengan kepribadiaannya/egonya.
4. Menghadap orang tua dan keluarga besar dengan pesan “terima kasih karena sudah mengantar sampai di sini”.
5. Menghadap pendeta dengan pesan “kami sudah siap memulai Ibadah pemberkatan nikah”.
6. Ibadah pun dimulai.
7. Setelah pemberkatan, pendeta menyerahkan Alkitab kepada pasangan.
8. Pasangan mematikan lilin yang telah menyala dan menyalakan satu saja lilin secara bersama-sama sebagai simbol bahwa mereka telah satu dan membutuhkan kerjasama.
9. Melanjutkan ibadah sampai selesai.
Prosesi ritual nikah seperti ini, sudah dilaksanakan selama 4 tahun, namun hanya diberlakukan bagi calon pasutri yang berkeinginan dan kemudian dapat membiayai kebutuhan ritual tersebut (lilin, bunga). Selain itu, seluruh prosesi ibadah ritual nikah, digunakan tata ibadah yang disiapkan oleh keluarga atau dibawa sendiri namun mengacu pada tata ibadah yang telah ditetapkan oleh GPM.
Prosesi yang digagas sebaik ini, didasarkan pada pemahaman bahwa pasutri yang akan menikah ini adalah anak-anak yang memerlukan dukungan dari keluarga dan jemaat terhadap keputusan mereka. Semua ide yang kreatif ini tertumbuk dengan finansial yang tidak disiapkan sehingga semuanya berpulang pada pasangan itu apakah dia bersedia dan sanggup memenuhi finansialnya maka ide ini diberlakukan atau sebaliknya. Walau terkadang, prosesi merupakan bagian kecil dari pelaksanaan pastoral ritual nikah namun setidaknya ada kegunaan bagi pasutri. Ide ini mestinya juga didukung dengan khotbah Pendeta yang sangat kontekstual yang disesuaikan dengan keadaan berdasarkan hasil pastoral pra-ritual nikah sebelumnya.
c. Pasca Ritual Nikah
Pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah yang dilakukan di Jemaat GPM Bethel hanya sebatas ibadah biasa tanpa sharing yang mendalam antara pendeta atau majelis dengan pasutri. Ibadah ini dimediasi lewat perkunjungan pastoral yang dilakukan tiga kali dalam setahun, pada moment perkenalan Pendeta wilayah, sebelum sidi gereja dan akhir tahun. Prosesnya pun sebatas datang, menyanyi, membaca bagian Alkitab, berdoa dan pulang. Pelayanan ini hanya dilakukan oleh majelis. Hal ini diperkuat dengan perayaan penambahan usia pernikahan yang tidak pernah disyukuri dan dilayani atas inisiatif pelayan atau sudah dijadwalkan seperti perayaan penambahan usia kelahiran. Kalau pun ada syukuran penambahan usia pernikahan, bisa jadi dilakukan sendiri oleh pasutri dan keluarganya dengan menghadirkan pelayan, atau juga perayaan itu bertepatan dengan perayaan penambahan usia kelahiran sang istri. Secara tidak langsung, syukuran penambahan usia pernikahan, hanya pada saat ibadah minggu melalui warta jemaat. Pelayanan khusus bagi semua pasutri tidak begitu kelihatan dan mungkin belum ada bahkan lebih radikalnya, pelayanan pastoral pasca ritual nikah dalam pengertian pelayanan khusus bagi pasutri hanya diperuntukan bagi pasutri yang menghubungi Pendeta. Peran Pendeta sebagai inisiator tidak begitu nampak. Pelayanan pastoral pasca ritual nikah hendaknya merupakan upaya membangun kesadaran orang Kristen tentang kehadiran Yesus sebagai Juruselamat bukannya datang, berdoa, dan pulang.
Pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah yang demikian, dilatar belakangi pada tidak adanya keputusan dalam hal ini program yang memperhatikan keluarga-keluarga Kristen dewasa ini. Karena itu, sebuah pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah yang dilakukan belumlah fungsional dan menjawab kebutuhan mendasar pasutri. Selain itu, kesempatan sepanjang setengah hari lebih banyak Pendeta habiskan di kantor jemaat dan malamnya melayani ibadah-ibadah serta tugas fungsional lainnya sehingga proses berkenalan dengan keluarga-keluarga Kristen tidak begitu intensif. Dalam hal ini, pembagian wilayah pelayanan kepada para pendeta, dimanfaatkan dengan hanya dua kali pertemuan sepanjang satu tahun yakni pada awal pembagian wilayah pelayanan dan waktunya ditentukan Pendeta untuk mengenal semua anggota jemaat di wilayah pelayanannya serta perkunjungan akhir tahun. Padahal pembagian wilayah pelayanan, sebenarnya sangatlah fungsional untuk upaya pengontrolan dan monitoring masalah-masalah umat terkhususnya pasutri. Pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah hanya merupakan sebuah rutinitas belaka atau pemenuhan aktivitas pelayanan saja. Padahal dari hati setiap pasutri, ada keinginan untuk berbagi dengan Pendeta. Masalah yang dihadapi setiap orang tidak bisa diselesaikan sendiri, mereka membutuhkan telinga untuk mendengar cerita mereka, mereka membutuhkan orang untuk ada bersama mereka. Apalagi kalau orang yang mendengar dan ada bersama mereka adalah seorang Pendeta, betapa hati ini dipuaskan. Selain itu, pembicaraan atau percakapan seputar membina anak dan keluarga sebagai basis menciptakan tanggungjawab terhadap lingkungan serta berikan yang terbaik bagi Allah tidak menjadi pembicaraan yang berarti dalam pelayanan pastoral pasca ritual nikah. Syukuran penambahan usia perkawinan bisa dijadikan media untuk terus memonitoring dan mengontrol setiap keluarga. Namun, semuanya itu hanyalah di atas kertas saja atau diprogramkan pada persidangan jemaat setiap tahun tetapi tidak ada realisasinya sama sekali. Kalau pun ada, itu karena inisiatif keluarga atau bertepatan dengan penambahan usia kelahiran istri atau salah satu anggota keluarga. Mungkinkah keterampilan Pendeta yang kurang menjadi alasan sehingga pelayanan ini tidaklah fungsional? Semua fakta ini mesti menyadarkan kita semua khususnya gereja bahwa di bagian terkecil dari diri umat, ada banyak yang membutuhkan sentuhan, kasih sayang dan perhatian dari Pendeta.
Sekian banyak latar belakang terhadap sebuah pemahaman serta pelaksanaan pernikahan dan pastoral nikah dari umat dan Pendeta, memungkinkan terkondisinya sebuah keadaan yang bermasalah. Pemahaman umat yang berbeda tentang pernikahan mengindikasikan bahwa pernikahan hanyalah dipahami dari satu segi saja. Padahal, untuk memahami pernikahan sangatlah kompleks sebab dalam sebuah ikatan pernikahan, semua segi kehidupan pasutri dipertaruhkan disana. Pasutri bukan hanya seorang individu yang beragama tetapi juga individu yang berekonomi, bersosial dan sebagainya. Itulah problematika pertama yang ada sekarang ini.
Kedua, lingkungan sosial jemaat tidaklah menjadi komunitas yang menyembuhkan tetapi menjadi komunitas yang mempengaruhi. Sampai-sampai pengaruhnya pun negatif. Dikatakan demikan karena keadaan keluarga yang bermasalah mengkondisikan keluarga yang lain pun bermasalah. Padahal sebuah komunitas hendaknya menjadi komunitas yang menyembuhkan. Sebuah keluarga yang bermasalah hendaknya dibantu dengan hal paling mendasar yakni penerimaan di tengah lingkungan sosial dan seterusnya.
Ketiga, kebutuhan yang berbeda-beda dari umat menjadi penghalang bagi keberlanjutan pelaksanaan pastoral nikah mulai dari pastoral pra ritual nikah, pastoral ritual nikah dan pastoral nikah. Padahal, perbedaan kebutuhan itu, mestinya menjadi pegangan untuk memenuhi kebutuhan calon pasutri dan pasutri serta melakukan transformasi aksi.
Ke empat, keterampilan yang di miliki pendeta menjadi bermasalah karena dengan minimnya keterampilan sehingga proses pelaksanaan pastoral nikah pun menjadi tidak efektif. Hal ini dibuktikan dengan upaya membangun relasi yang erat tidak ada sehingga kepercayaan dan keterbukaan dari calon pasutri kepada pendeta tidak tercipta, serta pertanyaan yang bersifat tertutup menjadi jalan terbaik sehingga tidak adanya feed back dari calon pasutri dalam bentuk eksplorasi pengalamannya pada saat pelaksanaan pastoral pra ritual nikah. Hal ini mengindikasikan bahwa semua segi kehidupan pasangan itu tidaklah dieksplorasi dengan mendalam. Selain itu, pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah dilakukan secara umum dan tidak begitu memenuhi kebutuhan umat dalam hal permasalahan keluarga, pegangan hidup dan sebagainya.
Kelima, masalah tidak adanya perhatian pelayan kepada pasutri secara kongkrit dalam wujud memprogramkan pelaksanaan pastoral nikah yang berkelanjutan serta kontekstual. Hal ini, disebabkan karena kesempatan para Pendeta yang sangat banyak berorientasi pada pelayanan ibadah memungkinkan tidak adanya program yang mengakomodir kebutuhan keluarga Kristen.
Penutup
Dari ke lima masalah berdasarkan hasil analisis, maka masalah itu akan direfleskikan sehingga bertujuan pada menawarkan model pastoral nikah.
1. Pernikahan Kristen dan Pastoral Nikah
Pernikahan Kristen adalah dasar dan inti persekutuan jemaat, gereja dan masyarakat. Pernikahan Kristen adalah inti persekutuan Allah dan manusia. Hal ini membuat pernikahan Kristen berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri. Pernikahan Kristen hendaknya dapat menghasilkan keluarga Kristen yang takut akan Tuhan, menyakini pernikahan sebagai sebuah pergumulan dan panggilan bersama, saling mengisi, rela berkorban (berani menanggung susah bersama-sama untuk mempertahankan keluarga), setia, teman sekerja bukan pesaing, saling menghargai, menghadirkan Roh Kudus, keterbukaan, damai. Hal ini mestinya menjadi ciri khas keluarga Kristen yang harus terus dipelihara dan dipertahankan, apalagi diperhadapkan dengan problematika keluarga dewasa ini yang penuh dengan sekian banyak masalah di antaranya tidak memiliki keturunan, menikah di usia muda, suami yang belum bekerja, perselingkuhan, lingkungan sosial yang sangat mempengaruhi, perkembangan anak-anak, karakter suami yang tegas, perceraian, hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga besar, ketidakjujuran tentang pendapatan atau keuangan dan sebagainya. Perkawinan Kristen bukanlah urusan duniawi melainkan misteri ilahi (Efesus 5:23). Sebagaimana dikatakan oleh Karl Barth “marriage is a divine vocation to life partnership”. Maksud utama pernikahan bukanlah untuk untuk meneruskan keturunan tetapi tujuan pada diri sendiri.
Setiap tujuan lain hanyalah pelengkap bagi tugas mendasar. Jika kebersamaan hidup dapat dipenuhi secara tepat sebagai tugas yang nyata dalam perkawinan ditempatkan di atas tujuan-tujuan lainnya, maka hidup perkawinan yang sejati akan tercapai. Menikah merupakan satu langkah penting dalam kehidupan seorang manusia yang harus dipertimbangkan masak-masak. Menikah tidak hanya melibatkan sepasang laki-laki dan perempuan, tetapi juga keterlibatan keluarga dari kedua belah pihak – calon suami dan istri. Menikah juga tidak hanya sekedar legitimasi hidup bersama sepasang kekasih, namun mengandung arti yang lebih mendalam, di mana masing-masing pasangan berani memutuskan untuk hidup bersama seumur hidup, bersama-sama menyesuaikan diri terhadap kebiasaan, gaya hidup, sifat-sifat, kepribadian yang berbeda, bersama-sama bertanggung jawab terhadap keluarga yang akan dibangunnya, siap menghadapi kehadiran anak kelak, siap pula menyelami hidup di dalam keluarga pasangan, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebelum sampai pada pengambilan keputusan apakah saya akan menikah atau tidak, perlu dipertimbangkan banyak hal. Di antaranya adalah membuat suatu perencanaan yang matang tentang hidup kita. Akan kita isi dengan apakah hidup kita ini, apa yang ingin kita lakukan dalam hidup, dan apa tujuan hidup kita, apakah kita akan menikah atau memilih karir saja, atau menunda pernikahan dulu karena ingin melakukan sesuatu yang lain dalam hidup? Jika memilih menikah, dengan siapakah kita akan menikah, pasangan seperti apa yang kita harapkan, kapankah saat yang tepat untuk menikah, dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bermunculan di dalam pikiran seseorang. Mengambil keputusan untuk ‘langkah besar’ ini bukanlah seperti kita memutuskan akan makan apa saya hari ini, akan mengenakan baju apa saya hari ini, atau akan mengerjakan tugas apakah saya hari ini. Namun memerlukan pemikiran yang lebih matang, perencanaan yang baik, agar tidak salah langkah dalam menentukan keputusan mana yang akan diambil. Mengambil keputusan merupakan salah satu karakteristik dari seorang individu yang matang dan inteligen.
Pastoral nikah yang mencakup pastoral pra ritual nikah, pastoral ritual nikah dan pastoral pasca ritual nikah adalah media yang dipakai gereja untuk mempersiapkan dan membimbing calon pasutri atau pasutri dalam mengambil keputusan etis serta menjalani kehidupan keluarga bersama-sama. Karena merupakan media yang disiasati oleh gereja, maka pendeta sebagai tenaga pelayan di gereja adalah figur yang memiliki peranan paling penting dalam melakukan pelayanan pastoral nikah. Pastoral nikah secara mendasar sangat berguna bagi keluarga Kristen. Pastoral pra ritual nikah dilakukan dalam upaya memberikan penghayatan pada pasutri akan makna sebuah pernikahan dan bagaimana dapat membina sebuah pernikahan yang berhasil karena pada umumnya, calon pasutri datang kepada pendeta hanya untuk membicarakan upacara pernikahan dan bukan pernikahan itu sendiri. Sehingga dengan pastoral pra ritual nikah, terjadi pembentukan dan pengembangan pemahaman tentang pernikahan dan kehidupan keluarga dalam terang Firman Tuhan. Selanjutnya, pastoral ritual nikah mengindikasikan calon pasutri memaknai suatu pernikahan, mengerti arti janji nikah yang akan mereka ucapkan serta komitmen yang akan dipikul sepanjang pernikahan mereka. Hal ini membuat mereka tidak hanya mengikrarkannya tetapi mampu menghayatinya. Pastoral pasca ritual nikah menjadi sebuah upaya pembimbingan dan penopangan terhadap pasutri dan keluarga serta panggilan untuk bergumul bersama umat, pada basis yakni keluarga dalam mengatasi berbagai masalah keluarga yang adalah pelayanan umat sebagai persekutuan maupun institusi.
Melalui ruang lingkup pembinaan keluarga Kristen, pastoral nikah menjadi salah satu media untuk pembinaan bagi keluarga Kristen yang pada hakekatnya diarahkan untuk pembentukan keluarga Kristen selaku tempat pertama dan utama dalam pembinaan umat secara menyeluruh. Oleh karena itu peranan keluarga tidak dapat digeserkan oleh tempat dan peran pembinaan lainnya. Pelayanan pastoral nikah menjadi hal yang penting karena dengan pelaksanaan pastoral nikah maka keluarga Kristen yang diikat melalui sebuah ikatan yang sakral yakni pernikahan menjadi sebuah keluarga yang dapat menghadirkan tanda-tanda shalom Allah lewat pikir, kata, tindak mereka sehingga semua persoalan dapat diatasi bersama-sama. Bukan hanya itu, dengan adanya pelayanan pastoral nikah, umat disadarkan tentang pernikahan dan keluarga Kristen. Secara teologis, pernikahan merupakan sesuatu yang sakral sehingga mesti dijaga sampai maut memisahkan (Markus 10:6-10). Karena Allah yang menghendaki pernikahan dan Allah yang membentuk pernikahan itu.
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang yang akan menikah. Janganlah menikah karena merasa kasihan kepada orang, melarikan diri dari keluarga yang tidak bahagia, anda bisa, komitmen yang tidak jelas, takut seks, hamil atau menghamili tetapi menikahlah bila anda dapat membuat keputusan, siap menerima keputusan yang bertentangan, sudah memiliki pekerjaan tetap, mampu untuk tidak menjajakan seluruh pendapatan, keinginan untuk menjalani hidup dengan seorang melebihi semua hal. Semua prinsip ini sangatlah penting dibicarakan dalam pelaksanaan pastoral nikah. Kesiapan calon pasutri untuk menikah mestinya dimanfaatkan dalam pelaksanaan pastoral pra ritual nikah. Dengan adanya pastoral pra ritual nikah, kesiapan calon pasutri sudah mestinya benar dan lurus.
Pastoral pra ritual nikah menjadi sebuah jembatan bagi umat untuk membangun pemahaman dan penghayatan yang sungguh akan pernikahan dan keluarga. Pastoral ritual nikah menjadi penting untuk mengingatkan pasutri akan pendasaran dan penghayatan itu dengan sebuah legitimasi kuat yakni pemberkatan nikah. Pastoral pasca ritual nikah menjadi sebuah cara untuk terus membina dan membimbing pasutri dalam peranannya dan fungsinya sebagai sebuah keluarga. Seluruh tujuan mulia dari pelayanan pastoral nikah tidak dapat terwujud dengan sendirinya tetapi melalui sebuah proses dan karena itu, pastoral nikah mestinya berkelanjutan.
Pelaksanaan pastoral nikah yang efektif, memungkinkan terwujudnya keluarga Kristen yang mampu mengatasi sekian masalah. Sehingga tanda-tanda shalom Allah menjadi nyata lewat kualitas diri dari keluarga Kristen.

A. Pendekatan Pastoral Nikah yang Holistik dan Komprehensif
Pemahaman umat dan pelayan tentang pastoral nikah menghasilkan sebuah nilai, betapa pentingnya pelaksanaan ini dan dari nilai berharga itu dilaksanakanlah sebuah praktek. Semuanya ini mengharapkan pembenahan akan pastoral nikah yang lebih efektif. Pembenahan ini terhalang dengan sekian banyak faktor penghambat dan karena itu, sangat dibutuhkan sebuah pendekatan yang berarti dan semuanya itu membutuhkan proses yang cukup panjang.
Pendekatan ini bagi Clinebell disebut dengan pendekatan yang holistik. Kata holistik, berasal dari bahasa Inggris “wholistic” yang berarti menyeluruh. Jadi, yang dimaksudkan dengan pastoral nikah yang holistik adalah pelayanan pastoral yang diberikan bagi calon pasutri atau pasutri secara utuh dan menyeluruh yakni baik secara fisik, mental sosial dan spiritual. Pendekatan ini menjadi penting karena Yesus dalam pelayanannya sendiri sifatnya holistik juga. Yesus tidak hanya memperhatikan hal-hal spiritual saja dalam pelayanan-Nya, Ia juga memperhatikan hal fisik. Dikatakan dalam Yohanes 6:2, orang banyak berdatangan mengikuti Dia, karena mereka melihat mujizat-mujizat penyembuhan, yang diadakan-Nya terhadap orang-orang sakit. Kemudian Yohanes 6:5, Yesus ingat akan orang banyak itu membutuhkan roti, kebutuhan jasmani pengikut-Nya dan Ia memberi mereka makan. Tidak hanya kebutuhan fisik saja yang diperhatikan dalam pelayanan Yesus, Dia juga memperhatikan kepentingan mental manusia (Lukas 11:14). Dia tidak berkenan manusia terganggu jiwanya, sebab itu Dia menyembuhkannya. Dalam menyelesaikan masalah-masalah dosa, Yesus tidak begitu saja menghukum, melainkan sangat memperhatikan hubungan sosial dari orang-orang yang terlibat dalam dosa. Contoh yang baik adalah pada saat Dia menyelesaikan masalah dari wanita yang kedapatan berbuat zinah (Yohanes 8:1-11), Dia menggunakan struktur sosial menjadi alat penyelesaian terhadap orang-orang yang merasa dirinya tidak berdosa.
Manusia dalam seluruh dimensi hidupnya yakni tubuh, roh dan jiwa mesti dilihat sebagai sebuah keutuhan. Keutuhan itu yakni pertama, dalam sudut pandang Alkitabiah, tubuh adalah bait Roh Allah dan itu berarti bahwa betapa pentingnya tubuh secara fisik. Kedua, keutuhan jiwa atau psikis. Pengertian kontemporer dewasa ini, mengasihi dengan segenap jiwa dapat diungkapkan sebagai pencurahan potensi mental dan emosional kita secara kontinu melalui proses belajar seumur hidup. Ketiga, keutuhan relasional. Yang dimaksudkan dengan relasi adalah hubungan seseorang dengan orang terdekat, lingkungan alam dan sosial, lembaga-lembaga sekitar serta Tuhan. Pemahaman ini tersirat dalam konsep Ibrani tentang “shalom” dan dalam konsep PB tentang “koinonia”. Shalom (juga damai sejahtera) adalah sebuah konsep yang menggambarkan baik, utuh dan sehat dalam hubungan atau relasi dengan sesama, lingkungan dan Tuhan. Dalam PB, kata Yunani Koinonia digunakan untuk menggambarkan gereja sebagai komunitas penyembuh. Konsep gereja sebagai komunitas penyembuh atau persekutuan yang menyembuhkan menghendaki pelayanan pastoral nikah yang integratif, yang memandang pasutri sebagai bagian integral dari persekutuan sehingga dengan persekutuan yang menyembuhkan, adanya penopangan dan pembimbingan bagi suami-istri pada saat sebelum menikah, sementara menikah maupun setelah menikah. Analoginya adalah jemaat atau persekutuan seumpama tanah atau pot yang menjadi wadah untuk menyediakan berbagai unsur hara bagi bertumbuhnya sebuah pohon yakni keluarga. Artinya, pertumbuhan keluarga Kristen turut dipengaruhi juga oleh kehidupan umat di sekitarnya. Komunitas turut menentukan jati diri keluarga dalam komunitas itu.
Pemahaman tentang keutuhan ini pun, mestinya juga diimplementasikan dalam pelayanan pastoral nikah. Calon pasutri hendaknya dilihat dalam keutuhannya sebagai manusia yang memiliki fisik, psikis dan relasi. Mestinya ada dialog teks-konteks dalam mencetuskan sebuah ide pembicaraan dalam pelaksanaan pastoral pra ritual nikah. Norman H. Wright menyatakan bahwa ada tujuh sasaran pastoral pra ritual nikah yakni mengatur rincian prosedur upacara pernikahan, membangun hubungan yang mendalam antara pendeta dan calon pasutri yang menjadi dasar pelayanan selanjutnya di masa depan, menyediakan pembetulan terhadap pemahaman yang salah mengenai hubungan pernikahan dan segi-seginya, menyediakan keterangan yang menolong calon pasutri untuk memahami diri sendiri, kelemahan dan kekuatan yang dibawa dalam pernikahan, mengurangi sebanyak mungkin kejutan dari pernikahan yang akan terjadi, menyediakan kesempatan bagi pertumbuhan rohani Kristen sebagai dasar pernikahan yang teguh, membantu calon pasutri mengambil keputusan terakhir mengenai rencana pernikahan mereka. Ketujuh tujuan ini, berdasarkan salah satu daftar pemeriksanaan yang dinamakan PREPARE (PREpernikahan Personal and Relationship Evaluation- Evaluasi Pribadi dan Hubungan Pranikah) yang dikembangkan secara ilmiah oleh Olson, Fournier dan Druckman (1986) mengharuskan bahwa pelaksanaan pastoral pra ritual nikah adalah serangkaian tindakan menolong yang mencakup antara lain :
1. Harapan yang realistik. Calon pasutri mesti ditolong untuk tidak terlalu romantis atau idealistis tentang cinta, tekad atau penyerahan diri dan pertentangan dalam hubungan mereka.
2. Masalah-masalah kepribadian. Calon pasutri perlu ditolong agar mencapai penyesuaian yang memuaskan berkenan dengan perilaku, kebiasaan dan ciri-ciri pribadi seperti keterlambatan, watak tertentu, pasang surut perasaan, keras kepala, kecemburuan dan penguasaan atau pengendalian terhadap orang lain, pernyataan kasih di depan umum, merokok, minum minuman keras dan ketergantungan.
3. Komunikasi. Calon pasutri perlu ditolong agar sadar mengenai perasaan, kepercayaan dan sikap terhadap peran komunikasi untuk mempertahankan hubungan pernikahan, persepsi mengenai cara memberi dan menerima informasi, persepsi mengenai keefektifan komunikasi dan mencapai kenyamanan dalam berbagai perasaan penting.
4. Penyelesaian konflik. Calon pasutri perlu ditolong agar menyadari sikap, perasaan dan kepercayaan mereka mengenai adanya konflik dan penyelesaiannya dalam hubungan mereka, keterbukaan mereka untuk mengenali dan menyelesaikan masalah, cara yang digunakan untuk mengakhiri perdebatan dan perlu ditolong mencapai kesepakatan yang memuaskan mengenai cara menyelesaikan masalah.
5. Pengelolaan keuangan. Calon pasutri perlu ditolong menyadari sikap dan keprihatinannya mengenai cara-cara mengelola masalah ekonomi kelak, kecenderungan mereka sebagai pembelanja dan penabung, masalah utang, pengambilan keputusan untuk pembelian benda yang besar dan mencapai kesepakatan yang memuaskan mengenai masalah keuangan dan pengelolaan uang dan status ekonomi.
6. Kegiatan waktu luang. Calon pasutri perlu ditolong menyadari hobi masing-masing dalam menggunakan waktu luang dan mencapai kepuasan mengenai penggunaan waktu luang.
7. Hubungan seksual. Calon pasutri perlu ditolong menyadari perasaan dan keprihatinannya mengenai hubungan kasih sayang dan seksual termasuk kebebasan berbicara mengenai seks, sikap terhadap perilaku seksual dan persetubuhan, perasaan terhadap ketidaksetiaan seksual dan keputusan mengenai perencanaan keluarga agar sepakat mengenai cara kasih sayang dinyatakan dan bersikap positif mengenai seks dalam pernikahan.
8. Masalah anak-anak dan menjadi orang tua. Calon pasutri perlu ditolong menyadari sikap dan perasaan mereka mengenai mempunyai dan membesarkan anak sehingga ada kesepakatan mengenai jumlah anak dan kapan mempunyai anak, peran seorang ayah dan ibu, penertiban anak, dan nilai-nilai yang diinginkan ada pada anak-anak mereka.
9. Peran-peran kesetaraan. Calon pasutri perlu ditolong menyadari kepercayaan, perasaan dan sikap mengenai berbagai peran berhubungan dengan pernikahan dan keluarga seperti peran kerja, peran rumah tangga, peran seks dan peran orang tua agar mencapai kesepakatan mengenai peran dan bidang tanggungjawab suami-istri berdasarkan kesetaraan atau berdasarkan tradisi.
10. Orientasi keagamaan. Calon pasutri harus ditolong untuk menyadari perasaan, sikap dan keprihatinan mereka mengenai makna kepercayaan dan praktek keagamaan dalam konteks pernikahan agar ada kesepakatan mengenai pentingnya agama, keterlibatan dalam kegiatan gereja, dan mengenai peran agama dalam pernikahan.
Dengan tujuan dan pentingnya pertolongan bagi calon pasutri, mengindikasikan bahwa pelaksanaan pastoral pra ritual nikah tidak dapat dilakukan satu kali saja tetapi mestinya melalui sebuah proses panjang dengan sesi pembicaraan yang dapat menjawab tujuan dan tindakan menolong dalam pastoral pra ritual nikah. Semua tujuan dan pembicaraan itu, dimulai dengan sebuah perkenalan antara pendeta dan calon pasutri secara fisik misalnya lebih mengasihinya serta memampukan pasutri mengatasi keterasingan dari tubuh mereka dan membantu mereka menikmati keutuhan tubuh-jiwa-roh. Hal ini terkait dengan perhatian atas makanan bergizi, senam, pengurangan stress dan kesehatan holistik. Secara psikis, pasutri dilihat dalam hal pikiran, perkataan dan perbuatan. Tiga aspek ini sangat berhubungan dengan jiwa dan berbicara tentang jiwa memiliki keterkaitan dengan kepribadian. Hal ini penting untuk diperbincangkan dalam pastoral pra ritual nikah karena setiap calon pasutri mesti mengenal siapa yang dinikahinya baik dalam urutan kelahiran maupun pengecualian-pengecualian yang dimiliki. Setiap calon pasutri mesti mengenal lebih dalam pasangannya. Dalam hal relasi, calon pasutri mesti disadarkan bahwa mereka berada di dalam dunia dengan segala kompleksitasnya. Kompleksitas mengenai relasi dengan orang terdekat, lingkungan alam atau sosial, Tuhan dan lembaga terkait. Salah satu hal yang menjadi penting adalah peran dan bimbingan orang tua dalam pelaksanaan pastoral pra ritual nikah sehingga orang tua disadarkan akan tanggungjawab dan perannya dalam membina dan membimbing anak-anak ini. “Hendaklah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anak mu” merupakan gagasan teologis mengapa orang tua mesti dilibatkan.
Pastoral pra ritual nikah mesti menyadarkan calon pasutri akan betapa penting dan berharganya pernikahan. Tujuan ini tidak dapat dicapai dalam waktu yang sangat singkat tetapi melalui waktu yang panjang karena aspek kesetiaan dan kesabaran diuji di sini. Oleh karena itu dia tidaklah instan tetapi harus melalui sebuah proses. Pastoral pra ritual nikah yang bertujuan untuk membangun hubungan yang mendalam antara pendeta dan calon pasutri menjadi dasar pelayanan selanjutnya di masa depan menjadi penting dilakukan sebab jika proses pastoral pra ritual nikah tidak berlangsung mendalam, maka pastoral nikah yang seharusnya berkelanjutan itu tidak dapat berlangsung secara baik. Artinya, melalui pastoral pra ritual nikah, Pendeta diposisikan sebagai pendamping untuk berproses dengan pasutri sejak awal, Pendeta dapat membangun relasi sosial dan emosional yang mendalam dengan calon pasutri sebagai langkah awal bagi pelaksanaan pastoral nikah yang berkelanjutan, sehingga jika dikemudiaan hari keluarga atau pasutri tersebut mengalami persoalan, maka Pendeta bukan lagi orang asing dan secara praktis pendampingan tidak lagi dimulai dari awal (pencairan suasana asing). Singkatnya, ketika berada dalam proses pastoral pra ritual nikah, maka pendeta mesti menyikapinya dengan kesadaran yang serius bahwa inilah langkah awal yang menentukan berlangsungnya pelaksanaan pastoral nikah ke depan (ritual nikah dan pasca ritual nikah).
Proses inilah yang memungkinkan pastoral nikah mestinya dilaksanakan secara berkelanjutan yakni melalui tahapan pra ritual nikah, ritual nikah dan pasca ritual nikah dengan segala proses di dalamnya. Bahkan hal ini berhubungan dengan kebijakan institusi ketika adanya mutasi Pendeta. Hal ini terkait dengan aspek kontinuitas dari pastoral nikah yakni catatan pastoral nikah yang memungkinkan pendeta yang baru melayani dapat mempelajari dan meneruskan apa yang telah dilakukan.
Tugas pastoral nikah yang berkesinambungan ini, terlalu berat untuk dilakukan oleh seorang pendeta. Oleh karena itu, pendekatan pastoral nikah yang komprehensif juga menjadi penting. Komprehensif dimaksudkan sebagai sebuah pendekatan yang inter-disipliner dengan memanfaatkan potensi yang ada di jemaat. Ada beberapa hal mendasar yang mestinya dipahami, pertama, inter-disipliner adalah sebuah upaya koinonia, dimana semua orang dalam komunitas memiliki peran untuk menyembuhkan keluarga Kristen yang ada. Kedua, inter-disipliner dipahami sebagai sebuah pengorganisasian pelayanan dengan memanfaatkan potensi jemaat. Hal ini didasarkan bahwa dalam jemaat ada sekian banyak karunia-karunia yang diberikan Allah dan semua karunia ini mesti dimanfaatkan untuk pelayanan (I Korintus 12:1-31). Ketiga, inter-disipliner, didasarkan bahwa pelayan mesti peka terhadap kebutuhan umat dan melakukan sebuah tindakan strategis yang didapatkan dari seluruh evaluasi pelayanan. Hal ini diperkuat dengan sebuah strategi pelayanan yakni tujuh orang yang dipilih untuk melayani orang miskin (KPR 6:1-7). Kepekaan juga mesti dilakukan gereja agar dapat menghasilkan keluarga Kristen yang utuh. Keempat, inter-disipliner dipakai karena seluruh pelayanan pastoral nikah bukan hanya dilakukan oleh pendeta tetapi seluruh elemen pelayanan mulai dari majelis jemaat sampai umat. Hal ini mengindikasikan bahwa semua umat yang percaya kepada Yesus Kristus diberikan tanggungjawab untuk melakukan upaya menolong orang lain (I Petrus 2:9-10). Semua pendekatan inter-disipliner ini, dipahami dalam upaya memahami gereja sebagai sebuah individu, persekutuan dan institusi. Ketiga aspek ini hendaknya dapat sejalan dalam melakukan seluruh tugas pelayanan sehingga dapat menghadirkan tanda-tanda shalom bagi dunia khususnya keluarga Kristen sehingga keluarga Kristen pun dapat menghadirkan tanda-tanda shalom bagi orang lain.


B. Model Pastoral Nikah
Pendekatan pastoral nikah yang holistik dan komprehensif memungkinkan dibuatnya sebuah model pastoral nikah dari pra ritual nikah, ritual nikah dan pasca ritual nikah yang kontekstual dan fungsional. Menyadari akan kompleksnya sebuah entitas diri setiap pasangan maka sebuah proses panjang menjadi jawabannya.
1. Pastoral Pra Ritual Nikah
Pelayanan pastoral pra ritual nikah tidak bisa dilakukan sekali jadi atau dalam satu kali pertemuan karena banyak hal yang mesti dibicarakan. Pelaksanaan pastoral pra ritual nikah ini dilakukan dengan tiga cara yakni :
a. Pendidikan nikah (informasi dan pengetahuan) yang terdiri dari materi latar belakang perkawinan dan keluarga ditinjau dari aspek Alkitabiah dan sejarah, tempat dan fungsi keluarga dalam masyarakat, peranan laki-laki dan perempuan dalam keluarga serta pekerjaan, prinsip-prinsip keuangan keluarga, pemahaman seks dalam terang iman Kristen, arti kesucian pernikahan, hubungan dengan mertua, kemampuan menyelesaikan masalah, hubungan gereja dengan rumah tangga, kehidupan religius keluarga.

Secara sekilas seluruh materi ini termuat beberapa hal yang mesti dibicarakan antara lain:
1. Materi tentang hubungan (Relationship):
• Saling percaya dan dapat saling mempercayakan rahasia terhadap calon pasangan
• Menikmati berlangsungnya waktu bersama, dan mengerjakan berbagai hal bersama-sama
• Saling membutuhkan baik dalam waktu senang maupun susah
• Saling mendukung hampir semua keputusan masing-masing
• Saling berbagi mimpi, tujuan dan harapan yang sama
• Dapat menyelesaikan beda pendapat menjadi persetujuan bersama
• Saling mendengarkan, memahami, menghargai, dan mengagumi masing-masing
• Mampu bertoleransi terhadap sifat-sifat jelek pasangan
2. Materi tentang seks
• Secara seksual, kita dan pasangan merasa cocok, dan dapat saling memenuhi kebutuhan masing-masing
• Merasa nyaman memberikan atau menerima saran dan permintaan seputar masalah seks
• Dapat saling menerima masalah seksual masa lalu pasangan
• Dapat menahan keinginan/gairah terhadap orang lain, di luar pasangan
• Keterbukaan tentang sikap kita terhadap seks. Misalnya saja salah satu pasangan memiliki kecenderungan beseks, hiperseks, “tidak panas” ketika melakukan hubungan seks atau bahkan soal virginitas dan sebagainya. Keterbukaan tentang masalah ini mesti dibicarakan karena kecenderungan sekarang bahwa banyak masalah keluarga terjadi karena ketidakpuasan yang berlandas pada ketidakjujuran.
3. Materi tentang keuangan:
• Saling mengetahui asset, penghasilan dan utang masing-masing
• Mendiskusikan bagaimana akan menggabungkan masalah keuangan dan asset jika sudah menikah, dan merasa tidak keberatan dengan rencana tersebut. Begitu pula dengan masalah biaya rumah tangga, mobil, pinjaman, dll.
4. Materi tentang Keluarga:
• Mendiskusikan bagaimana mengatur waktu bersama keluarga asal pasangan, terutama pada waktu libur atau hari-hari besar
• Mendiskusikan seberapa luas campur tangan pihak keluarga asal terhadap kehidupan keluarga yang baru akan dibentuk
• Mendiskusikan rencana keluarga, jumlah anak, pengasuhan anak
• Memiliki kesamaan agama atau keyakinan religius, atau saling menghargai pilihan keyakinan masing-masing
• Mendiskusikan bagaimana kita saling mendukung dan memelihara orang tua atau pihak mertua, jika tiba-tiba diperlukan.
b. Bimbingan yang memuat materi karakter pembimbing disesuaikan dengan isu atau potensi dasar masing-masing pasangan. Misalnya, mereka ingin belajar prinsip-prinsip tentang pembiayaan keluarga, maka melalui bimbingan mereka mengembangkan suatu budget yang cocok dengan kebutuhan mereka dan dalam jangkauan sumber keuangan mereka. Isu-isu tersebut secara emosional mengganggu bagi beberapa orang. Bimbingan harus selalu berorientasi kepada kebutuhan khusus dan sumber potensi pasangan tersebut.
c. Konseling yang dilakukan jika ada kecemasan, keraguan, perasaan salah, terjadi kekerasan, ada emosi sampai menyebabkan ketegangan dan ketidakpastian.
Karena banyak hal yang akan diinformasikan, dibicarakan dan dikembangkan maka pertemuan sekali saja bukanlah solusinya. Pendaftaran calon pasutri mestinya 3 bulan sebelum pelaksanaan ritual atau pemberkatan nikah dan seminggu sekali dilakukan pastoral pra ritual nikah dengan cakupan pembicaraan yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, ada beberapa bahan bacaan yang diberikan kepada calon pasutri untuk menambah informasi tentang pernikahan dan segala seluk beluknya. Pelaksanaan pastoral pra ritual nikah yang dilakukan 3 bulan sebelum pemberkatan nikah secara psikologis dapat dipertanggungjawabkan karena semakin dekat dengan pemberkatan nikah maka calon pasutri lebih banyak disibukkan dengan persiapan resepsi dan sebagainya tetapi jika sebaliknya maka mereka akan banyak membuka diri bagi informasi, bimbingan dan percakapan bersama pendeta.
2. Pastoral Ritual Nikah
Pelaksanaan pastoral ritual nikah seperti yang telah digagas oleh jemaat GPM Bethel menjadi sangat berguna. Namun, gagasan ini harus diberlakukan bagi seluruh pasangan yang akan menikah, tidak ada terkecuali dan pembiayaannya pun dilakukan oleh pihak gereja. Fokus pembicaraan pastoral ritual nikah adalah peranan dan fungsi keluarga yang terdiri dari materi pendasaran Alkitabiah yang dibangun adalah relasi yang saling menghidupkan, seksualitas serta nilai keluarga sebagai tempat pesemaian nilai cinta kasih, kepedulian, tolong menolong dan sebagainya. Semua materi ini dapat dimediasi lewat khotbah pendeta dan tata ibadah.

3. Pastoral Pasca Ritual Nikah
Pastoral pasca ritual nikah dilakukan dengan model konseling perkawinan dan konseling keluarga yang berpusat pada pertumbuhan bagi orang-orang yang mengalami masa sulit atau stres yang berakibat jangka panjang dengan merujuk pasutri itu kepada suatu kelompok pertumbuhan perkawinan atau program penyuluhan termasuk kursus, lokakarya, retreat dan perkemahan. Ada lima jenis kegiatan yang dapat digunakan dalam kelompok penyuluhan yakni :
1. Latihan untuk meningkatkan kesadaran, memperlancar komunikasi dan memperkuat hubungan satu sama lainnya. Kegiatan ini dipimpin oleh pasutri yang menjadi fasilitator.
2. Session singkat untuk mendiskusikan masukan dari seluruh kelompok.
3. Pasutri melakukan latihan untuk saling mempererat hubungan.
4. Kelompok sharing kecil.
5. Waktu santai bagi pasutri untuk bergembira dan bersuka ria.
Materi-materinya pun beragam dan didekati berdasarkan pengalaman pasutri antara lain :
a. Pasutri sebagai anggota kelompok saling berkenalan.
Mendiskusikan tentang harapan atau cita-cita dan kebutuhan pasutri dan pemimpin kelompok. Suatu daftar topik didapatkan dari materi ini.
b. Memperkuat keterampilan komunikasi
Yang dilakukan ialah mencakup kedasaran diri dan latihan mendengar secara tanggap.
c. Metode perkawinan yang bertujuan atau terencana
Materi ini menjadi intisari dari kegiatan penyuluhan yang dilakukan.
d. Menanggulangi kemarahan dan konflik yang tidak produktif
Pada materi ini dilakukan simulasi tentang situasi konflik.
e. Rasa suka-duka dari perubahan peran pria dan wanita
Mesti disediakan waktu untuk peningkatan kesadaran dan untuk melakukan sharing tentang cara-cara menemukan potensi yang positif dari suatu perkawinan yang lebih setara dan saling melengkapi.
f. Menilai prioritas, nilai dan gaya hidup
Mencakup memampukan pasutri agar menjadi sadar akan nilai-nilai mereka dan membuat perubahan untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka bersama.
g. Meningkatkan kenikmatan seksual
Tujuannya adalah membantu pasutri sehingga dapat berkomunikasi secara terbuka tentang apa yang mereka nikmati. Selain itu membantu mereka belajar menyenangkan tanpa merasa terpaksa. Artinya, mereka saling menyenangkan demi kenikmatan itu sendiri dan bukan untuk suatu tujuan, harapan atau pencapaian lainnya.
h. Mengatasi krisis dalam keluarga
Hal ini mencakup keterampilan menanggulangi krisis yang berguna bagi suami-istri.
i. Meningkatkan hubungan orang tua dengan anak-anak dan hubungan orang tua dengan anak remaja
Dalam hal ini dilakukan penyelidikan bagaimana hal mengasuh anak, data mengurangi atau meningkatkan kualitas perkawinan dan sebaliknya.
j. Memperdalam kemesraan rohani
Bagian ini dipusatkan pada penanggulangan konflik religius, peningkatan pengalaman puncak dan hal memperdalam kebahagiaan berdasarkan Roh Kudus dan cinta kasih dalam perkawinan.
k. Kemungkinan pertumbuhan dari tahap perkawinan
Membantu pasutri menanggulangi masalah dengan membuka pintu baru yang cocok dengan usia dan tahap perkawinan mereka sekarang.
l. Mengembangkan keakraban dari pengutusan bersama
Pasutri ditantang dan diundang untuk merencanakan cara-cara mencapai orang lainnya di dalam gereja dan masyarakat dalam rangka membagi-bagikan pertumbuhan yang telah mereka alami.
m. Merencanakan pertumbuhan selanjutnya
Pasutri diberi kesempatan untuk merencanakan pertumbuhan selanjutnya.
n. Menilai pengalaman
Pasutri memberikan penilaian tentang kegiatan yang dilakukan. Apa saja yang dapat bermanfaat dan dapat menolongnya dan apa yang tidak.
o. Perayaan penutupan.
Dilakukan ibadah syukur karena pertemuan ini.
Selain aspek penyuluhan, pendeta juga mestinya melakukan proses konseling pastoral perkawinan atau keluarga bagi pasutri yang mengalami masalah yang sulit dan stres. Model developmental yang dikemukakan Gerald Egan menjadi cara yang baik untuk melakukan konseling perkawinan atau keluarga. Yang pastinya, kehadiran, mendengar dan empati menjadi dasar yang harus dimiliki oleh seorang pendeta untuk melakukan konseling perkawinan atau keluarga. Konseling pastoral menjadi sangat penting dalam pelayanan pastoral pasca ritual nikah karena dengan model konseling, maka pasutri dapat terjawab kebutuhan batinnya. Dikatakan demikian karena dengan mendengar apa yang diceritakan dan dialami oleh umat menjadi salah satu cara membuat umat berharga apalagi membantu dia menyelesaikan masalahnya. Sama halnya dengan apa yang dikatakan Dietrich Benhöeffer “banyak orang sedang mencari telinga yang mau mendengar dengan sungguh-sungguh. Sayang, mereka tidak menemuinya di antara orang Kristen. Sebab orang Kristen berbicara ketika mereka seharusnya mendengar. Jika orang tidak lagi mendengar saudaranya, maka dia juga tidak lagi mendengar Allah. Jika orang tidak mampu mendengar dengan sabar dan tekun, maka dia akan segera berbicara tentang hal-hal yang pokok dan dia tidak akan berbicara dengan sungguh-sungguh kepada orang lain. Namun, hal ini tidak disadari”. Seluruh pelaksanaan dan model pastoral nikah mestinya diberikan legitimasi lewat persidangan jemaat setiap tahun dengan dibentuknya tim pelaksana.
Penggunaan model pastoral nikah yang ditawarkan ini, sangatlah fungsional bagi calon pasutri atau pasutri dalam keadaan apapun. Baik calon pasutri yang menikah secara normal ataupun calon pasutri yang menikah karena “kecelakaan”, pasutri yang bermasalah secara kasat mata maupun tidak dan hasil yang akan dicapai setidaknya dapat meminimalisir sekian banyak permasalahan dalam keluarga misalnya kurang memahami pernikahan yang sesungguhnya, ekonomi, pelanggaran pernikahan dalam hal ini pelanggaran salah satu pasangan yang didominasi oleh istri, perkelahian yang tak pernah mencapai akhir, hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga besar, tidak mempunyai keturunan dan sebagainya. Dengan aspek keseriusan, penghayatan dan kesadaran pendeta untuk melaksanakan pastoral nikah dengan model demikian, maka akan menjawab sekian banyak kebutuhan dari setiap calon pasutri dan pasutri. Dengan proses bimbingan, pendidikan dan konseling calon pasutri akan mendapatkan banyak informasi dan pengetahuan tentang sekian banyak materi seputar pernikahan, memanfaatkan potensi yang dimiliki untuk mempersiapkan diri, percakapan antara pendeta dan calon pasutri yang mengalamai kesulitan dan stres dalam pastoral pra nikah maka secara langsung calon pasutri akan memiliki pemahaman, penghayatan dan kesadaran akan pernikahan Kristen yang sesungguhnya. Desain pelaksanaan ritual nikah yang kreatif dan sarat makna memungkinkan pasurti akan mengingat janji pernikahannya di hadapan umat dan Tuhan serta pelaksanaan pastoral pasca nikah yang berupa kursus, lokakarya, retreat dan perkemahan sedikit banyaknya dapat mempererat relasi suami-istri sehingga sekian banyak permasalahan yang sedang dan akan dihadapi dapat diminimalisir.
Model pastoral nikah yang ditawarkan ini, juga diberlakukan di Gereja Kristen Indonesia Pondok Indah sejak tahun 1993 sampai sekarang oleh Pendeta Agus Sutanto dengan cara membentuk wadah Pembinaan bagi pasangan suami istri dalam bentuk Retreat dan follow up. Wadah pembinaan ini bernaung di bawah komisi dewasa di mana sub komisi pasutri menjadi salah satu bagian di dalamnya. Sub komisi ini mengkhususkan diri pada pelayanan pembinaan terhadap para pasutri dengan tujuan agar para pasutri ini dapat meningkatkan relasi di antara mereka sehingga menjadi lebih baik yang nantinya diharapkan mau melayani Tuhan sebagai pasangan. Sekian banyak kegiatan sub komisi Pasutri GKI Pondok Indah diantaranya Couple Power Series, Retreat Pasutri Mini, Weekend dan Couples Day Out. Yang menjadi tolok ukur keberhasilan model ini ialah antusias peserta yang cukup banyak dan umpan balik atau feedback yang diterima oleh penyelenggara menunjukkan bahwa acara ini tepat mengenai sasaran yaitu kebutuhan dari para jemaat GKI Pondok Indah.


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi data, analisa data dan refleksi teologis, maka penulis akan menyimpulkan seluruh penulisan ini dengan beberapa kesimpulan yakni :
1. Pemahaman umat tentang pernikahan terdiri atas lima varian. Perbedaan pemahaman ini didasarkan pada pekerjaan dan pendidikan yang berbeda diantara umat. Selain itu, umat memahami pastoral nikah pun beragam. Hal ini dilatar belakangi pada kebutuhan dan pengalaman yang berbeda-beda.
2. Pelayanan pastoral nikah dipahami oleh pendeta sangatlah bervariasi. Perbedaan ini didasarkan pada pengalaman dan keterampilan yang dimiliki oleh pendeta.
3. Pelaksanaan pastoral nikah di Jemaat GPM Bethel yang terjadi selama ini, sangatlah tidak kontekstual dan fungsional. Dikatakan demikian karena pelayanan pastoral nikah yang hendaknya dilakukan berkesinambungan dan fungsional dilakukan dengan sebuah pelaksanaan yang bisa dikatakan hanya sebagai sebuah rutinitas belaka tanpa pendasaran untuk menolong calon pasutri dan pasutri.
4. Pemahaman dan pelaksanaan pastoral nikah yang dilakukan selama ini membuat gereja mesti tanggap terhadap sekian banyak permasalahan teologis dalam hal ini keluarga Kristen. Semua ini dapat dijawab dengan sebuah pelurusan pemahaman tentang pernikahan Kristen yang sesungguhnya serta pendekatan pastoral nikah yang holistik dan komprehensif dan pada akhirnya menawarkan sebuah model pastoral nikah yang fungsional dan sedikit banyaknya dapat memberikan pendasaran kuat bagi calon pasutri dan pasutri menyelesaikan sekian banyak masalah.

B. Saran
1. Perkembangan zaman dewasa ini, hendaknya membuat pendeta mesti menyadari akan pentingnya keterampilan dalam melakukan pelayanan pastoral nikah.
2. Gereja mestinya membuka diri terhadap disiplin ilmu yang lain dalam melayani calon pasutri atau pasutri karena mereka bukan hanya manusia religius tetapi juga manusia ekonomi, manusia sosial dll.
3. Mesti adanya tim khusus yang dibentuk untuk pelayanan pastoral nikah. Tim ini bisa direkrut dari sekian banyak potensi yang dimiliki di jemaat serta tidak hanya terdiri dari pendeta saja tetapi tenaga-tenaga profesional dari bidang kehidupan yang lain (ekonom, dokter, sosiolog dll).
4. Gereja sebagai sebuah institusi, mulai dari aras Sinode, Klasis dan Jemaat mesti menaruh perhatian bagi pembinaan keluarga khususnya pelaksanaan pastoral nikah. Selain itu, mesti menyadari akan pentingnya pelayanan pastoral nikah dan membuat sebuah program yang menjawab kebutuhan calon pasutri dan pasutri dengan melakukan dialog dengan teks-konteks. Yang paling terbaik mestilah dilakukan karena keluarga Kristen adalah gereja kecil atau basis di tengah-tengah jemaat dan sangat membutuhkan penanganan langsung.
5. Penawaran model ini, mesti diimpelmentasi setidaknya dengan cara mengetahui kesiapan dan persetujuan umat dalam bentuk sosialisasi.
6. Fakultas Filsafat UKIM dalam upaya mempersiapkan calon hamba Allah, hendaknya membekali mereka dengan keterampilan melakukan pastoral nikah mulai dari tahap pastoral pra ritual nikah, pastoral ritual nikah dan pastoral pasca ritual nikah sehingga banyak keluarga diselamatkan dari bencana sosial dewasa ini.
7. Figur seorang pendeta yang selalu menjadi inisitor mesti dipupuk dari sekarang sehingga semua proses pelayanan dapat dilakukan dengan baik dan fungsional terlebih pelayanan pastoral nikah. Semua ini, dapat dilakukan hanya dengan satu kata kunci yakni relasi.
--------------------------------

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Barth Karl, 1968, On Marriage, Philadelphia : Fortress Press
Benhöeffer Dietrich, 1959 Life Together, New York : Harper & Brother
Clebsch William A, Jaekle Charles R, 1964, Pastoral Care in Historical Perspective, Englewood Cleffs, N. J : Prentice-Hall
Clinebell Howard, 2002, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Jakarta; Yogyakarta : BPK Gunung Mulia; Kanisius
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: 1995
Douglas D. J, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2001
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Egan Gerald, 1975, The Skilled Helper : a model for systematic helping and interpersonal relating, California : Books/Cole Publishing Company
Harris Douglas J., 1970, The Bible Concept of Peace : Shalom Grand Rapids : Baker Publishing House
Leman Kevin, 2006, Seks Dimulai di Dapur, Yogyakarta : Yayasan Andi

Munroe Myles, 2006, The Purpose and Power of Love and Marriage, Jakarta : Immanuel

Nawawi H. Hadani, 2005, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gadja Mada University Press
Stewart Charles W., 1970, The Minister as Family Counselor, Nashville : Abingdon Press
Subagyo Andreas B., 2003, Tampil Laksana Kencana : pertolongan untuk mencegah dan mengatasi krisi sepanjang hidup, Bandung : Yayasan Kalam Hidup
Trisna Jonathan A., 2002, Konseling Pra-Nikah, Jakarta : Institut Theologia dan Keguruan Indonesia
Waite Linda J., Gallagher Maggie, 2003, Selamat Menempuh Hidup Baru, Bandung : Qanita
Wright Norman H., 1986, How to Have a Creative Crisis, Waco : word Book Publisher


B. Diktat dan Materi Kuliah

Krisetya Mesach, Februari 2002, Konseling Pastoral, Salatiga : Universitas Kristen Satya wacana
, 2001, Konseling Perkawinan dan Keluarga, Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana
Lorwens Johanes, 2006, Materi Kuliah Pastoral 3, Ambon : Universitas Kristen Indonesia Maluku


C. Dokumen, Keputusan dan Sumber lain

Dokumen Jemaat GPM Bethel, 2007, Ambon
Buku Himpunan Peraturan GPM, 2007, Ambon : BPH Sinode GPM
www.gkipi.org/files/keluarga or pendeta or pembinaan jemaat



Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 2011