Bersekutu, Berkarya dan Bersaksi...

PENDAMPINGAN PASTORAL KEPADA MANULA

A. Realitas
Tahapan usia lanjut atau kita kenal dengan nama manula merupakan tahapan paling akhir dalam perkembangan dan pertumbuhan manusia. Oleh karena itu tahapan ini merupakan tahapan yang paling sulit dihadapi dibandingkan dengan tahapan perkembangan dan pertumbuhan yang pernah dilewati sebelumnya. Hal ini di sebabkan karena orang yang berada pada tahapan ini harus mempersiapkan dirinya menghadapi berbagai macam krisis yang terjadi baik fisik, mental spiritual-psikis, maupun krisis sosial. Menurut badan kesehatan dunia (WHO), umur usia lanjt ditetapkan sebagai berikut : a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia antara 45-59 tahun
b. Usia lanjut (elderly), ialah kelompok usia antara 60-74 tahun
c. Tua (old), ialah kelompok usia antara 75-90 tahun
d. Sangat tua (very old), ialah kelompok usia di atas usia 90 tahun
Kenyataan sosial bahkan dalam realitas bergereja ada banyak kaum manula yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi. Di satu sisi hal ini menyebabkan timbulnya pola hidup dan perilaku yang berubah dari kaum manula, namun di sisi lain ada kesan yang menonjol bahwa orang-orang yang berada pada kelompok ini kurang mendapat perhatian khusus, dalam hal ini pendampingan dari pihak gereja. Pelayanan yang terjadi hanya bersifat rutinitas dan kalau toh dilakukan itu dikarenakan ada permintaan langsung dari keluarga. Kenyataan lain yang sering terjadi pula bahwa, menghadapi berbagai perubahan yang terjadi pada kaum manula keluarga tentunya memegang peranan penting untuk memahami situasi dan kondisi yang dialami manula, ini guna memberikan pelayanan optimal bagi mereka. Ironisnya pelayanan yang dilakukan bersifat satu arah yakni kepada manula, pada hal keluarga juga mesti mendapat pelayanan dari pihak gereja.
Penilaian Kaum Manula Dan Keluarga Terhadap Pelayanan
Apa tanggapan kaum manula itu sendiri bahka keluarga terhadap pelayanan (pendampingan pastoral) yang mereka rasakan, ini tentunya ada beragam penilaian. Berdasrkan hasil penelitian yang dilakukan (……………) penilaian yang sering diungkapkan oleh kaum manula maupun dari keluarga mereka terhadap proses-proses pelayanan atau pendampingan pastoral yang sering dilakukan oleh gereja seperti :
• Bahagian Alkitab dan renungan yang disampaikan tidak sesuai dengan kondisi dan situasi yang sementara dihadapi.
• Kecendrungan berdoa yang terlalu panjang dan bertele-tele.
• Kredibilitas para pelayan yang masih diragukan, akibat tidak mampu menjaga rahasia
• Para pelayan merasa lebih pintar karena itu sering menyinggung perasaan dan meremehkan kaum manula maupun keluarga.
• Kurangnya pemahaman para pelayan terhadap pastoral, secara khusus pendampingan pastoral terhadap kaum manula.
Beberapa faktor seperti yang disebutkan di atas adalah penilaian baik kaum manula maupun keluarga mereka yang dinyatakan sebagai indikator bahwa pelayanan yang dilakukan belum dapat menjawab persoalan yang dihadapi.


B. Solusi
Terhadap kenyataan yang ada kami merasa bersyukur karena dapat berbagi dengan teman-teman, bagaimana prinsip-prinsip dasar yang mesti dipahami oleh seorang konselor (pelayan) dalam mendampingi kaum manula :
1. Pemahaman tentang kaum manula itu sendiri
a. Kondisi Fisik
Kondisi ini tentunya ditandai dengan perubahan warna rambut dan kulit yang semakin keriput, kondisi fisik yang semakin menurun, cepat merasa kelelahan, sering sakit-sakitan dan munculnya berbagai gejala seperti pikun (pelupa), terkadang berperilaku layaknya anak kecil, tuli, penglihatan yang terganggu dan lain sebagainya. Sangat baik jika dalam kondisi seperti ini segala aktifitas yang dilakukan oleh kaum manula dan aktivitas yang dilakukan kepada mereka (manula) harus disesuaikan dengan kondisi tubuh para manula.
b. Kondisi Mental-Spiritual
Pada fase ini para manula sangat berpotensi terkena stress dan krisis ketika kondisi menta-spiritual mereka terganggu. Hal ini di sebabkan karena beberapa hal, antara lain : kematian orang-orang yang dikasihi (istri/suami, sahabat), berbagai macam penyakit, hidup jauh terpisah dari anak dan cucu, serta ketakutan akan datangnya hari kematian yang semakin mendekat dan lain sebagainya.
c. Krisis Sosial
Tahapan ini ditandai dengan perasaan terasing dari masyarakat karena sebagian besar dari orang yang berusia lanjut merasa tidak berguna. Karena itu banyak diantara mereka yang memilih menghidupkan kembali kenangan-kenangan sukses masa lalu, dengan demikian mereka merasa bahwa segalanya menjadi lebih baik. Merasa cemburu dengan keberhasilan generasi muda, dan lain-lain.
2. Perilaku Kaum Manula
Ada dua pola perilaku yang sering ditampilkan kaum manula yaitu perilaku positif dan perilaku negatif.
• Perilaku positif
Perilaku positif yang menarik dari kaum manula ini yaitu mereka mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang terjadi.
• Perilaku negatif
Perilaku ini ditandai dengan sikap mengeluh, marah, mudah tersinggung, mudah merasa khawatir, mudah menjadi depresi, sedih, murung, suka merusak. Perilaku negatif ini sering ditunjukan apabila ada keinginan mereka yang tidak terpenuhi.

3. Beberapa Hal Penting Yang Perlu di Ketahui
a. Kematian
 masalah yang paling sering dihadapi kaum manula adalah masalah kematian. Bagi mereka umur yang semakin tua dan penyakit yang diderita merupakan pertanda bahwa mereka semakin dekat dengan kematian. Oleh karena itu orientasi pemikiran mereka tertuju pada datangnya hari kematian. Namun kenyataanya, banyak diantara mereka yang belum siap menghadapi hari kematian yang semakin mendekat karena berbagai alasan, diantaranya : anak dan cucu, dosa masa lalu, dan masih ingin lebih lama hidup bersama anak cucu.
b. Hal Menyenangkan :
- Berdoa dan membaca alkitab
- Bermain bersama anak cucu
- Kunjungan anak cucu

c. Hal Tidak Menyenangkan :
- Kenakalan anak cucu
- Tidak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan
- Kurang mendapat perhatian dari keluarga

2. KELUARGA
Dalam melayani kaum manula, keluarga memegang peran yang sangat penting untuk dapat memahami situasi dan kondisi mereka guna memberikan pelayanan yang optimal.
 Bentuk dukungan keluarga :
- Doa bersama manula
- Memberikan kata-kata penghiburan
- Memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
- Menciptakan suasana menyenangkan
 Hambatan dan tantangan
- Faktor ekonomi
- Faktor pekerjaan
- Tidak ada dukungan keluarga (mengejek)
- Perilaku keluarga : Marah, kesal, kecewa, dll




Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 07/17/11

PENDAMPINGAN PASTORAL KEPADA ORANG DUKA

I. Realitas
Duka (dead) adalah sikap atau reaksi kita terhadap kematian dari orang-orang yang kita cintai. Hal ini mengindikasikan bahwa jelas duka bukanlah peristiwa atau kejadian abadi yang terus menerus berlangsung tanpa akhir, namun akan berakhir tetapi membutuhkan waktu dan proses.
Kenyataan yang dihadapi selama ini ketika ada orang yang meninggal dunia yang sering sekali dilakukan adalah :
• Sebelum pemakaman : Perkunjungan, Malam penghiburan
• Acara pemakaman : Ibadah di rumah duka, Ibadah di tempat pemakaman, Ibadah syukur .
Sayangnya tahapan-tahapan ini belum sepenuhnya menjawab kedukaan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami kehilangan suami-istri, ayah-ibu, anak-cucu, sanak saudara dan sahabat yang mereka cintai, sehingga pada gilirannya muncul dampak atau reaksi duka di dalam diri orang yang mengalami kedukaan itu.
Sikap atau tingka laku yang sering sekali ditonjolkan oleh orang yang berduka yaitu mereka bersikap Pasif (baca: menyerah, karena mereka lihat sebagai kejadian yang dikehendaki Allah), Angresif (baca: mengeluh, memberontak, memprotes karena tidak dapat menerima kematian), Depresi (baca: tertekan karena mereka tidak mampu menggung beban penderitaan)
II MODEL PENDAMPINGAN
Tokoh bernama H. Norman Wright, mengemukakan bahwa pada dasarnya hidup merupakan babakan krisis. Maka Wright menjelaskan delapan langkah tentang proses memberikan pertolongan kepada orang yang mengalami masalah antara lain:
1. Intervensi segera
2. Aksi
3. Menghindari kata strophe
4. Membantu menciptakan harapan bagi orang yang mengalami krisis
5. Memberikan dukungan
6. Fokus dalam pemecahan masalah
7. Membangun rasa menghargai diri sendiri
8. menanamkan kepercayaan diri sendiri

Dari delapan langkah di atas, maka penting sekali peranan pastor dalam melakukan pelayanan kepada orang-orang yang mengalami duka dan menemukan model pengembalaan dukayang, dengan demikian yang harus dilakukan oleh pastor adalah :
1. Menciptakan situasi, dimana orang yang berduka dapat menerima baik secara rasional maupun secara emosional. Dalam pertemuan ini pastor cukup memberikan kesempatan kepadanya untuk mengungkapkan perasaan-perasaan atau emosi-emosi yang ditimbulkan oleh duka tersebut, pastor dengan bijaksana harus berusaha supaya orang yang mengalami duka itu dengan bebas mau mengungkapkan isi hati kepada pastor.
2. Menciptakan situasi, dimana orang duka dapat mencernakan perasaan-perasaan atau emosi-emosi yang problematis. Dengan demikian perasaan-perasaan atau emosi-emosi tidak boleh dielakan tetapi sebaliknya ia harus berusaha mencernakan hal tersebut. Hal itu tidak mudah ia membutuhkan bantuan, karena itu tugas pastor adalah dengan menciptakan “RUANG” (kesempatan) baginya dan menstimulirkannya untuk lebih dalam memasuki (membicarakan) perasaan-perasaan atau emosi-emosi tersebut.
3. Menciptakan suatu situasi, dimana orang duka belajar hidup dan situasi hidupnya yang baru sebagai suatu tugas. Tugas pastor adalah membantunya supaya ia menyadari dan menerima perasaan-perasaan atau emosi-emosi. Dan pastor harus sebagai patner dengan orang yang mengalami duka.
4. Dengan demikian pastor sudah dapat melihat pelayanan apa yang harus diberikan kepada orang yang mengalami duka dan bagaimana cara pelayanan itu diberikan.
5. Pelayanan yang dilakukan oleh pastor kepada orang duka adalah kekunjungan dan percakapan. Percakapan disini bukan yang biasa saja. Percakapan tentang kesehatannya, tentang rumah tangganya, pekerjaannya dll.
6. Percakapan mereka mempunyai maksud dan tujuan yang tertentu yakni membantu orang yang berduka itu supaya dapat menunaikan tugasnya dalam proses kedukaan. Percakapan yang demikian dalalm percakapan pastoral disebut percakapan yang membantu. Dalam percakapan tersebut pastor berusaha membantu orang yang mengalami duka supaya ia mencurahkan isi hatinya dan lebih alam memasuki dan “menggumulinya” situasinya. Sebagai dasar dari pastor adalah “MENGERTI” maksudnya adalah pastor dapat membantu tapi kalau tidak mengerti juga sulit. Mengerti bukan sekedar mengerti orang yang mengalami duka tetapi mengerti adalah mengerti secara dalam apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang mengalami duka. Mengerti dunia pikiran dan perasaan dari orang yang mengalami duka, mengerti dalam visi orang itu sendiri dan berusaha menyatakan pengertian itu bukan saja dengan perkataan tetapi juga dengan perbuatan sikapnya. Maka syarat yang harus dipenuhi oleh pastor dalam pelayanan tersebut adalah : Perhatian, Empati, Mendengarkan.

III BAHAN-BAHAN PENUNJANG DALAM PENDAMPINGAN ORANG DUKA
1. Bahan Alkitab yang dapat dipakai pada saat
Kematian : 1 Raja-raja, 19:4 ; Ayub, 30:23,24 ; Yesaya, 43:1,2 ; Lukas, 2:29 ; Yohanes, 11:25-27 ; Filipi, 1:21,23 ; Roma, 14:8 ; Ibrani, 4:9-11 ; Wahyu, 14:13 & 21:4
Pahitnya Kematian : Kejadian, 2:17 & 3:19 ; 1Samuel, 20:3 ; 2Samuel, 12:18-23 ; Mazmur, 55:5; 90:7 & 104:29 ; Pekhotba, 12:7 ; Yehezkel, 18:4 ; Yohanes, 8:24 ; Roma, 5:12,14; 6:23; 7:24; 1Korintus, 15:56 ; Ibrani, 2:15 ; Yakobus, 1:15
Kemenangan atas Kematian : 1Raja-raja, 2:2 ; Ayub, 19:25-27 ; Mazmur, 23 & 126:5 ; Lukas, 2:29 ; Yohanes, 11:16,25 ; Kisah para rasul, 7:58 ; Roma, 5:21 & 8:11 ; 1Korintus, 15:26 & 55-57 ; Filipi, 1:23 ; 2Timotius, 1:10 & 2:11 ; Ibrani, 2:14 ; Wahyu, 7:13-17;14:13 & 21:4
2. Lagu-lagu Pujian
Kidung Jemaat No : 30, 438, 439, 440, 396, 332, 402, 417, 144
Pelengkap Kidung Jemaat No : 285, 46, 125, 127,164, 201
Dua Sahabat Lama No : 3, 4, 15, 38, 98
3. Catatan Kritis
- Pastoral selama ini hamper sebagian besar dilakukan oleh pastor, namun ada baiknya jika pastor (Pendeta) juga melibatkan pelayan-pelayan lainnya (Majelis jemaat, Koordinator Unit) dalam kaitan pelayanan pastoral dalam jemaat.
- kekunjungan pastoral dalam rangka memberikan penghiburan bagi keluarga berduka pasca pemakaman baiknya melibatkan jemaat.
- Dalam proses pendampingan pastoral terhadap (manula atau orang sakit), keluarga perlu dilibatkan, sebab pendampingan ini bersifat dua arah yakni untuk memberikan penguatan bagi konseli tetapi juga bagi keluarganya yang mendampingginya tiap waktu
- Pelayanan pastoral bagi orang berduka pasca pemakaman di GPM selama ini lebih terbatas hanya saat ibadah pengucapan syukur atau ibadah malam ke tiga. Setelah itu pendampingan pastoral jarang dilakukan, karena itu perlu adanya perubahan.
- Setiap pelayan yang melakukan pastoral (Pastor) harus menjaga rahasia.
- Majelis jemaat dan Koordinator Unit sebaiknya sebelum melakukan kegiatan pastoral harus dibekali dengan pemahaman pastoralia.


Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 07/17/11

PASTORAL NIKAH

Oleh : Matalsea Tamaela

Sebelum saya menyampaikan materi ini, dengan ketulusan hati saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Fakultas Teologi UKIM terkhususnya Pembantu Dekan I Dr. C. A. Alyona yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan materi ini.
Pengantar
Pada bagian ini saya ingin memaparkan tentang apa yang melatarbelakangi saya sehingga saya menulis skripsi dengan judul “Pastoral Nikah”. Berawal dari beberapa kontradiksi pikiran yang saya dapati yakni :
1. Pernikahan adalah sakral sehingga banyak orang memahaminya sebagai sesuatu yang tidak boleh “dimasuki” dengan hal-hal yang bertentangan dengan aturan masyarakat, agama dsb. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak akan pernah ada penyimpangan yang terjadi karena kesakralannya.
Hal ini kemudian digugurkan dengan kesadaran akan fenomena dewasa ini yang dialami oleh keluarga (baca : keluarga Kristen). Banyak keluarga mengalami masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh mereka (pasutri) yang kemudian berujung pada perceraian dan keretakan keluarga.
2. Gereja (baca : GPM) bukan berada di luar dunia tetapi gereja ada di tengah-tengah dunia sehingga mengindikasikan bahwa gereja juga berperan terhadap pembentukan keluarga dalam pernikahan.
Hal ini kemudian disadari dengan adanya pelaksanaan pastoral nikah (penggembalaan nikah) yang dilakukan oleh gereja. Pemikiran ini kemudian dikuatkan ketika membaca PIP-RIPP GPM ditemui bahwa :
Gereja Protestan Maluku (GPM ) sebagai jemaat setempat atau umat yang berada di kawasan kepulauan Maluku terpanggil untuk melakukan tugas yang berorientasi pada visi yakni terwujudnya orang beriman yang berkualitas, terbuka, maju, mandiri dalam segala aspek kehidupan dan yang memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan dengan orang-orang lain dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat serta tanpa pandang denominasi gereja, jenis kelamin, suku, bangsa, budaya, agama, turut berperan serta untuk mendirikan tanda-tanda kerajaan Allah yaitu cinta kasih, keadilan, kebenaran, kemanusiaan, perdamaian, keutuhan ciptaan dan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan Allah. Secara sederhana, semua tugas pelayanan yang dibuat berorientasi pada kebahagiaan dan kesejahteraan dalam segala aspek kehidupan dari umat Allah.

3. Pemikiran-pemikiran itu, membawa saya ke suatu titik reflektif tentang kesadaran fenomena keretakan keluarga yang terjadi dewasa ini dan bagaimana peran gereja untuk mengantisipasi dan mengatasinya.
4. Saya pun mendapatkan jawabannya pada pelaksanaan pastoral nikah yang dilakukan gereja karena saya meyakini bahwa dengan melakukan pekerjaan pastoral nikah, maka secara langsung gereja berupaya mengantisipasi dan mengatasi masalah yang terjadi dalam keluarga.
Proses pemikiran itu kemudian membawa saya untuk menulis skripsi tentang pastoral nikah bukan bertujuan untuk mengatakan bahwa penyebab keretakan keluarga adalah pelaksanaan pastoral nikah yang tidak fungsional karena bagi saya penyebab keretakan keluarga sangat kompleks tetapi yang menjadi tujuan penulisan saya adalah bagaimana saya meneliti kembali pelaksanaan pastoral nikah yang diselenggarakan dalam gereja sampai sekarang ini sehingga benar-benar fungsional (dialami dan dirasakan oleh pasutri).
Saya memfokuskan penelitian saya pada Jemaat GPM Bethel karena beberapa alasan yakni :
1. Jemaat ini berada pada wilayah pelayanan Klasis Kota Ambon. Secara administatif pemerintahan, jemaat ini termasuk dalam wilayah Kota Madya Ambon yang terletak di ibukota Provinsi Maluku.
2. Kedua, Wilayah pelayanaan Jemaat ini sangat luas (± 230 Ha), yang berbatasan dengan daerah-daerah perkembangan misalnya jemaat GPM Bethabara (sebelah utara), Jemaat GPM Bethania (sebelah selatan), pantai mardika dan teluk Ambon (sebelah barat), Jemaat GPM Imanuel Karang Panjang sampai Jemaat GPM Ebenhaezer di Skip depan (sebelah timur) .
3. Letaknya yang berada di pusat Kota Ambon, memungkinkan akses di segala bidang misalnya transportasi, perekonomian (pasar), perkantoran, komunikasi, informasi, politik, sosial-budaya dan sebagainya menjadi sangat mudah. Terlebih lagi, jika dihubungkan dengan pelaksanaan pernikahan, jemaat Bethel sangat dekat dengan kantor catatan sipil sehingga memungkinkan banyak pasangan yang memilih menikah di jemaat ini. Gedung gereja Yoseph Kam yang menjadi tempat pelaksanaan ritual nikah berada bersebelahan dengan kantor catatan sipil. Hal ini membuat seluruh proses ritual gereja dan pencatatan sipil tidak begitu sulit.
Alasan-alasan ini bagi saya sangat mempengaruhi keluarga karena akses yang mudah, daerahnya dekat dengan pusat-pusat pemerintahan, ekonomi yang juga memungkinkannya terjadi perubahan pikiran dan perilaku.
Pemaparan Realitas
Penulisan skripsi saya difokuskan pada dua hal yakni bagaimana pemahaman pendeta dan anggota jemaat tentang pernikahan dan pastoral nikah serta bagaimana pelaksanaannya di jemaat tersebut. Dari kedua fokus ini, maka akan ditemukan apa yang menjadi masalah dan darinya kita bisa merefleksikannya demi pengembangan gereja ini ke depan dengan berujung pada menawarkan model pastoral nikah berdasarkan hasil penelitian dan refleksi tersebut.
1. Pemahaman
a. Tentang pernikahan
Dari penelitian, saya temui bahwa pemahaman umat tentang pernikahan sangatlah bervariasi. Pertama, “pernikahan itu sebenarnya sakral sebab sudah diamanatkan oleh Allah sejak penciptaan dan itu berarti apa yang sudah disatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia”. Dengan demikian, data ini menggambarkan bahwa pernikahan itu sangatlah penting dan berguna demi kehidupan bersama, pernikahan itu sangat bersih, tidak bernoda, tidak membuat dosa, tidak mengandung perasaan buruk apapun, pernikahan adalah amanat Allah yang mesti dijalani oleh setiap manusia ciptaan-Nya karena dengan pernikahan ada tanggungjawab besar yang mesti dilakukan ke depan. Hal ini diperkuat dengan pemahaman bahwa “dengan pernikahan, suami dan istri menjalankan kewajibannya masing-masing. Selain itu, pernikahan pun dipahami sebagai “anugerah Allah”. Itu berarti bahwa pernikahan adalah hadiah yang diberikan Allah kepada umat-Nya, Allah yang berkehendak terhadap pernikahan itu.
Kedua, “Pernikahan adalah ikatan yang sejati”. Itu berarti bahwa umat memahami pernikahan sebagai sesuatu yang murni sehingga aspek keaslian menjadi penting. Keaslian yang dimaksudkan adalah seluruh entitas diri dari setiap pribadi yang mencakup karakter, kepribadian, kebiasaan, aturan dan sebagainya. Masing-masing pribadi mestilah mengungkapkan siapa dirinya yang sebenarnya karena “pernikahan adalah penyatuan dua pribadi yang berbeda sebab setiap manusia tidak bisa hidup sendiri dan tidak selamanya sendiri sehingga membutuhkan penolong”. Dari penyatuan dua pribadi ini, pernikahan pun dipahami “sebagai penyatuan jodoh”. Pengakuan akan jodoh seseorang didapati melalui proses perkenalan, pacaran dan pernikahan. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam pernikahan yang sejati maka setiap pribadi harus dapat mengenal, memahami dan merasakan apa yang dikenal, dipahami dan dirasakan oleh pasangannya sehingga mereka dapat bersatu. Penyatuan dua pribadi yang berbeda sangatlah sulit. Apalagi dua pribadi yang memiliki sekian banyak hal mendasar yang sulit sekali dilepaskan dari dirinya ketika kedapatan sangat berpengaruh negatif bagi kebersamaan keduanya. “Pernikahan bukan sekedar ikut-ikutan dan sekedar waktunya untuk menikah”. Oleh karena itu pendasaran akan kesakralan sebuah pernikahan menjadi berpengaruh pula pada aspek keaslian atau kesejatian setiap pasangan. Setiap calon pasutri atau pun pasutri yang menyadari akan sakralnya sebuah pernikahan pasti menyadari pula akan pentingnya keaslian diri dalam pernikahan. Sehingga pada akhirnya proses penyatuan itu dapat dilakukan dengan sempurna.
Ketiga, pernikahan merupakan dasar dari seluruh kehidupan selanjutnya. Hal ini dikuatkan dengan pemahaman bahwa “pernikahan dimulai dengan sebuah ketidaktahuan akan apa yang terjadi nantinya”. Bayangkan saja kalau kehidupan selanjutnya didasarkan pada ketidakaslian atau ketidakterbukaan kedua pasangan, maka pastinya kehidupan selanjutnya akan menjadi semakin pincang.
Keempat, pernikahan dipahami sebagai “anjuran agama untuk manusia dewasa”. Setiap manusia yang sudah dewasa haruslah menikah.
Kelima, pernikahan adalah cara untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang dimaksud dapat mencapai banyak hal diantaranya membina kehidupan bersama dengan orang yang dikasihi, mempererat hubungan yang sudah ada sebelumnya bahkan meneruskan generasi atau mempunyai keturunan.
Bervariasinya pemahaman tentang pernikahan didasarkan pada dua faktor yakni internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pribadi pasangan itu dalam hal pendidikan, pekerjaan. Pendidikan dan pekerjaan seseorang sangat menentukan pemahamannya tentang pernikahan. Sedangkan faktor eksternal dalam hal ini lingkungan di mana pasangan itu ada, hidup dan berkarya sangat pula mempengaruhi pemahamannya. Jika seseorang yang hidup dalam lingkungan sosial yang mayoritas keluarganya kacau balau maka akan sangat mungkin pemahamannya tentang pernikahan menjadi negatif atau sebaliknya.
b. Tentang pastoral nikah
- Umat
Pertama, “Pastoral pra ritual nikah dipahami sangatlah penting untuk membekali pasutri mengarungi kehidupan keluarga”.
Pemahaman kedua, pastoral pra ritual nikah menjadi media untuk “seorang saksi dapat mengetahui kewajiban dan tanggungjawabnya dalam membina dan membimbing calon pasutri nantinya”, “serta calon pasutri yang ingin bertanya seputar bagaimana menjalani kehidupan keluarga nantinya” .
Pastoral ritual nikah dipahami sebagai “wadah untuk mengingatkan kembali apa yang telah dibicarakan sebelumnya dengan melegitimasikannya lewat akta pemberkatan nikah dan melalui media khotbah seorang pendeta dapat memberikan dasar-dasar penting juga bagi pasutri ketika mereka akan diteguhkan dan menghadapi sekian banyak persoalan nantinya”. Selain khotbah, gagasan-gagasan yang sarat makna dalam prosesi ritual nikah atau penggunaan tata ibadah juga menjadi media pembinaan yang baik bagi calon pasutri untuk memahami dan menjalankan akat nikahnya. Hal ini berarti bahwa pastoral pra ritual nikah belum cukup untuk membekali mereka. Pastoral ritual nikah pun menjadi sangat penting dan berguna.
“Pastoral pasca ritual nikah sangat berguna dan bermakna bagi keharmonisan keluarga”. Pemahaman ini menekankan pemahaman pertama tentang pastoral pasca ritual nikah.
Kedua, menyadari akan sekian banyak masalah yang sudah dihadapi maka “pastoral pasca ritual nikah sangat membantu memampukan pasutri mengatasi masalahnya”.
Ketiga, “pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah, memungkinkan pelayan dapat membantu mengokohkan dan mengingatkan pasutri untuk menjaga langgengnya pernikahan”.
Keempat, Pastoral pasca ritual nikah sangatlah berguna dan dipahami sebagai sebuah pergumulan bersama antara pelayan (pendeta dan majelis) dan umat (pasutri). Lebih kongkritnya, moment perayaan penambahan usia pernikahan menjadi salah satu upaya pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah. karena dapat mensyukuri akan sekian banyak gelombang dan badai kehidupan yang terjadi namun tidak membuat keretakan dalam rumah tangga karena Allah berperan dalam keluarga” .
Varian pemahaman umat tentang pastoral nikah bagi calon pasutri yang akan menikah, calon pasutri yang sedang menikah bahkan pasutri yang telah menikah, dilatar belakangi pada kebutuhan yang berbeda-beda. Baik kebutuhan sebagai seorang calon pasutri atau pasutri maupun saksi. Maksudnya ialah, sebagai seorang calon pasutri yang akan menikah memiliki kebutuhan hanyalah sebatas pengetahuan dan pendidikan tentang pernikahan sedangkan pasutri yang telah menikah, kebutuhannya terkait dengan soal praktis penanganan masalah yang sedang dihadapi. Dengan perbedaan kebutuhan ini, maka pastinya pemahaman mereka pun berbeda. Namun, ada hal menarik yang telah ditekankan bahwa perbedaan kebutuhan itu, mestinya dilakukan sinkronisasi atau upaya menghubungkan. Maksudnya ialah, pelayanan pastoral nikah mestilah berkelanjutan. Perbedaan kebutuhan tidak menjadi penghambat untuk keberlanjutan pelayanan ini. Tetapi, mestinya menjadi pegangan untuk melanjutkan pelayanan ini dalam wujud yang kongkrit yakni relasi. Pemahaman ini akan sangat bermanfaat bagi pelayanan pastoral nikah yang berkelanjutan mulai dari pastoral pra ritual nikah, pastoral ritual nikah dan pastoral pasca ritual nikah.
Pengalaman yang berbeda-beda juga menjadi latar belakang yang sangat penting untuk mengetahui varian pemahaman itu. Setiap calon pasutri ataupun pasutri dilayani oleh pelayan yang berbeda memungkinkan mereka pun memiliki pemahaman yang berbeda. Setiap pendeta akan membicarakan hal yang berbeda pada setiap pertemuan dan hal ini pun membentuk frame pikir umat tentang apa yang dilakukan. Hal ini memungkinkan mereka memiliki pengalaman dan berimplikasi pada pemahaman mereka.
- Pendeta
Pertama, Pelayanan pastoral nikah dipahami “sebagai sebuah keutuhan dan kelanjutan proses sebelumnya sehingga pelaksanaannya pun bertahap mulai dari sebelum menikah sampai setelah menikah”. Hal ini memberikan gambaran bahwa pastoral nikah berguna, utuh dan berkelanjutan.
Kedua, pastoral nikah dipahami sebagai sebuah panggilan karena Allah yang mengamanatkan lewat Alkitab tentang hubungan laki-laki dan perempuan lewat pernikahan. Ada sekian banyak pendasaran Alkitabiah yang mesti dimiliki sebagai sebuah proses panggilan pelayanan ini . Ketiga, aspek relasi yang kemudian terdapat proses saling mengenal antara calon pasutri dan pendeta menjadi hal penting dalam pelaksanaan pastoral pra ritual nikah. Karena dengan relasi dan pengenalan yang baik maka keterbukaan menjadi dapat dicapai dan pembicaraannya pun menjadi berarti.
Keempat, dalam pelaksanaan pastoral pra ritual nikah, calon pasutri yang datang dengan pemahaman pribadinya akhirnya dapat memperoleh pencerahan pemahaman dan pengetahuan bertambah soal pernikahan serta keluarga. Mulai dari bagaimana perannya sebagai seorang suami-istri, bagaimana menjaga kemurnian dan kesucian keluarga dan sebagainya.
Varian pemahaman pendeta ini, dilatar belakangi pada pengetahuan dan pengalaman. Jemaat GPM Bethel yang berada di Klasis Kota Ambon dan wilayahnya yang sangat strategis memungkinkan perbedaan pemahaman dan pengalaman. Apalagi jika dihubungkan dengan keterlibatan pendeta dalam sekian banyak seminar dan pelatihan bagi pelayanan, memungkinkan mereka memiliki pemahaman yang berbeda.
Hal ini memberi ruang bagi sebuah transformasi pastoral nikah yang fungsional. Di mana, para pendeta diberikan bekal yang baik untuk melakukan pelayanan pastoral nikah mulai dari pra ritual nikah, ritual nikah dan pasca ritual nikah. Keterampilan yang baik sangat memudahkan pelayanan pastoral nikah dan membantu keluarga-keluarga Kristen menghadapi dunia dengan segala perubahannya.

2. Pelaksanaan Pastoral Nikah
Pelaksanaan pastoral nikah dengan ketiga aspeknya yakni pastoral pra ritual nikah, pastoral ritual nikah dan pastoral pasca ritual nikah di Jemaat GPM Bethel adalah sebagai berikut :

a. Pra Ritual Nikah
Pelaksanaan pastoral pra ritual nikah dimulai dengan pendaftaran oleh pasangan, satu bulan sebelum pemberkatan nikah; setelah itu calon pasutri ini dikomunikasikan kepada jemaat lewat warta jemaat pada ibadah minggu selama 2 minggu berturut-turut dengan tujuan agar semua umat mengetahui; jadwal pastoral pra ritual nikah ditetapkan sehari atau dua hari sebelum ritual atau pemberkatan nikah; materi pastoral pra ritual nikah berbeda antara setiap pendeta, namun semuanya berangkat dari realitas masyarakat yang kemudian beracu pada Firman Tuhan. Proses pelaksanaan pastoral pra ritual nikah akan dideskripsikan melalui contoh verbatim ini.
Pelaksanaan pastoral pra ritual nikah yang dilakukan oleh Pdt. S. Hehanussa dengan percakapan sebagai berikut :
1. Pendeta berdoa
2. Percakapan yang dilakukan antara pendeta, saksi dan calon pasutri
Pdt : Apakah saksi sudah berkeluarga ?
Saksi : Sudah
Pdt : Hal ini perlu dipertanyakan karena pengalaman berkeluarga saksi dapat dijadikan pelajaran buat calon pasutri.
Pdt : Berapa lama saling mengenal ?
Calon pasutri : 13 tahun
Pdt : Kenapa baru menikah
Calon pasutri : Untuk lebih mengenal.
Pdt : Apakah sudah memikirkan untung dan rugi berkeluarga? karena menikah itu satu kali saja. Oleh karena itu mesti mendalami karakter masing-masing. Apalagi seorang laki-laki itu mau untung sendiri dan bagaimana sikap perempuan. Landaskan keluarga buat Tuhan dan jangan terlalu cemburu. Masa lalu kalian berdua sudah selesai ?
Calon pasutri : Sudah
Pdt : Hal ini mesti ditanyakan karena misalnya pada saat muda pernah mengecewakan orang lain dan sebagainya. Semuanya itu pada ujung-ujungnya berdampak pada keluarga nantinya. Ada fakta, bahwa ketika sudah menjadi suami-istri dan memiliki anak, ada masalah paling berat yakni anak sakit keras dan ditemukan bahwa orang tuanya pada masa muda pernah menyakiti hati orang. Coba bacakan mazmur 133.
Calon pasutri : membaca…
Pdt : Kalian berdua tidak menikah sendiri namun ada keluarga besar. Oleh karena itu kalian mesti mengenal dunia dalam hal ini keluarga baru. Selain itu persepuluhan juga menjadi penting sehingga harus mengetahui bagaimana pengaturan keuangan keluarga. Misalnya saja ketika mendapat gaji, pulang berdoa lebih awal, menyediakan persepuluhan, bagikan sesuai kebutuhan. Mestinya mengambil nilai positif dari keluarga.
Pdt : Apakah saksi mau bertanya ?
Saksi : …diam…
3. Penjelasan teknis ibadah pemberkatan nikah nantinya. Penjelasannya seputar cara pegang tangan, tukar cincin dan tata ibadahnya.
4. Menyanyi
5. Berdoa
Setting duduk dari proses ini seperti dalam persidangan karena pasutri dan saksi duduk dengan teratur di depan pendeta dan hanya dibatasi oleh meja. Pelaksanaan yang demikian sudah diberlakukan sejak lama dan menjadi sebuah kebiasaan dalam kurun waktu yang lama. Hal ini dilatar belakangi dengan kebiasaan pendeta yang melanggengkan sebuah tradisi, terlepas apakah itu efektif ataukah tidak (taken for granted). Semua kostor yang hendak mengatur ruangan gereja sudah mengetahui setting duduk seperti ini karena sudah sangat lama diberlakukan. Setting duduk yang seperti ini sangat menggangu kontak awal yang dijalin antara pendeta, saksi dan calon pasutri. Dikatakan demikian karena setting duduk yang kaku sangat menggangu relasi yang ada. Kekakuan duduk menjadi sebuah ketakutan untuk berbagi cerita, informasi dan memberikan bimbingan. Selain itu, pelayanan pastoral pra ritual nikah yang dilakukan tidak mengandung unsur penting dalam pastoral pra ritual nikah, dimana tidak ada aspek pendidikan atau berbagi informasi antara pendeta, saksi dan calon pasutri tentang latar belakang perkawinan ditinjau dari segi Alkitabiah dan sejarah, tempat dan posisi keluarga di dalam masyarakat dan budaya yang berubah-ubah, pengertian tentang peranan perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan pekerjaan, prinsip-prinsip keuangan keluarga, pengertian tentang seksualitas dan interpretasi tentang seks, apa artinya kesucian pernikahan, hubungan dengan mertua, kemampuan menyelesaikan masalah, hubungan gereja dan rumah tangga dan kehidupan religius keluarga. Selain itu, tidak adanya proses bimbingan untuk mengembangkan apa yang telah diinformasikan berdasarkan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Misalnya bagaimana mengelola keuangan dengan menentukan budget pada setiap kebutuhan yang ada. Pelayanan pastoral pra nikah lebih banyak dilakukan dengan percakapan. Hal memberikan sumber bacaan dan kelompok belajar tidaklah dilakukan. Proses konseling pastoral yakni hadir, mendengar dan empati yang semuanya dapat terwujud lewat suasana yang friendship, family interaction dan pastoral contacts tidak tercipta dalam pelayanan ini. Pendeta tidak benar-benar ada dan siap sedia dengan calon pasutri dan saksi, pendeta tidak menjadi pendengar yang setia karena pendeta mendominasi pembicaraan apalagi pendeta menjadi orang yang berempati atau merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh calon pasutri dan saksi. Selain itu, pendeta lebih banyak memberikan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga calon pasutri tidak dapat mengeksplorasi pikiran dan perasaannya. Suasana yang dibangun dalam pelayanan pastoral pra ritual nikah ini, adalah kekakuan karena tidak ada respon dari calon pasutri dan saksi yang berarti demi pengembangan proses ini. Hal ini didasarkan pada pertanyaan yang bersifat tertutup yang memungkinkan hanya dijawab dengan satu atau dua kata saja. Proses pastoral pra ritual nikah yang dilakukan bukanlah konseling tetapi tanya jawab. Pelayanan pastoral pra ritual nikah yang seharusnya merupakan proses panjang atau tidak sekali jadi secara faktual dilakukan dengan durasi yang hanya 45 menit. Mengindikasikan bahwa pelayanan ini tidak memberikan sebuah kontribusi berarti bagi hubungan selanjutnya bahkan bisa dikatakan bahwa pelaksanaan ini hanyalah sebuah rutinitas dan menjawab kelengkapan pelayanan bukannya sebuah upaya menolong pasutri.
Verbatim yang berikut, tercatat lewat pelaksanaan pastoral pra ritual nikah yang dilakukan oleh Pdt. R. Rahabeat, dengan proses sebagai berikut :
1. Penyampaikan pokok pembicaraan seputar pembicaraan serius dan teknis oleh pendeta.
2. Pendeta berdoa
3. Percakapan yang dilakukan antara pendeta, saksi dan calon pasutri
Pdt : Apa alasan saudara-saudari menjadi saksi ?
Saksi : Saya adalah keluarga dari Billy dan baru disampaikan untuk menjadi saksi kemarin. Sedangkan saya merasa bertanggungjawab karena Lieke adalah jemaat yang berdomisili di sektor pelayanan saya serta ada ikatan keluarga di antara kami.
Pdt : Apakah perbedaan usia di antara calon pasutri menjadi masalah? apakah ini kehendak mereka ataukah Tuhan?
Calon pasutri : ....diam.... Kehendak Tuhan.
Pdt : Itu berarti badai apapun bisa diatasi.
Apakah sudah bekerja ?
Calon pasutri : Saya belum bekerja dan Lieke sementara berkuliah.
Pdt : Keluarga bisa berjalan dengan baik walau belum ada yang bekerja?
Calon pasutri : Bisa.
Pdt : Bagaimana pengaturannya, misalnya tempat tinggal?
Calon pasutri : Setelah menikah baru diatur namun mesti tinggal dengan orang tua laki- laki.
Pdt : Dengan pernikahan yang dilakukan, berarti keluarga menjadi tambah banyak, kalian mesti mengetahui bagaimana caranya mengatur kebutuhan keluarga apalagi sedikit lagi anaknya lahir karena menikah adalah keputusan untuk bertanggungjawab.
Apakah ada yang ingin disampaikan saksi buat calon pasutri?
Saksi : Percaya buat Tuhan adalah dasar berumahtangga, jadi mesti melandasi keluarga dengan Takut akan Tuhan.
Pdt : Bagaimana suasana hati sekarang ?
Calon pasutri : …diam…
Pdt : Apakah keluarga hadir dalam ibadah pemberkatan nikah besok ?
Calon pasutri : Ya
Pdt : Setelah ini apakah calon istri bisa melanjutkan kuliah ?
Calon suami : Ya
4. Penjelasan teknis ibadah
5. Pendeta menawarkan diri untuk menjadi gembala selesai menikah nantinya.
6. Meminta kesediaan saksi berdoa
Setting duduk yang telah diatur seperti biasa namun pendeta berinisiatif untuk duduk dengan santai namun serius, di mana calon pasutri dan saksi mencari tempat yang nyaman menurut mereka dan pendeta menyesuaikan. Pelaksanaan ini, sedikit membuat relasi menjadi agak baik. Durasi pelayanan pastoral pra ritual nikah yang 1 jam 50 menit menjadi berarti pada setiap tatap muka dari sekian tatap muka yang ada semestinya. Namun, kenyataannya pelayanan ini hanyalah satu kali saja memungkinkan banyak hal yang tidak dibicarakan dan dibagikan. Apalagi pembicaraan ini bagi calon pasutri yang menikah karena “kecelakaan” tidak menjadi hal yang begitu serius dilakukan oleh pendeta. Proses pelaksanaan pastoral nikah yang dilakukan tidak mengindikasikan proses konseling pastoral yang fungsional. Hal ini dibuktikan dengan pertanyaan pendeta yang masih bersifat tertutup sehingga jawaban calon pasutri dan saksi pun tidak memunculkan eksplorasi diri yang berarti sehingga yang dibangun adalah kekakuan dalam berelasi. Pertanyaan yang tertutup ini, berimplikasi pada eksplorasi pikiran dan perasaan calon pasutri yang tidak begitu dalam. Saksi dan calon pasutri belum begitu mengeksplorasi pikiran, pengalaman dan perasaannya. Selain itu, dapat disimpulkan bahwa pelayan pastoral nikah hanya bertujuan untuk membicarakan proses pernikahan atau ritual nikah tanpa mempersiapkan calon pasutri secara mendalam.
Semua proses pelaksanaan pastoral pra ritual nikah sangat berpengaruh terhadap pemahaman dan pengetahuan calon pasutri tentang pernikahan dan seluk-beluk keluarga nantinya serta kesadaran saksi akan tanggungjawabnya.
b. Ritual Nikah
Perencanaan pelaksanaan pastoral ritual nikah dilandasi dengan pikiran bahwa calon pasutri yang akan diberkati ini adalah anak yang ingin direstui keputusannya, sehingga membutuhkan penjemputan. Ada sekian simbol yang dipakai dalam pelaksanaan ritual nikah ini, salah satunya adalah lilin yang melambangkan pengharapan bahwa mereka dalam menjalani kehidupan, hendaknya berjalan dalam terang Tuhan. Seluruh rangkaian prosesi ibadah pemberkatan nikah menjadi tanggungjawab Majelis Jemaat GPM Bethel mulai dari pintu gereja sampai selesai ibadah pemberkatan nikah. Prosesinya sebagai berikut :
1. Pasangan lebih dulu berada di depan pintu dan menyambut keluarga besar, Keluarga besar pun memasuki gedung gereja. Sebagai ungkapan penghormatan bagi keluarga, karena sebelumnya (pada saat bersiap-siap di rumah), mereka (pasangan dan keluarga) datang bersama-sama dan keinginan atau keputusan ini berdasarkan dukungan keluarga besar.
2. Penyampaian ungkapan rasa dan gaung Syalom dari Majelis Jemaat bagi keluarga besar dan panggilan dari pelayan dalam hal ini pendeta bagi pasangan (majelis-pasangan dengan pendamping orang tua-saksi-anak kecil). Salah seorang anak kecil membawakan lilin sebagai simbol dari kepribadian masing-masing pasangan.
3. Sesampai di depan, pasangan membakar lilin masing-masing yang sudah disiapkan sebagai simbol bahwa mereka masing-masing masih dengan kepribadiaannya/egonya.
4. Menghadap orang tua dan keluarga besar dengan pesan “terima kasih karena sudah mengantar sampai di sini”.
5. Menghadap pendeta dengan pesan “kami sudah siap memulai Ibadah pemberkatan nikah”.
6. Ibadah pun dimulai.
7. Setelah pemberkatan, pendeta menyerahkan Alkitab kepada pasangan.
8. Pasangan mematikan lilin yang telah menyala dan menyalakan satu saja lilin secara bersama-sama sebagai simbol bahwa mereka telah satu dan membutuhkan kerjasama.
9. Melanjutkan ibadah sampai selesai.
Prosesi ritual nikah seperti ini, sudah dilaksanakan selama 4 tahun, namun hanya diberlakukan bagi calon pasutri yang berkeinginan dan kemudian dapat membiayai kebutuhan ritual tersebut (lilin, bunga). Selain itu, seluruh prosesi ibadah ritual nikah, digunakan tata ibadah yang disiapkan oleh keluarga atau dibawa sendiri namun mengacu pada tata ibadah yang telah ditetapkan oleh GPM.
Prosesi yang digagas sebaik ini, didasarkan pada pemahaman bahwa pasutri yang akan menikah ini adalah anak-anak yang memerlukan dukungan dari keluarga dan jemaat terhadap keputusan mereka. Semua ide yang kreatif ini tertumbuk dengan finansial yang tidak disiapkan sehingga semuanya berpulang pada pasangan itu apakah dia bersedia dan sanggup memenuhi finansialnya maka ide ini diberlakukan atau sebaliknya. Walau terkadang, prosesi merupakan bagian kecil dari pelaksanaan pastoral ritual nikah namun setidaknya ada kegunaan bagi pasutri. Ide ini mestinya juga didukung dengan khotbah Pendeta yang sangat kontekstual yang disesuaikan dengan keadaan berdasarkan hasil pastoral pra-ritual nikah sebelumnya.
c. Pasca Ritual Nikah
Pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah yang dilakukan di Jemaat GPM Bethel hanya sebatas ibadah biasa tanpa sharing yang mendalam antara pendeta atau majelis dengan pasutri. Ibadah ini dimediasi lewat perkunjungan pastoral yang dilakukan tiga kali dalam setahun, pada moment perkenalan Pendeta wilayah, sebelum sidi gereja dan akhir tahun. Prosesnya pun sebatas datang, menyanyi, membaca bagian Alkitab, berdoa dan pulang. Pelayanan ini hanya dilakukan oleh majelis. Hal ini diperkuat dengan perayaan penambahan usia pernikahan yang tidak pernah disyukuri dan dilayani atas inisiatif pelayan atau sudah dijadwalkan seperti perayaan penambahan usia kelahiran. Kalau pun ada syukuran penambahan usia pernikahan, bisa jadi dilakukan sendiri oleh pasutri dan keluarganya dengan menghadirkan pelayan, atau juga perayaan itu bertepatan dengan perayaan penambahan usia kelahiran sang istri. Secara tidak langsung, syukuran penambahan usia pernikahan, hanya pada saat ibadah minggu melalui warta jemaat. Pelayanan khusus bagi semua pasutri tidak begitu kelihatan dan mungkin belum ada bahkan lebih radikalnya, pelayanan pastoral pasca ritual nikah dalam pengertian pelayanan khusus bagi pasutri hanya diperuntukan bagi pasutri yang menghubungi Pendeta. Peran Pendeta sebagai inisiator tidak begitu nampak. Pelayanan pastoral pasca ritual nikah hendaknya merupakan upaya membangun kesadaran orang Kristen tentang kehadiran Yesus sebagai Juruselamat bukannya datang, berdoa, dan pulang.
Pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah yang demikian, dilatar belakangi pada tidak adanya keputusan dalam hal ini program yang memperhatikan keluarga-keluarga Kristen dewasa ini. Karena itu, sebuah pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah yang dilakukan belumlah fungsional dan menjawab kebutuhan mendasar pasutri. Selain itu, kesempatan sepanjang setengah hari lebih banyak Pendeta habiskan di kantor jemaat dan malamnya melayani ibadah-ibadah serta tugas fungsional lainnya sehingga proses berkenalan dengan keluarga-keluarga Kristen tidak begitu intensif. Dalam hal ini, pembagian wilayah pelayanan kepada para pendeta, dimanfaatkan dengan hanya dua kali pertemuan sepanjang satu tahun yakni pada awal pembagian wilayah pelayanan dan waktunya ditentukan Pendeta untuk mengenal semua anggota jemaat di wilayah pelayanannya serta perkunjungan akhir tahun. Padahal pembagian wilayah pelayanan, sebenarnya sangatlah fungsional untuk upaya pengontrolan dan monitoring masalah-masalah umat terkhususnya pasutri. Pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah hanya merupakan sebuah rutinitas belaka atau pemenuhan aktivitas pelayanan saja. Padahal dari hati setiap pasutri, ada keinginan untuk berbagi dengan Pendeta. Masalah yang dihadapi setiap orang tidak bisa diselesaikan sendiri, mereka membutuhkan telinga untuk mendengar cerita mereka, mereka membutuhkan orang untuk ada bersama mereka. Apalagi kalau orang yang mendengar dan ada bersama mereka adalah seorang Pendeta, betapa hati ini dipuaskan. Selain itu, pembicaraan atau percakapan seputar membina anak dan keluarga sebagai basis menciptakan tanggungjawab terhadap lingkungan serta berikan yang terbaik bagi Allah tidak menjadi pembicaraan yang berarti dalam pelayanan pastoral pasca ritual nikah. Syukuran penambahan usia perkawinan bisa dijadikan media untuk terus memonitoring dan mengontrol setiap keluarga. Namun, semuanya itu hanyalah di atas kertas saja atau diprogramkan pada persidangan jemaat setiap tahun tetapi tidak ada realisasinya sama sekali. Kalau pun ada, itu karena inisiatif keluarga atau bertepatan dengan penambahan usia kelahiran istri atau salah satu anggota keluarga. Mungkinkah keterampilan Pendeta yang kurang menjadi alasan sehingga pelayanan ini tidaklah fungsional? Semua fakta ini mesti menyadarkan kita semua khususnya gereja bahwa di bagian terkecil dari diri umat, ada banyak yang membutuhkan sentuhan, kasih sayang dan perhatian dari Pendeta.
Sekian banyak latar belakang terhadap sebuah pemahaman serta pelaksanaan pernikahan dan pastoral nikah dari umat dan Pendeta, memungkinkan terkondisinya sebuah keadaan yang bermasalah. Pemahaman umat yang berbeda tentang pernikahan mengindikasikan bahwa pernikahan hanyalah dipahami dari satu segi saja. Padahal, untuk memahami pernikahan sangatlah kompleks sebab dalam sebuah ikatan pernikahan, semua segi kehidupan pasutri dipertaruhkan disana. Pasutri bukan hanya seorang individu yang beragama tetapi juga individu yang berekonomi, bersosial dan sebagainya. Itulah problematika pertama yang ada sekarang ini.
Kedua, lingkungan sosial jemaat tidaklah menjadi komunitas yang menyembuhkan tetapi menjadi komunitas yang mempengaruhi. Sampai-sampai pengaruhnya pun negatif. Dikatakan demikan karena keadaan keluarga yang bermasalah mengkondisikan keluarga yang lain pun bermasalah. Padahal sebuah komunitas hendaknya menjadi komunitas yang menyembuhkan. Sebuah keluarga yang bermasalah hendaknya dibantu dengan hal paling mendasar yakni penerimaan di tengah lingkungan sosial dan seterusnya.
Ketiga, kebutuhan yang berbeda-beda dari umat menjadi penghalang bagi keberlanjutan pelaksanaan pastoral nikah mulai dari pastoral pra ritual nikah, pastoral ritual nikah dan pastoral nikah. Padahal, perbedaan kebutuhan itu, mestinya menjadi pegangan untuk memenuhi kebutuhan calon pasutri dan pasutri serta melakukan transformasi aksi.
Ke empat, keterampilan yang di miliki pendeta menjadi bermasalah karena dengan minimnya keterampilan sehingga proses pelaksanaan pastoral nikah pun menjadi tidak efektif. Hal ini dibuktikan dengan upaya membangun relasi yang erat tidak ada sehingga kepercayaan dan keterbukaan dari calon pasutri kepada pendeta tidak tercipta, serta pertanyaan yang bersifat tertutup menjadi jalan terbaik sehingga tidak adanya feed back dari calon pasutri dalam bentuk eksplorasi pengalamannya pada saat pelaksanaan pastoral pra ritual nikah. Hal ini mengindikasikan bahwa semua segi kehidupan pasangan itu tidaklah dieksplorasi dengan mendalam. Selain itu, pelaksanaan pastoral pasca ritual nikah dilakukan secara umum dan tidak begitu memenuhi kebutuhan umat dalam hal permasalahan keluarga, pegangan hidup dan sebagainya.
Kelima, masalah tidak adanya perhatian pelayan kepada pasutri secara kongkrit dalam wujud memprogramkan pelaksanaan pastoral nikah yang berkelanjutan serta kontekstual. Hal ini, disebabkan karena kesempatan para Pendeta yang sangat banyak berorientasi pada pelayanan ibadah memungkinkan tidak adanya program yang mengakomodir kebutuhan keluarga Kristen.
Penutup
Dari ke lima masalah berdasarkan hasil analisis, maka masalah itu akan direfleskikan sehingga bertujuan pada menawarkan model pastoral nikah.
1. Pernikahan Kristen dan Pastoral Nikah
Pernikahan Kristen adalah dasar dan inti persekutuan jemaat, gereja dan masyarakat. Pernikahan Kristen adalah inti persekutuan Allah dan manusia. Hal ini membuat pernikahan Kristen berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri. Pernikahan Kristen hendaknya dapat menghasilkan keluarga Kristen yang takut akan Tuhan, menyakini pernikahan sebagai sebuah pergumulan dan panggilan bersama, saling mengisi, rela berkorban (berani menanggung susah bersama-sama untuk mempertahankan keluarga), setia, teman sekerja bukan pesaing, saling menghargai, menghadirkan Roh Kudus, keterbukaan, damai. Hal ini mestinya menjadi ciri khas keluarga Kristen yang harus terus dipelihara dan dipertahankan, apalagi diperhadapkan dengan problematika keluarga dewasa ini yang penuh dengan sekian banyak masalah di antaranya tidak memiliki keturunan, menikah di usia muda, suami yang belum bekerja, perselingkuhan, lingkungan sosial yang sangat mempengaruhi, perkembangan anak-anak, karakter suami yang tegas, perceraian, hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga besar, ketidakjujuran tentang pendapatan atau keuangan dan sebagainya. Perkawinan Kristen bukanlah urusan duniawi melainkan misteri ilahi (Efesus 5:23). Sebagaimana dikatakan oleh Karl Barth “marriage is a divine vocation to life partnership”. Maksud utama pernikahan bukanlah untuk untuk meneruskan keturunan tetapi tujuan pada diri sendiri.
Setiap tujuan lain hanyalah pelengkap bagi tugas mendasar. Jika kebersamaan hidup dapat dipenuhi secara tepat sebagai tugas yang nyata dalam perkawinan ditempatkan di atas tujuan-tujuan lainnya, maka hidup perkawinan yang sejati akan tercapai. Menikah merupakan satu langkah penting dalam kehidupan seorang manusia yang harus dipertimbangkan masak-masak. Menikah tidak hanya melibatkan sepasang laki-laki dan perempuan, tetapi juga keterlibatan keluarga dari kedua belah pihak – calon suami dan istri. Menikah juga tidak hanya sekedar legitimasi hidup bersama sepasang kekasih, namun mengandung arti yang lebih mendalam, di mana masing-masing pasangan berani memutuskan untuk hidup bersama seumur hidup, bersama-sama menyesuaikan diri terhadap kebiasaan, gaya hidup, sifat-sifat, kepribadian yang berbeda, bersama-sama bertanggung jawab terhadap keluarga yang akan dibangunnya, siap menghadapi kehadiran anak kelak, siap pula menyelami hidup di dalam keluarga pasangan, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebelum sampai pada pengambilan keputusan apakah saya akan menikah atau tidak, perlu dipertimbangkan banyak hal. Di antaranya adalah membuat suatu perencanaan yang matang tentang hidup kita. Akan kita isi dengan apakah hidup kita ini, apa yang ingin kita lakukan dalam hidup, dan apa tujuan hidup kita, apakah kita akan menikah atau memilih karir saja, atau menunda pernikahan dulu karena ingin melakukan sesuatu yang lain dalam hidup? Jika memilih menikah, dengan siapakah kita akan menikah, pasangan seperti apa yang kita harapkan, kapankah saat yang tepat untuk menikah, dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bermunculan di dalam pikiran seseorang. Mengambil keputusan untuk ‘langkah besar’ ini bukanlah seperti kita memutuskan akan makan apa saya hari ini, akan mengenakan baju apa saya hari ini, atau akan mengerjakan tugas apakah saya hari ini. Namun memerlukan pemikiran yang lebih matang, perencanaan yang baik, agar tidak salah langkah dalam menentukan keputusan mana yang akan diambil. Mengambil keputusan merupakan salah satu karakteristik dari seorang individu yang matang dan inteligen.
Pastoral nikah yang mencakup pastoral pra ritual nikah, pastoral ritual nikah dan pastoral pasca ritual nikah adalah media yang dipakai gereja untuk mempersiapkan dan membimbing calon pasutri atau pasutri dalam mengambil keputusan etis serta menjalani kehidupan keluarga bersama-sama. Karena merupakan media yang disiasati oleh gereja, maka pendeta sebagai tenaga pelayan di gereja adalah figur yang memiliki peranan paling penting dalam melakukan pelayanan pastoral nikah. Pastoral nikah secara mendasar sangat berguna bagi keluarga Kristen. Pastoral pra ritual nikah dilakukan dalam upaya memberikan penghayatan pada pasutri akan makna sebuah pernikahan dan bagaimana dapat membina sebuah pernikahan yang berhasil karena pada umumnya, calon pasutri datang kepada pendeta hanya untuk membicarakan upacara pernikahan dan bukan pernikahan itu sendiri. Sehingga dengan pastoral pra ritual nikah, terjadi pembentukan dan pengembangan pemahaman tentang pernikahan dan kehidupan keluarga dalam terang Firman Tuhan. Selanjutnya, pastoral ritual nikah mengindikasikan calon pasutri memaknai suatu pernikahan, mengerti arti janji nikah yang akan mereka ucapkan serta komitmen yang akan dipikul sepanjang pernikahan mereka. Hal ini membuat mereka tidak hanya mengikrarkannya tetapi mampu menghayatinya. Pastoral pasca ritual nikah menjadi sebuah upaya pembimbingan dan penopangan terhadap pasutri dan keluarga serta panggilan untuk bergumul bersama umat, pada basis yakni keluarga dalam mengatasi berbagai masalah keluarga yang adalah pelayanan umat sebagai persekutuan maupun institusi.
Melalui ruang lingkup pembinaan keluarga Kristen, pastoral nikah menjadi salah satu media untuk pembinaan bagi keluarga Kristen yang pada hakekatnya diarahkan untuk pembentukan keluarga Kristen selaku tempat pertama dan utama dalam pembinaan umat secara menyeluruh. Oleh karena itu peranan keluarga tidak dapat digeserkan oleh tempat dan peran pembinaan lainnya. Pelayanan pastoral nikah menjadi hal yang penting karena dengan pelaksanaan pastoral nikah maka keluarga Kristen yang diikat melalui sebuah ikatan yang sakral yakni pernikahan menjadi sebuah keluarga yang dapat menghadirkan tanda-tanda shalom Allah lewat pikir, kata, tindak mereka sehingga semua persoalan dapat diatasi bersama-sama. Bukan hanya itu, dengan adanya pelayanan pastoral nikah, umat disadarkan tentang pernikahan dan keluarga Kristen. Secara teologis, pernikahan merupakan sesuatu yang sakral sehingga mesti dijaga sampai maut memisahkan (Markus 10:6-10). Karena Allah yang menghendaki pernikahan dan Allah yang membentuk pernikahan itu.
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang yang akan menikah. Janganlah menikah karena merasa kasihan kepada orang, melarikan diri dari keluarga yang tidak bahagia, anda bisa, komitmen yang tidak jelas, takut seks, hamil atau menghamili tetapi menikahlah bila anda dapat membuat keputusan, siap menerima keputusan yang bertentangan, sudah memiliki pekerjaan tetap, mampu untuk tidak menjajakan seluruh pendapatan, keinginan untuk menjalani hidup dengan seorang melebihi semua hal. Semua prinsip ini sangatlah penting dibicarakan dalam pelaksanaan pastoral nikah. Kesiapan calon pasutri untuk menikah mestinya dimanfaatkan dalam pelaksanaan pastoral pra ritual nikah. Dengan adanya pastoral pra ritual nikah, kesiapan calon pasutri sudah mestinya benar dan lurus.
Pastoral pra ritual nikah menjadi sebuah jembatan bagi umat untuk membangun pemahaman dan penghayatan yang sungguh akan pernikahan dan keluarga. Pastoral ritual nikah menjadi penting untuk mengingatkan pasutri akan pendasaran dan penghayatan itu dengan sebuah legitimasi kuat yakni pemberkatan nikah. Pastoral pasca ritual nikah menjadi sebuah cara untuk terus membina dan membimbing pasutri dalam peranannya dan fungsinya sebagai sebuah keluarga. Seluruh tujuan mulia dari pelayanan pastoral nikah tidak dapat terwujud dengan sendirinya tetapi melalui sebuah proses dan karena itu, pastoral nikah mestinya berkelanjutan.
Pelaksanaan pastoral nikah yang efektif, memungkinkan terwujudnya keluarga Kristen yang mampu mengatasi sekian masalah. Sehingga tanda-tanda shalom Allah menjadi nyata lewat kualitas diri dari keluarga Kristen.

A. Pendekatan Pastoral Nikah yang Holistik dan Komprehensif
Pemahaman umat dan pelayan tentang pastoral nikah menghasilkan sebuah nilai, betapa pentingnya pelaksanaan ini dan dari nilai berharga itu dilaksanakanlah sebuah praktek. Semuanya ini mengharapkan pembenahan akan pastoral nikah yang lebih efektif. Pembenahan ini terhalang dengan sekian banyak faktor penghambat dan karena itu, sangat dibutuhkan sebuah pendekatan yang berarti dan semuanya itu membutuhkan proses yang cukup panjang.
Pendekatan ini bagi Clinebell disebut dengan pendekatan yang holistik. Kata holistik, berasal dari bahasa Inggris “wholistic” yang berarti menyeluruh. Jadi, yang dimaksudkan dengan pastoral nikah yang holistik adalah pelayanan pastoral yang diberikan bagi calon pasutri atau pasutri secara utuh dan menyeluruh yakni baik secara fisik, mental sosial dan spiritual. Pendekatan ini menjadi penting karena Yesus dalam pelayanannya sendiri sifatnya holistik juga. Yesus tidak hanya memperhatikan hal-hal spiritual saja dalam pelayanan-Nya, Ia juga memperhatikan hal fisik. Dikatakan dalam Yohanes 6:2, orang banyak berdatangan mengikuti Dia, karena mereka melihat mujizat-mujizat penyembuhan, yang diadakan-Nya terhadap orang-orang sakit. Kemudian Yohanes 6:5, Yesus ingat akan orang banyak itu membutuhkan roti, kebutuhan jasmani pengikut-Nya dan Ia memberi mereka makan. Tidak hanya kebutuhan fisik saja yang diperhatikan dalam pelayanan Yesus, Dia juga memperhatikan kepentingan mental manusia (Lukas 11:14). Dia tidak berkenan manusia terganggu jiwanya, sebab itu Dia menyembuhkannya. Dalam menyelesaikan masalah-masalah dosa, Yesus tidak begitu saja menghukum, melainkan sangat memperhatikan hubungan sosial dari orang-orang yang terlibat dalam dosa. Contoh yang baik adalah pada saat Dia menyelesaikan masalah dari wanita yang kedapatan berbuat zinah (Yohanes 8:1-11), Dia menggunakan struktur sosial menjadi alat penyelesaian terhadap orang-orang yang merasa dirinya tidak berdosa.
Manusia dalam seluruh dimensi hidupnya yakni tubuh, roh dan jiwa mesti dilihat sebagai sebuah keutuhan. Keutuhan itu yakni pertama, dalam sudut pandang Alkitabiah, tubuh adalah bait Roh Allah dan itu berarti bahwa betapa pentingnya tubuh secara fisik. Kedua, keutuhan jiwa atau psikis. Pengertian kontemporer dewasa ini, mengasihi dengan segenap jiwa dapat diungkapkan sebagai pencurahan potensi mental dan emosional kita secara kontinu melalui proses belajar seumur hidup. Ketiga, keutuhan relasional. Yang dimaksudkan dengan relasi adalah hubungan seseorang dengan orang terdekat, lingkungan alam dan sosial, lembaga-lembaga sekitar serta Tuhan. Pemahaman ini tersirat dalam konsep Ibrani tentang “shalom” dan dalam konsep PB tentang “koinonia”. Shalom (juga damai sejahtera) adalah sebuah konsep yang menggambarkan baik, utuh dan sehat dalam hubungan atau relasi dengan sesama, lingkungan dan Tuhan. Dalam PB, kata Yunani Koinonia digunakan untuk menggambarkan gereja sebagai komunitas penyembuh. Konsep gereja sebagai komunitas penyembuh atau persekutuan yang menyembuhkan menghendaki pelayanan pastoral nikah yang integratif, yang memandang pasutri sebagai bagian integral dari persekutuan sehingga dengan persekutuan yang menyembuhkan, adanya penopangan dan pembimbingan bagi suami-istri pada saat sebelum menikah, sementara menikah maupun setelah menikah. Analoginya adalah jemaat atau persekutuan seumpama tanah atau pot yang menjadi wadah untuk menyediakan berbagai unsur hara bagi bertumbuhnya sebuah pohon yakni keluarga. Artinya, pertumbuhan keluarga Kristen turut dipengaruhi juga oleh kehidupan umat di sekitarnya. Komunitas turut menentukan jati diri keluarga dalam komunitas itu.
Pemahaman tentang keutuhan ini pun, mestinya juga diimplementasikan dalam pelayanan pastoral nikah. Calon pasutri hendaknya dilihat dalam keutuhannya sebagai manusia yang memiliki fisik, psikis dan relasi. Mestinya ada dialog teks-konteks dalam mencetuskan sebuah ide pembicaraan dalam pelaksanaan pastoral pra ritual nikah. Norman H. Wright menyatakan bahwa ada tujuh sasaran pastoral pra ritual nikah yakni mengatur rincian prosedur upacara pernikahan, membangun hubungan yang mendalam antara pendeta dan calon pasutri yang menjadi dasar pelayanan selanjutnya di masa depan, menyediakan pembetulan terhadap pemahaman yang salah mengenai hubungan pernikahan dan segi-seginya, menyediakan keterangan yang menolong calon pasutri untuk memahami diri sendiri, kelemahan dan kekuatan yang dibawa dalam pernikahan, mengurangi sebanyak mungkin kejutan dari pernikahan yang akan terjadi, menyediakan kesempatan bagi pertumbuhan rohani Kristen sebagai dasar pernikahan yang teguh, membantu calon pasutri mengambil keputusan terakhir mengenai rencana pernikahan mereka. Ketujuh tujuan ini, berdasarkan salah satu daftar pemeriksanaan yang dinamakan PREPARE (PREpernikahan Personal and Relationship Evaluation- Evaluasi Pribadi dan Hubungan Pranikah) yang dikembangkan secara ilmiah oleh Olson, Fournier dan Druckman (1986) mengharuskan bahwa pelaksanaan pastoral pra ritual nikah adalah serangkaian tindakan menolong yang mencakup antara lain :
1. Harapan yang realistik. Calon pasutri mesti ditolong untuk tidak terlalu romantis atau idealistis tentang cinta, tekad atau penyerahan diri dan pertentangan dalam hubungan mereka.
2. Masalah-masalah kepribadian. Calon pasutri perlu ditolong agar mencapai penyesuaian yang memuaskan berkenan dengan perilaku, kebiasaan dan ciri-ciri pribadi seperti keterlambatan, watak tertentu, pasang surut perasaan, keras kepala, kecemburuan dan penguasaan atau pengendalian terhadap orang lain, pernyataan kasih di depan umum, merokok, minum minuman keras dan ketergantungan.
3. Komunikasi. Calon pasutri perlu ditolong agar sadar mengenai perasaan, kepercayaan dan sikap terhadap peran komunikasi untuk mempertahankan hubungan pernikahan, persepsi mengenai cara memberi dan menerima informasi, persepsi mengenai keefektifan komunikasi dan mencapai kenyamanan dalam berbagai perasaan penting.
4. Penyelesaian konflik. Calon pasutri perlu ditolong agar menyadari sikap, perasaan dan kepercayaan mereka mengenai adanya konflik dan penyelesaiannya dalam hubungan mereka, keterbukaan mereka untuk mengenali dan menyelesaikan masalah, cara yang digunakan untuk mengakhiri perdebatan dan perlu ditolong mencapai kesepakatan yang memuaskan mengenai cara menyelesaikan masalah.
5. Pengelolaan keuangan. Calon pasutri perlu ditolong menyadari sikap dan keprihatinannya mengenai cara-cara mengelola masalah ekonomi kelak, kecenderungan mereka sebagai pembelanja dan penabung, masalah utang, pengambilan keputusan untuk pembelian benda yang besar dan mencapai kesepakatan yang memuaskan mengenai masalah keuangan dan pengelolaan uang dan status ekonomi.
6. Kegiatan waktu luang. Calon pasutri perlu ditolong menyadari hobi masing-masing dalam menggunakan waktu luang dan mencapai kepuasan mengenai penggunaan waktu luang.
7. Hubungan seksual. Calon pasutri perlu ditolong menyadari perasaan dan keprihatinannya mengenai hubungan kasih sayang dan seksual termasuk kebebasan berbicara mengenai seks, sikap terhadap perilaku seksual dan persetubuhan, perasaan terhadap ketidaksetiaan seksual dan keputusan mengenai perencanaan keluarga agar sepakat mengenai cara kasih sayang dinyatakan dan bersikap positif mengenai seks dalam pernikahan.
8. Masalah anak-anak dan menjadi orang tua. Calon pasutri perlu ditolong menyadari sikap dan perasaan mereka mengenai mempunyai dan membesarkan anak sehingga ada kesepakatan mengenai jumlah anak dan kapan mempunyai anak, peran seorang ayah dan ibu, penertiban anak, dan nilai-nilai yang diinginkan ada pada anak-anak mereka.
9. Peran-peran kesetaraan. Calon pasutri perlu ditolong menyadari kepercayaan, perasaan dan sikap mengenai berbagai peran berhubungan dengan pernikahan dan keluarga seperti peran kerja, peran rumah tangga, peran seks dan peran orang tua agar mencapai kesepakatan mengenai peran dan bidang tanggungjawab suami-istri berdasarkan kesetaraan atau berdasarkan tradisi.
10. Orientasi keagamaan. Calon pasutri harus ditolong untuk menyadari perasaan, sikap dan keprihatinan mereka mengenai makna kepercayaan dan praktek keagamaan dalam konteks pernikahan agar ada kesepakatan mengenai pentingnya agama, keterlibatan dalam kegiatan gereja, dan mengenai peran agama dalam pernikahan.
Dengan tujuan dan pentingnya pertolongan bagi calon pasutri, mengindikasikan bahwa pelaksanaan pastoral pra ritual nikah tidak dapat dilakukan satu kali saja tetapi mestinya melalui sebuah proses panjang dengan sesi pembicaraan yang dapat menjawab tujuan dan tindakan menolong dalam pastoral pra ritual nikah. Semua tujuan dan pembicaraan itu, dimulai dengan sebuah perkenalan antara pendeta dan calon pasutri secara fisik misalnya lebih mengasihinya serta memampukan pasutri mengatasi keterasingan dari tubuh mereka dan membantu mereka menikmati keutuhan tubuh-jiwa-roh. Hal ini terkait dengan perhatian atas makanan bergizi, senam, pengurangan stress dan kesehatan holistik. Secara psikis, pasutri dilihat dalam hal pikiran, perkataan dan perbuatan. Tiga aspek ini sangat berhubungan dengan jiwa dan berbicara tentang jiwa memiliki keterkaitan dengan kepribadian. Hal ini penting untuk diperbincangkan dalam pastoral pra ritual nikah karena setiap calon pasutri mesti mengenal siapa yang dinikahinya baik dalam urutan kelahiran maupun pengecualian-pengecualian yang dimiliki. Setiap calon pasutri mesti mengenal lebih dalam pasangannya. Dalam hal relasi, calon pasutri mesti disadarkan bahwa mereka berada di dalam dunia dengan segala kompleksitasnya. Kompleksitas mengenai relasi dengan orang terdekat, lingkungan alam atau sosial, Tuhan dan lembaga terkait. Salah satu hal yang menjadi penting adalah peran dan bimbingan orang tua dalam pelaksanaan pastoral pra ritual nikah sehingga orang tua disadarkan akan tanggungjawab dan perannya dalam membina dan membimbing anak-anak ini. “Hendaklah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anak mu” merupakan gagasan teologis mengapa orang tua mesti dilibatkan.
Pastoral pra ritual nikah mesti menyadarkan calon pasutri akan betapa penting dan berharganya pernikahan. Tujuan ini tidak dapat dicapai dalam waktu yang sangat singkat tetapi melalui waktu yang panjang karena aspek kesetiaan dan kesabaran diuji di sini. Oleh karena itu dia tidaklah instan tetapi harus melalui sebuah proses. Pastoral pra ritual nikah yang bertujuan untuk membangun hubungan yang mendalam antara pendeta dan calon pasutri menjadi dasar pelayanan selanjutnya di masa depan menjadi penting dilakukan sebab jika proses pastoral pra ritual nikah tidak berlangsung mendalam, maka pastoral nikah yang seharusnya berkelanjutan itu tidak dapat berlangsung secara baik. Artinya, melalui pastoral pra ritual nikah, Pendeta diposisikan sebagai pendamping untuk berproses dengan pasutri sejak awal, Pendeta dapat membangun relasi sosial dan emosional yang mendalam dengan calon pasutri sebagai langkah awal bagi pelaksanaan pastoral nikah yang berkelanjutan, sehingga jika dikemudiaan hari keluarga atau pasutri tersebut mengalami persoalan, maka Pendeta bukan lagi orang asing dan secara praktis pendampingan tidak lagi dimulai dari awal (pencairan suasana asing). Singkatnya, ketika berada dalam proses pastoral pra ritual nikah, maka pendeta mesti menyikapinya dengan kesadaran yang serius bahwa inilah langkah awal yang menentukan berlangsungnya pelaksanaan pastoral nikah ke depan (ritual nikah dan pasca ritual nikah).
Proses inilah yang memungkinkan pastoral nikah mestinya dilaksanakan secara berkelanjutan yakni melalui tahapan pra ritual nikah, ritual nikah dan pasca ritual nikah dengan segala proses di dalamnya. Bahkan hal ini berhubungan dengan kebijakan institusi ketika adanya mutasi Pendeta. Hal ini terkait dengan aspek kontinuitas dari pastoral nikah yakni catatan pastoral nikah yang memungkinkan pendeta yang baru melayani dapat mempelajari dan meneruskan apa yang telah dilakukan.
Tugas pastoral nikah yang berkesinambungan ini, terlalu berat untuk dilakukan oleh seorang pendeta. Oleh karena itu, pendekatan pastoral nikah yang komprehensif juga menjadi penting. Komprehensif dimaksudkan sebagai sebuah pendekatan yang inter-disipliner dengan memanfaatkan potensi yang ada di jemaat. Ada beberapa hal mendasar yang mestinya dipahami, pertama, inter-disipliner adalah sebuah upaya koinonia, dimana semua orang dalam komunitas memiliki peran untuk menyembuhkan keluarga Kristen yang ada. Kedua, inter-disipliner dipahami sebagai sebuah pengorganisasian pelayanan dengan memanfaatkan potensi jemaat. Hal ini didasarkan bahwa dalam jemaat ada sekian banyak karunia-karunia yang diberikan Allah dan semua karunia ini mesti dimanfaatkan untuk pelayanan (I Korintus 12:1-31). Ketiga, inter-disipliner, didasarkan bahwa pelayan mesti peka terhadap kebutuhan umat dan melakukan sebuah tindakan strategis yang didapatkan dari seluruh evaluasi pelayanan. Hal ini diperkuat dengan sebuah strategi pelayanan yakni tujuh orang yang dipilih untuk melayani orang miskin (KPR 6:1-7). Kepekaan juga mesti dilakukan gereja agar dapat menghasilkan keluarga Kristen yang utuh. Keempat, inter-disipliner dipakai karena seluruh pelayanan pastoral nikah bukan hanya dilakukan oleh pendeta tetapi seluruh elemen pelayanan mulai dari majelis jemaat sampai umat. Hal ini mengindikasikan bahwa semua umat yang percaya kepada Yesus Kristus diberikan tanggungjawab untuk melakukan upaya menolong orang lain (I Petrus 2:9-10). Semua pendekatan inter-disipliner ini, dipahami dalam upaya memahami gereja sebagai sebuah individu, persekutuan dan institusi. Ketiga aspek ini hendaknya dapat sejalan dalam melakukan seluruh tugas pelayanan sehingga dapat menghadirkan tanda-tanda shalom bagi dunia khususnya keluarga Kristen sehingga keluarga Kristen pun dapat menghadirkan tanda-tanda shalom bagi orang lain.


B. Model Pastoral Nikah
Pendekatan pastoral nikah yang holistik dan komprehensif memungkinkan dibuatnya sebuah model pastoral nikah dari pra ritual nikah, ritual nikah dan pasca ritual nikah yang kontekstual dan fungsional. Menyadari akan kompleksnya sebuah entitas diri setiap pasangan maka sebuah proses panjang menjadi jawabannya.
1. Pastoral Pra Ritual Nikah
Pelayanan pastoral pra ritual nikah tidak bisa dilakukan sekali jadi atau dalam satu kali pertemuan karena banyak hal yang mesti dibicarakan. Pelaksanaan pastoral pra ritual nikah ini dilakukan dengan tiga cara yakni :
a. Pendidikan nikah (informasi dan pengetahuan) yang terdiri dari materi latar belakang perkawinan dan keluarga ditinjau dari aspek Alkitabiah dan sejarah, tempat dan fungsi keluarga dalam masyarakat, peranan laki-laki dan perempuan dalam keluarga serta pekerjaan, prinsip-prinsip keuangan keluarga, pemahaman seks dalam terang iman Kristen, arti kesucian pernikahan, hubungan dengan mertua, kemampuan menyelesaikan masalah, hubungan gereja dengan rumah tangga, kehidupan religius keluarga.

Secara sekilas seluruh materi ini termuat beberapa hal yang mesti dibicarakan antara lain:
1. Materi tentang hubungan (Relationship):
• Saling percaya dan dapat saling mempercayakan rahasia terhadap calon pasangan
• Menikmati berlangsungnya waktu bersama, dan mengerjakan berbagai hal bersama-sama
• Saling membutuhkan baik dalam waktu senang maupun susah
• Saling mendukung hampir semua keputusan masing-masing
• Saling berbagi mimpi, tujuan dan harapan yang sama
• Dapat menyelesaikan beda pendapat menjadi persetujuan bersama
• Saling mendengarkan, memahami, menghargai, dan mengagumi masing-masing
• Mampu bertoleransi terhadap sifat-sifat jelek pasangan
2. Materi tentang seks
• Secara seksual, kita dan pasangan merasa cocok, dan dapat saling memenuhi kebutuhan masing-masing
• Merasa nyaman memberikan atau menerima saran dan permintaan seputar masalah seks
• Dapat saling menerima masalah seksual masa lalu pasangan
• Dapat menahan keinginan/gairah terhadap orang lain, di luar pasangan
• Keterbukaan tentang sikap kita terhadap seks. Misalnya saja salah satu pasangan memiliki kecenderungan beseks, hiperseks, “tidak panas” ketika melakukan hubungan seks atau bahkan soal virginitas dan sebagainya. Keterbukaan tentang masalah ini mesti dibicarakan karena kecenderungan sekarang bahwa banyak masalah keluarga terjadi karena ketidakpuasan yang berlandas pada ketidakjujuran.
3. Materi tentang keuangan:
• Saling mengetahui asset, penghasilan dan utang masing-masing
• Mendiskusikan bagaimana akan menggabungkan masalah keuangan dan asset jika sudah menikah, dan merasa tidak keberatan dengan rencana tersebut. Begitu pula dengan masalah biaya rumah tangga, mobil, pinjaman, dll.
4. Materi tentang Keluarga:
• Mendiskusikan bagaimana mengatur waktu bersama keluarga asal pasangan, terutama pada waktu libur atau hari-hari besar
• Mendiskusikan seberapa luas campur tangan pihak keluarga asal terhadap kehidupan keluarga yang baru akan dibentuk
• Mendiskusikan rencana keluarga, jumlah anak, pengasuhan anak
• Memiliki kesamaan agama atau keyakinan religius, atau saling menghargai pilihan keyakinan masing-masing
• Mendiskusikan bagaimana kita saling mendukung dan memelihara orang tua atau pihak mertua, jika tiba-tiba diperlukan.
b. Bimbingan yang memuat materi karakter pembimbing disesuaikan dengan isu atau potensi dasar masing-masing pasangan. Misalnya, mereka ingin belajar prinsip-prinsip tentang pembiayaan keluarga, maka melalui bimbingan mereka mengembangkan suatu budget yang cocok dengan kebutuhan mereka dan dalam jangkauan sumber keuangan mereka. Isu-isu tersebut secara emosional mengganggu bagi beberapa orang. Bimbingan harus selalu berorientasi kepada kebutuhan khusus dan sumber potensi pasangan tersebut.
c. Konseling yang dilakukan jika ada kecemasan, keraguan, perasaan salah, terjadi kekerasan, ada emosi sampai menyebabkan ketegangan dan ketidakpastian.
Karena banyak hal yang akan diinformasikan, dibicarakan dan dikembangkan maka pertemuan sekali saja bukanlah solusinya. Pendaftaran calon pasutri mestinya 3 bulan sebelum pelaksanaan ritual atau pemberkatan nikah dan seminggu sekali dilakukan pastoral pra ritual nikah dengan cakupan pembicaraan yang telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, ada beberapa bahan bacaan yang diberikan kepada calon pasutri untuk menambah informasi tentang pernikahan dan segala seluk beluknya. Pelaksanaan pastoral pra ritual nikah yang dilakukan 3 bulan sebelum pemberkatan nikah secara psikologis dapat dipertanggungjawabkan karena semakin dekat dengan pemberkatan nikah maka calon pasutri lebih banyak disibukkan dengan persiapan resepsi dan sebagainya tetapi jika sebaliknya maka mereka akan banyak membuka diri bagi informasi, bimbingan dan percakapan bersama pendeta.
2. Pastoral Ritual Nikah
Pelaksanaan pastoral ritual nikah seperti yang telah digagas oleh jemaat GPM Bethel menjadi sangat berguna. Namun, gagasan ini harus diberlakukan bagi seluruh pasangan yang akan menikah, tidak ada terkecuali dan pembiayaannya pun dilakukan oleh pihak gereja. Fokus pembicaraan pastoral ritual nikah adalah peranan dan fungsi keluarga yang terdiri dari materi pendasaran Alkitabiah yang dibangun adalah relasi yang saling menghidupkan, seksualitas serta nilai keluarga sebagai tempat pesemaian nilai cinta kasih, kepedulian, tolong menolong dan sebagainya. Semua materi ini dapat dimediasi lewat khotbah pendeta dan tata ibadah.

3. Pastoral Pasca Ritual Nikah
Pastoral pasca ritual nikah dilakukan dengan model konseling perkawinan dan konseling keluarga yang berpusat pada pertumbuhan bagi orang-orang yang mengalami masa sulit atau stres yang berakibat jangka panjang dengan merujuk pasutri itu kepada suatu kelompok pertumbuhan perkawinan atau program penyuluhan termasuk kursus, lokakarya, retreat dan perkemahan. Ada lima jenis kegiatan yang dapat digunakan dalam kelompok penyuluhan yakni :
1. Latihan untuk meningkatkan kesadaran, memperlancar komunikasi dan memperkuat hubungan satu sama lainnya. Kegiatan ini dipimpin oleh pasutri yang menjadi fasilitator.
2. Session singkat untuk mendiskusikan masukan dari seluruh kelompok.
3. Pasutri melakukan latihan untuk saling mempererat hubungan.
4. Kelompok sharing kecil.
5. Waktu santai bagi pasutri untuk bergembira dan bersuka ria.
Materi-materinya pun beragam dan didekati berdasarkan pengalaman pasutri antara lain :
a. Pasutri sebagai anggota kelompok saling berkenalan.
Mendiskusikan tentang harapan atau cita-cita dan kebutuhan pasutri dan pemimpin kelompok. Suatu daftar topik didapatkan dari materi ini.
b. Memperkuat keterampilan komunikasi
Yang dilakukan ialah mencakup kedasaran diri dan latihan mendengar secara tanggap.
c. Metode perkawinan yang bertujuan atau terencana
Materi ini menjadi intisari dari kegiatan penyuluhan yang dilakukan.
d. Menanggulangi kemarahan dan konflik yang tidak produktif
Pada materi ini dilakukan simulasi tentang situasi konflik.
e. Rasa suka-duka dari perubahan peran pria dan wanita
Mesti disediakan waktu untuk peningkatan kesadaran dan untuk melakukan sharing tentang cara-cara menemukan potensi yang positif dari suatu perkawinan yang lebih setara dan saling melengkapi.
f. Menilai prioritas, nilai dan gaya hidup
Mencakup memampukan pasutri agar menjadi sadar akan nilai-nilai mereka dan membuat perubahan untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka bersama.
g. Meningkatkan kenikmatan seksual
Tujuannya adalah membantu pasutri sehingga dapat berkomunikasi secara terbuka tentang apa yang mereka nikmati. Selain itu membantu mereka belajar menyenangkan tanpa merasa terpaksa. Artinya, mereka saling menyenangkan demi kenikmatan itu sendiri dan bukan untuk suatu tujuan, harapan atau pencapaian lainnya.
h. Mengatasi krisis dalam keluarga
Hal ini mencakup keterampilan menanggulangi krisis yang berguna bagi suami-istri.
i. Meningkatkan hubungan orang tua dengan anak-anak dan hubungan orang tua dengan anak remaja
Dalam hal ini dilakukan penyelidikan bagaimana hal mengasuh anak, data mengurangi atau meningkatkan kualitas perkawinan dan sebaliknya.
j. Memperdalam kemesraan rohani
Bagian ini dipusatkan pada penanggulangan konflik religius, peningkatan pengalaman puncak dan hal memperdalam kebahagiaan berdasarkan Roh Kudus dan cinta kasih dalam perkawinan.
k. Kemungkinan pertumbuhan dari tahap perkawinan
Membantu pasutri menanggulangi masalah dengan membuka pintu baru yang cocok dengan usia dan tahap perkawinan mereka sekarang.
l. Mengembangkan keakraban dari pengutusan bersama
Pasutri ditantang dan diundang untuk merencanakan cara-cara mencapai orang lainnya di dalam gereja dan masyarakat dalam rangka membagi-bagikan pertumbuhan yang telah mereka alami.
m. Merencanakan pertumbuhan selanjutnya
Pasutri diberi kesempatan untuk merencanakan pertumbuhan selanjutnya.
n. Menilai pengalaman
Pasutri memberikan penilaian tentang kegiatan yang dilakukan. Apa saja yang dapat bermanfaat dan dapat menolongnya dan apa yang tidak.
o. Perayaan penutupan.
Dilakukan ibadah syukur karena pertemuan ini.
Selain aspek penyuluhan, pendeta juga mestinya melakukan proses konseling pastoral perkawinan atau keluarga bagi pasutri yang mengalami masalah yang sulit dan stres. Model developmental yang dikemukakan Gerald Egan menjadi cara yang baik untuk melakukan konseling perkawinan atau keluarga. Yang pastinya, kehadiran, mendengar dan empati menjadi dasar yang harus dimiliki oleh seorang pendeta untuk melakukan konseling perkawinan atau keluarga. Konseling pastoral menjadi sangat penting dalam pelayanan pastoral pasca ritual nikah karena dengan model konseling, maka pasutri dapat terjawab kebutuhan batinnya. Dikatakan demikian karena dengan mendengar apa yang diceritakan dan dialami oleh umat menjadi salah satu cara membuat umat berharga apalagi membantu dia menyelesaikan masalahnya. Sama halnya dengan apa yang dikatakan Dietrich Benhöeffer “banyak orang sedang mencari telinga yang mau mendengar dengan sungguh-sungguh. Sayang, mereka tidak menemuinya di antara orang Kristen. Sebab orang Kristen berbicara ketika mereka seharusnya mendengar. Jika orang tidak lagi mendengar saudaranya, maka dia juga tidak lagi mendengar Allah. Jika orang tidak mampu mendengar dengan sabar dan tekun, maka dia akan segera berbicara tentang hal-hal yang pokok dan dia tidak akan berbicara dengan sungguh-sungguh kepada orang lain. Namun, hal ini tidak disadari”. Seluruh pelaksanaan dan model pastoral nikah mestinya diberikan legitimasi lewat persidangan jemaat setiap tahun dengan dibentuknya tim pelaksana.
Penggunaan model pastoral nikah yang ditawarkan ini, sangatlah fungsional bagi calon pasutri atau pasutri dalam keadaan apapun. Baik calon pasutri yang menikah secara normal ataupun calon pasutri yang menikah karena “kecelakaan”, pasutri yang bermasalah secara kasat mata maupun tidak dan hasil yang akan dicapai setidaknya dapat meminimalisir sekian banyak permasalahan dalam keluarga misalnya kurang memahami pernikahan yang sesungguhnya, ekonomi, pelanggaran pernikahan dalam hal ini pelanggaran salah satu pasangan yang didominasi oleh istri, perkelahian yang tak pernah mencapai akhir, hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga besar, tidak mempunyai keturunan dan sebagainya. Dengan aspek keseriusan, penghayatan dan kesadaran pendeta untuk melaksanakan pastoral nikah dengan model demikian, maka akan menjawab sekian banyak kebutuhan dari setiap calon pasutri dan pasutri. Dengan proses bimbingan, pendidikan dan konseling calon pasutri akan mendapatkan banyak informasi dan pengetahuan tentang sekian banyak materi seputar pernikahan, memanfaatkan potensi yang dimiliki untuk mempersiapkan diri, percakapan antara pendeta dan calon pasutri yang mengalamai kesulitan dan stres dalam pastoral pra nikah maka secara langsung calon pasutri akan memiliki pemahaman, penghayatan dan kesadaran akan pernikahan Kristen yang sesungguhnya. Desain pelaksanaan ritual nikah yang kreatif dan sarat makna memungkinkan pasurti akan mengingat janji pernikahannya di hadapan umat dan Tuhan serta pelaksanaan pastoral pasca nikah yang berupa kursus, lokakarya, retreat dan perkemahan sedikit banyaknya dapat mempererat relasi suami-istri sehingga sekian banyak permasalahan yang sedang dan akan dihadapi dapat diminimalisir.
Model pastoral nikah yang ditawarkan ini, juga diberlakukan di Gereja Kristen Indonesia Pondok Indah sejak tahun 1993 sampai sekarang oleh Pendeta Agus Sutanto dengan cara membentuk wadah Pembinaan bagi pasangan suami istri dalam bentuk Retreat dan follow up. Wadah pembinaan ini bernaung di bawah komisi dewasa di mana sub komisi pasutri menjadi salah satu bagian di dalamnya. Sub komisi ini mengkhususkan diri pada pelayanan pembinaan terhadap para pasutri dengan tujuan agar para pasutri ini dapat meningkatkan relasi di antara mereka sehingga menjadi lebih baik yang nantinya diharapkan mau melayani Tuhan sebagai pasangan. Sekian banyak kegiatan sub komisi Pasutri GKI Pondok Indah diantaranya Couple Power Series, Retreat Pasutri Mini, Weekend dan Couples Day Out. Yang menjadi tolok ukur keberhasilan model ini ialah antusias peserta yang cukup banyak dan umpan balik atau feedback yang diterima oleh penyelenggara menunjukkan bahwa acara ini tepat mengenai sasaran yaitu kebutuhan dari para jemaat GKI Pondok Indah.


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi data, analisa data dan refleksi teologis, maka penulis akan menyimpulkan seluruh penulisan ini dengan beberapa kesimpulan yakni :
1. Pemahaman umat tentang pernikahan terdiri atas lima varian. Perbedaan pemahaman ini didasarkan pada pekerjaan dan pendidikan yang berbeda diantara umat. Selain itu, umat memahami pastoral nikah pun beragam. Hal ini dilatar belakangi pada kebutuhan dan pengalaman yang berbeda-beda.
2. Pelayanan pastoral nikah dipahami oleh pendeta sangatlah bervariasi. Perbedaan ini didasarkan pada pengalaman dan keterampilan yang dimiliki oleh pendeta.
3. Pelaksanaan pastoral nikah di Jemaat GPM Bethel yang terjadi selama ini, sangatlah tidak kontekstual dan fungsional. Dikatakan demikian karena pelayanan pastoral nikah yang hendaknya dilakukan berkesinambungan dan fungsional dilakukan dengan sebuah pelaksanaan yang bisa dikatakan hanya sebagai sebuah rutinitas belaka tanpa pendasaran untuk menolong calon pasutri dan pasutri.
4. Pemahaman dan pelaksanaan pastoral nikah yang dilakukan selama ini membuat gereja mesti tanggap terhadap sekian banyak permasalahan teologis dalam hal ini keluarga Kristen. Semua ini dapat dijawab dengan sebuah pelurusan pemahaman tentang pernikahan Kristen yang sesungguhnya serta pendekatan pastoral nikah yang holistik dan komprehensif dan pada akhirnya menawarkan sebuah model pastoral nikah yang fungsional dan sedikit banyaknya dapat memberikan pendasaran kuat bagi calon pasutri dan pasutri menyelesaikan sekian banyak masalah.

B. Saran
1. Perkembangan zaman dewasa ini, hendaknya membuat pendeta mesti menyadari akan pentingnya keterampilan dalam melakukan pelayanan pastoral nikah.
2. Gereja mestinya membuka diri terhadap disiplin ilmu yang lain dalam melayani calon pasutri atau pasutri karena mereka bukan hanya manusia religius tetapi juga manusia ekonomi, manusia sosial dll.
3. Mesti adanya tim khusus yang dibentuk untuk pelayanan pastoral nikah. Tim ini bisa direkrut dari sekian banyak potensi yang dimiliki di jemaat serta tidak hanya terdiri dari pendeta saja tetapi tenaga-tenaga profesional dari bidang kehidupan yang lain (ekonom, dokter, sosiolog dll).
4. Gereja sebagai sebuah institusi, mulai dari aras Sinode, Klasis dan Jemaat mesti menaruh perhatian bagi pembinaan keluarga khususnya pelaksanaan pastoral nikah. Selain itu, mesti menyadari akan pentingnya pelayanan pastoral nikah dan membuat sebuah program yang menjawab kebutuhan calon pasutri dan pasutri dengan melakukan dialog dengan teks-konteks. Yang paling terbaik mestilah dilakukan karena keluarga Kristen adalah gereja kecil atau basis di tengah-tengah jemaat dan sangat membutuhkan penanganan langsung.
5. Penawaran model ini, mesti diimpelmentasi setidaknya dengan cara mengetahui kesiapan dan persetujuan umat dalam bentuk sosialisasi.
6. Fakultas Filsafat UKIM dalam upaya mempersiapkan calon hamba Allah, hendaknya membekali mereka dengan keterampilan melakukan pastoral nikah mulai dari tahap pastoral pra ritual nikah, pastoral ritual nikah dan pastoral pasca ritual nikah sehingga banyak keluarga diselamatkan dari bencana sosial dewasa ini.
7. Figur seorang pendeta yang selalu menjadi inisitor mesti dipupuk dari sekarang sehingga semua proses pelayanan dapat dilakukan dengan baik dan fungsional terlebih pelayanan pastoral nikah. Semua ini, dapat dilakukan hanya dengan satu kata kunci yakni relasi.
--------------------------------

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Barth Karl, 1968, On Marriage, Philadelphia : Fortress Press
Benhöeffer Dietrich, 1959 Life Together, New York : Harper & Brother
Clebsch William A, Jaekle Charles R, 1964, Pastoral Care in Historical Perspective, Englewood Cleffs, N. J : Prentice-Hall
Clinebell Howard, 2002, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, Jakarta; Yogyakarta : BPK Gunung Mulia; Kanisius
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: 1995
Douglas D. J, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2001
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Egan Gerald, 1975, The Skilled Helper : a model for systematic helping and interpersonal relating, California : Books/Cole Publishing Company
Harris Douglas J., 1970, The Bible Concept of Peace : Shalom Grand Rapids : Baker Publishing House
Leman Kevin, 2006, Seks Dimulai di Dapur, Yogyakarta : Yayasan Andi

Munroe Myles, 2006, The Purpose and Power of Love and Marriage, Jakarta : Immanuel

Nawawi H. Hadani, 2005, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gadja Mada University Press
Stewart Charles W., 1970, The Minister as Family Counselor, Nashville : Abingdon Press
Subagyo Andreas B., 2003, Tampil Laksana Kencana : pertolongan untuk mencegah dan mengatasi krisi sepanjang hidup, Bandung : Yayasan Kalam Hidup
Trisna Jonathan A., 2002, Konseling Pra-Nikah, Jakarta : Institut Theologia dan Keguruan Indonesia
Waite Linda J., Gallagher Maggie, 2003, Selamat Menempuh Hidup Baru, Bandung : Qanita
Wright Norman H., 1986, How to Have a Creative Crisis, Waco : word Book Publisher


B. Diktat dan Materi Kuliah

Krisetya Mesach, Februari 2002, Konseling Pastoral, Salatiga : Universitas Kristen Satya wacana
, 2001, Konseling Perkawinan dan Keluarga, Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana
Lorwens Johanes, 2006, Materi Kuliah Pastoral 3, Ambon : Universitas Kristen Indonesia Maluku


C. Dokumen, Keputusan dan Sumber lain

Dokumen Jemaat GPM Bethel, 2007, Ambon
Buku Himpunan Peraturan GPM, 2007, Ambon : BPH Sinode GPM
www.gkipi.org/files/keluarga or pendeta or pembinaan jemaat



Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 07/17/11

KRISTOLOGI

I. Pengantar
Pertanyaan mengenai “Siapakah Yesus Kristus?” adalah pertanyaan yang penting sekali dijawab oleh setiap orang beriman. Yesus sendiri telah mengajukan pertanyaan itu kepada murid-muridNya: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?”, yang lalu dijawab Petrus : “Engkau adalah Mesias” (Mrk 8:29) atau Marta: “Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia” (Yoh. 11:27). Pertanyaan tentang “siapakah Yesus bagimu” tidak hanya dijawab murid-murid angkatan-angkatan pertama, tetapi juga mengundang setiap angkatan orang beriman dan setiap murid untuk memberikan jawaban sesuai dengan kebutuhan dan konteksnya masing-masing. Tepat jika dikatakan dalam kristologi, umat Kristen bergumul dengan Yesus Kristus, dan apa yang sebenarnya digumuli ialah: relevansi Yesus Kristus sepanjang sejarah, sejauh mana makna dan arti tokoh Yesus bagi manusia.
Dalam teologi bidang Kristologi memiliki tugas menjawab: siapakah Yesus yang lahir dan hidup pada waktu dan tempat tertentu itu, yang kemudian diimani sebagai Allah yang menyatakan diri kepada manusia ….. Kristologi adalah teologi tentang Kristus. Jelasnya bahwa kristologi menaruh perhatian terhadap masalah hubungan antara yang Ilahi dan apa yang insani dalam pribadi Yesus Kristus.
Jadi kristologi adalah suatu upaya menjelaskan pokok iman Kristen tentang Yesus Kristus.

Refleksi teologis atas pengajaran dan perbuatan Yesus melahirkan pemahaman kristologis yang dinyatakan melalui berbagai ungkapan, gelar dan gambar figuratif Yesus. Para penulis Perjanjian Baru (PB) misalnya, masing-masing memberikan dan mengekspresikan gambar dan figur Yesus sesuai dengan sudut pandang dan pemahaman iman mereka. Di dalam PB, nama Yesus memiliki kepelbagaian gelar misalnya sebagai Mesias, Anak Allah, Penyembuh penyakit, Gembala yang baik dan lain sebagainya, yang menunjukkan keragaman perbuatan dan pelayanan Yesus pada masa hidupnya.

II. Perkembangan Kristologi Dalam Sejarah
A. Kristologi Sebelum Reformasi

1. Sampai Konsili Chalcedon
• Kepercayaan mula-mula. Dalam literatur Kristen mula-mula, Kristus disebutkan sebagai Allah dan manusia, Anak Manusia juga Anak Allah. Ia dipercaya sebagai yang tanpa dosa dan merupakan tujuan penyembahan yang paling benar. Kesulitan teologis dan filosofis dari kemanusiaan dan keilahian Kristus belum terasa sampai saat ini.
• Kaum Ebionit. Beberapa saat setelah itu terjadilah tekanan yang hebat dari monoteisme Yudaisme yang memberi banyak pengaruh kepada orang-orang Kristen mula-mula yang berlatar belakang Yahudi. Hal ini memicu lahirnya golongan “Ebionit” yang terpaksa menyangkal keilahian Kristus. Mereka menganggap-Nya sebagai manusia biasa, anak Yusuf dan Maria yang memperoleh kualitas-Nya setelah dibaptiskan menjadi Mesias oleh karena Roh Kudus turun ke atas-Nya.
• Kaum Alogi. Dalam gereja mula-mula muncul juga kelompok lain yang doktrinnya mirip dengan kaum Ebionit yakni kaum Alogi. Mereka menolak doktrin Yohanes tentang Logos yang dianggapnya bertentangan dengan seluruh PB. Mereka juga menganggap Yesus hanyalah manusia biasa, walaupun secara ajaib dilahirkan oleh seorang perawan dan mereka mengajarkan bahwa Kristus turun ke atas Yesus pada saat baptisan, menyebabkan Dia memiliki kekuatan supranatural. Tokoh utama ajaran semacam ini adalah Paulus dari Samosata.
• Kaum Gnostik. Secara historis, kalau ada golongan-golongan yang menekankan kemanusiaan Yesus saja, ada juga golongan-golongan yang menekankan keilahian-Nya saja. Gnostik salah satu di antaranya. Kaum Gnostik terpengaruh oleh konsep dualistik Yunani, di mana mereka menganggap bahwa materi adalah jahat dan merupakan lawan dari roh dan kedua hal ini tidak mungkin bersatu. Karenanya mereka menolak pengertian inkarnasi sebagai manifestasi Allah dalam bentuk yang dapat dilihat sebab inkarnasi mengharuskan kontak secara langsung antara materi dan roh. Harnack mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka menganggap Kristus adalah Roh, yang secara substansi setara dengan Bapa. Menurut sebagian dari kelompok ini, Ia turun ke atas seorang manusia yang bernama Yesus pada saat baptisan, dan meninggalkan Dia lagi sebelum peristiwa penyaliban, sedangkan menurut sebagian yang lain, Yesus hanya memiliki tubuh semu.
Catatan : Kaum Anti-Gnostik dan Bapa-Bapa Gereja dari Alexandria berusaha mempertahankan keilahian Kristus, tetapi dalam usaha pembelaan ini mereka tidak sepenuhnya terlepas dari kesalahan. Tertullian misalnya menyebutkan bahwa Yesus lebih rendah dari Allah Bapa. Pernyataan Tertullian ini sebagai tangga penghubung bagi Arianisme (Arian).
• Arianisme (Arian). Arianisme (yang dipelopori oleh Arian) membedakan antar Kristus dan Logos yang dilihat sebagai pikiran ilahi. Kristus disebut sebagai ciptaan yang ada secara pratemporal (sebelum waktu), bersifat melebihi manusia, ciptaan pertama dan bukan Allah. Catatan: Athanasius menentang Arian dan dengan kuat mempertahankan pendapatnya bahwa Allah Putera setara secara substansi dan berasal dari esensi yang sama dengan Allah Bapa. Pendapat ini secara resmi diterima oleh Konsili Nicea tahun 321 yang dipelopori oleh Kaisar Konstantin. Pandangan Arianisme ini muncul lagi dalam zaman modern dalam kelompok Saksi Yehuwa.
• Menuju Konsili Chalcedon. Setelah keilahian Sang Putera ditetapkan dalam Konsili Nicea, timbullah persoalan baru yakni hubungan antara keilahian dan kemanusiaan-Nya. Pada saat ini muncullah berbagai pandangan seperti Apollinaris yang berpendapat bahwa Logos itulah roh Yesus, Theodore dari Mopsuestia dan Nestorius dari Konstantinopel yang mengatakan bahwa Logos itu hanya sekedar moral yang tinggal di dalam Yesus dan ini sama dan dinikmati oleh semua orang percaya, Cyrillius dari Alexandria maupun Eutycus yang mengatakan bahwa natur manusia Yesus diambil dari natur ilahi-Nya. Pandangan-pandangan ini menimbulkan perdebatan-perdebatan besar baik secara langsung maupun lewat surat-surat maupun buku-buku.
Pertikaian ini semakin memanas dengan diadakannya Konsili Efesus (tahun 431). Cyrillius dan para pengikutnya juga mengadakan suatu muktamar/sidang sinode dan mengutuk Nestorius. Sebagai reaksi, Nestorius pun menggelar suatu kontra- sinode yang menyerang kembali sinode Cyrillius. Persoalan-persoalan dan pertikaian-pertikaian ini memicu munculnya konsili besar di Chalcedon (tahun 451), suatu kota yang terletak di pantai timur Bosphorus, berhadapan denagn Konstantinopel. Konsili ini dikenal juga sebagai Konsili Oikumenis (KO) IV. (KO I adalah Nicea-Konstantinopel, KO II adalah Konsili Efesus, KO III adalah Sidang Sinode Cyrillius). Dalam KO IV ini terjadilah diskusi-diskusi yang panjang dan sulit yang berlangsung di gereja Yunani yang akhirnya mempertahankan kesatuan dalam pribadi Kristus dan dua natur yang ada dalam diri-Nya. (Cerita lengkap tentang ini dapat dibaca dalam buku : Pengantar Sejarah Dogma Kristen karangan Bernhard Lohse, hal.115-126).
2. Setelah Konsili Chalcedon
Setelah Konsili Chalcedon selesai, masalah belumlah selesai. Mulai muncul masalah masalah baru. Salah satu di antaranya adalah menyangkut kepribadian Kristus.
• Leontius berpendapat bahwa natur manusia Kristus bukanlah berpribadi (impersonal) melainkan berada dalam pribadi (inpersonal).
• Yohanis dari damascus mengatakan bahwa terdapat hubungan yang terus menerus antara natur ilahi dan natur manusia Yesus. Ia cenderung merendahkan natur manusia Yesus sampai sekedar menjadi organ/alat bagi Logos dan yakin bahwa pribadi yang satu itu bertindak dan berkehendak dalam setiap natur walaupun kehendak manusiawi-Nya selalu berada di bawah kehendak ilahi.
• Bishop Felix dari Urgella mengemukakan doktrin “Adopsianisme” yang berpandangan bahwa Kristus dalam sisi manusia-Nya sebagai seorang Anak Allah semata-mata karena adopsi. Ia berusaha mempertahankan kesatuan pribadi Kristus dengan cara menekankan kenyataan bahwa sejak masa Yesus dikandung, Anak Manusia itu disatukan dengan pribadi Anak Allah. Pengadopsian ini dimulai ketika dibaptis dan disempurnakan dalam kebangkitan-Nya.
Catatan : Pendapat semacam ini ditolak dalam Sinode Frankfort tahun 794.
• Abad Pertengahan hanya memberikan sedikit sumbangsih kepada doktrin pribadi Kristus. Yang paling menonjol adalah Thomas Aquinas yang berpandangan bahwa pribadi logos menjadi komposit (gabungan) dalam inkarnasi. Yesus tidak memiliki 2 pribadi melainkan 1 pribadi. Dalam 1 pribadi itu terdapat 2 tabiat, ilahi dan insani. Secara umum pandangan Aqunias ini dipegang oleh kebanyakan teolog setelah itu.
B. Kristologi Setelah Reformasi
1. Sampai abad 19
Reformasi tidak membuat perubahan besar dalam doktrin pribadi Kristus. Baik gereja Roma Katholik dan gereja-gereja Reformasi (Protestan) menerima doktrin Kristus sebagaimana dikemukakan dalam konsili Chalcedon. Perbedaan-perbedaan antara kedua gereja ini terletak pada masalah lain.

Luther dan teolog-teolog Lutheran
Doktrin Luther akan kehadiran fisik Kristus dalam Perjamuan Kudus mengatakan bahwa setiap natur Kristus mengalirkan natur yang lain dan kemanusiaan-Nya mengambil bagian dalam dalam atribut-atribut Ilahi-Nya. Mereka berpegang bahwa sifat mahakuasa, mahatahu dan mahahadir diberikan pada natur manusia pada saat inkarnasi. Doktrin semacam ini mengakibatkan perbedaan pendapat di antara teolog Lutheran :
• Sebagian berpendapat bahwa Kristus menyingkirkan sifat-sifat Ilahi-Nya yang Ia terima pada saat inkarnasi, atau hanya memakai sifat-sifat itu pada waktu tertentu.
• Sebagian yang lain berpendapat bahwa Ia tetap memiliki sifat-sifat itu sepanjang masa kehidupan-Nya di dunia, akan tetapi hanya memakainya secara diam-diam.
Catatan : Sebagian teolog Lutheran cenderung untuk menyingkirkan doktrin ini.
Calvin dan teolog-teolog Reformed
Teolog-teolog Reformed melihat adanya pendapat Eutychianisme atau campuran kedua natur Kristus dalam doktrin Lutheran. Teolog Reformed mengajarkan bahwa setelah inkarnasi, segala sifat dan karakteristik dari kedua natur dapat ditunjukkan pada satu pribadi Kristus. Pribadi Kristus dapat disebut mahatahu, akan tetapi juga memiliki pengetahuan yang terbatas; dapat dianggap sebagai mahahadir, tetapi juga terbatas pada suatu waktu tertentu dalam sebuah tempat.
Pengakuan Helvetic II Pasal XI : “Kami mengakui bahwa di dalam Yesus yang satu dan yang sama, Tuhan kita memiliki dua natur, ilahi dan manusiawi; dan kami berkata bahwa keduanya saling berhubungan atau disatukan, sehingga keduanya tidak saling bercampur, saling membaur, tetapi terikat dan dipersatukan dalam satu pribadi (masing-masing sifat dan ciri khas dari tiap natur itu tetap aman dan tetap ada), sehingga sesungguhnya kita menyembah satu Kristus Tuhan kita, dan bukan dua….Jadi kita tidak berpendapat atau mengajarkan bahwa natur ilahi Kristus mengalami penderitaan, atau bahwa Kristus menurut natur manusiawi-Nya sekalipun ada di dunia juga ada di segala tempat.
John Calvin : “karena bahkan ketika Firman dalam hakikat-Nya yan terbatas, bersatu dengan hakikat manusia dalam satu pribadi, kami tidak membayangkan bahwa Ia dibatasi di dalamnya. Ini adalah sesuatu yang menakjubkan. Anak Allah turun dari surga dengan cara sedemikian rupa, sehingga tanpa meninggalkan surga. Ia mau dikandung dalam kandungan perawan, berjalan-jalan di bumi dan tergantung di kayu salib, tetapi Ia secara terus menerus memenuhi alam semesta seperti yang Ia sudah lakukan sejak semula.” (Institutes of Christian Religion, Book.II, Chapter XIII, No.4).
Catatan : Pandangan semacam inilah yang banyak dipegang para teolog Injili sampai masa kini.

2. Di abad 19
Pada awal abad 19 terjadi perubahan besar dalam studi tentang Kristus yang dikenal dengan “Masa Kristologi Kedua” yang dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher. Pada masa ini Kristologi telah berubah dari sifat teosentrisnya (berpusat pada Allah) menjadi sifat antroposentris (berpusat pada manusia) karena anggapan bahwa hal yang lebih baik dapat dicapai dengan cara memulainya lebih dekat dengan manusia, yaitu dengan cara mempelajari Yesus yang historis atau yang lebih dikenal dengan istilah “Yesus Historis” atau “”Yesus Sejarah”. Sudut pandang semacam ini mengakibatkan hancurnya iman gereja.
Teologi ini menolak semua kata Alkitab dengan berkata : “Itu kan kata Alkitab” . Didukung oleh semangat rasionalisme, gerakan ini akhirnya meragukan nilai “Yesus Sejarah” yang disebut Alkitab. Gerakan inilah yang memunculkan teologi Liberal dengan “Kritik Historis”nya atas Alkitab. Tokoh-tokohnya yang terkenal selain Schleiermacher adalah Strauss, Albert Schweitzer, dan Rudolf Bultman yang terkenal dengan ‘demitologisasi’nya pada pertengahan abad 20.
Seorang murid Bultman yang bernama Ernst Kasemann merintis penyelidikan baru yang memuncak dalam apa yang terkenal di Amerika Serikat sebagai “Jesus Seminar”. (1985) yang diliput media massa, koran-koran, majalah dan TV sehingga dalam waktu singkat menjadi terkenal di seluruh Amerika dan menggemparkan sama seperti Midwest Today edisi Maret 1994 yang mengatakan :
“Ketika 77 ahli Alkitab menuntut bahwa 80% dari yang dianggap ucapan yesus dalam Alkitab sebenarnya tidak diucapkan Yesus, kepanikan menyebar”
Majalah Time edisi 8 April 1996 di bawah judul “The Gospel Truth” mengatakan :
“Yesus Seminar yang provokatif mengemukakan bahwa tidak banyak bagian PB dapat dipercaya. Bila demikian, apa yang dipercaya orang Kristen?”
Banyak teolog demikian yang menyebutkan Yesus sebagai pemimpin dan pemberontak Yahudi yang gagal :
• H.S. Reimarus : Yesus adalah tokoh harapan eskatologis, mujizatnya harus dijelaskan sebagai gejala alam, ia mati dalam kegagalan dan mayatnya dicuri oleh murid-muridnya.
• J.E. Renan : Kehidupan yesus adalah sebagai manusia biasa, yang mengajarkan ‘kasih’, mengumpulkan pengikut, bentrok dengan para Rabi Yahudi dan kemudian memberontak dan mati syahid.
• Alberth Schweitzer : Sebenarnya eskatologisme Yesus ditujukan pada kedatangan Kerajaan Allah yang karena tidak datang-datang juga, akhirnya ia menjadikan dirinya sendiri menjadi tokoh eskatologi dan ini harus dibayar dengan nyawanya. Yesus mati dalam kegagalan.
F.C. Baur : Sejarah PB sebagai pertentangan kelompok Petrus sebagaia partai Kristen Yahudi dan kelompok partai moderat pimpinan Paulus.
• John Dominic Crossan : Yesus adalah pengajar, pengelana yang mengumpulkan murid-murid dan mencoba melakukan pembaharuan sosial. Yesus kemudian mati disalib dan mayatnya dimakan anjing.
• Barbara Thiering : Yesus menikah dengan Maria Magdalena kemudian mempunyai 3 anak, cerai dan kawin lagi”
Beberapa kesimpulan “Jesus Seminar” adalah :
• Yesus tidak pernah menuntut dirinya sebagai Mesias dan tidak bernubuat tentang akhir zaman.
• Yesus mungkin makan bersama murid-muridnya dalam perjamuan malam, tetapi ucapan Yesus pada malam itu kemungkinan rekaan para murid.
• Doa “Bapa Kami” kemungkinan disusun oleh pengikut Yesus setelah kematiannya.


BEBERAPA GELAR KRISTOLOGIS YANG DIKENAKAN PADA YESUS
a. Yesus adalah Anak Allah (HUIOS THEOS) atau PUTRA ELOHIM
Nama Yesus — bentuk Yunani dari nama Ibrani Yehosyua — berarti “TUHAN menolong, yaitu menolong umatNya”. Para penulis PB benar-benar menyadari arti ini (Mat. 1:21). Yesus adalah nama pribadi Juruselamat. Gelar Anak Allah yang dikenakan kepada Yesus mengungkapkan kedudukan dan hubunganNya dengan Allah. Di dalam alam pemikiran Yahudi-Palestina, gelar ‘anak Allah’ dapat mengacu kepada, dengan urutan yang makin meningkat, setiap orang dari antara anak-anak Israel; atau khususnya kepada mesias rajani atau oknum sorgawi. Dengan kata lain, gelar ‘anak Allah’ senantiasa dipahami sebagai kiasan di banyak lingkungan Yahudi Di dalam tulisan-tulisan Yahudi, pemakaian gelar ini tidak pernah diartikan bahwa orang yang menyandangnya mengambil bagian di dalam kodrat ilahi. Penerapan mula-mula gelar Anak Allah kepada Yesus dikaitkan dengan dua faktor hidup-Nya sebagai kharismatis pembuat mujizat dan pengusir setan, dan kesadaran-Nya bahwa Ia berada dalam suatu hubungan yang khusus dengan Allah, Bapa SorgawiNya. Yesus sendiri pasti tahu hubunganNya yang khas dengan Allah, yang dalam doa-Nya disapa begitu akrab sebagai Abba (Mrk 14:36) Dengan latar belakang inilah patut kita pahami bila Yesus memakai istilah “Anak” untuk menyatakan hubunganNya dengan Allah sebagai Bapa (Mat. 11:27; Luk 10:22).
Hubungan Yesus dengan BapaNya adalah hubungan yang istimewa sebab melebihi hubungan antara orang tua dengan anaknya atau melebihi hubungan Allah dengan seorang nabi dan melebihi hubungan antara Allah dengan orang-orang beriman sebab Yesus adalah Anak Allah yang tunggal (Yoh 1:14, 18; 3:16,18), Anak yang dikasihi (Mrk 1:11; 9:7) Bagi orang Yahudi gelar Anak Allah pada Yesus hakekatnya menyinggung perasaan karena Yesus menyamakan diriNya dengan Allah, tetapi justru itulah yang dimaksud dengan gelar Anak Allah bahwa sepatutnyalah Yesus Kristus diberi hormat yang sama besarnya dengan Allah Bapa (Yoh 5:23)11. Kenyataan menunjukkan bahwa Yesus sangat berhati-hati mengungkapkan hubungan-Nya yang khas dengan Allah, namun jelas para penguasa Yahudi mendakwa Dia membuat pernyataan demikian (Mrk 14:6; Luk 22:70)12.
Gelar “Anak Allah” bagi Yesus sangat kuat oleh karena bukti internal dari Alkitab sendiri sangat banyak, diantaranya:
- Laporan Alkitab, khususnya Injil Yohanes yang menyatakan mengenai kesatuan Anak dan Bapa (Yoh: 5:19, 4:34, 6:38, 7:28, 8:42), sebagai kesatuan yang menjelaskan ke-Allahan Yesus Kristus.
- Injil Yohanes juga menyatakan mengenai gelar “Anak Allah” dalam hubungan misi Anak adalah Misi Bapa. Misi keselamatan Yesus adalah meliputi kematian-Nya (Yohanes 12:23-24). Tuhan Yesus sendiri menyadari sepenuhnya mengenai tujuan misiNya, yaitu kematianNya (Yoh 2:4, 12:23, 27, 13:1, 17:1). Gembala yang baik menyerahkan nyawanya bagi dombaNya (10:11,15). Anak itu telah diutus oleh Bapa, Ia menaati perintah-perintah Bapa (15:10), Ia tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diriNya sendiri (Yoh 5:19-20), perkataanNya adalah perkataan Bapa (Yohanes 14:10; 17:8).
- Adanya bukti peristiwa dan penyataan Allah sendiri (Heavenly saying): ”Inilah Anak yang Kukasihi, kepadaNya Aku berkenan” (Mrk 11:11, 9:7); Penyataan Allah melalui penyataan Petrus (Mat 16:16).
- Pengakuan orang: Yohanes Pembaptis (Yoh 1:34), Natanael (Yoh 1:49), Marta (Yoh 11:27), semuanya mengaku bahwa Yesus adalah Anak Allah.
- Pengakuan orang kafir (Mrk 15:39), orang Yahudi menuduh Yesus yang mengklaim diri sebagai Anak Allah (19:7, bdg 5:17) bahkan ucapan roh jahat (Mrk 5:7).
- Perbuatan Tuhan Yesus menerangkan mengenai diriNya sebagai Anak (10:37, bdg 11:4) dan Yesus sendiri menerima gelar “Anak Allah” tersebut bagi diriNya (10:36) dengan kesadaranNya yang penuh bahwa Ia adalah Allah.
- Anak memiliki kuasa yang sama dengan Bapa, yaitu memberikan hidup (5:21). Bapa memiliki hidup dari diriNya sendiri, demikian juga Ia telah memberikan kepada Anak untuk memiliki hidup di dalam diriNya sendiri (5:26). Itulah sebabnya Yesus memberikan hidup yang kekal (3:35, 6:40,47, 10:10, 17:2); Ia pun berkata “Akulah kebangkitan dan hidup” (11:25).
Keunikan Yesus sebagai Anak Allah dijelaskan oleh Yohanes dengan ungkapan “Anak yang tunggal atau monogenes” (Yoh 1:14, 18, 3:16,18). Hal ini merupakan keunikan mengenai gelar Anak bagi Yesus. Dia secara hakiki adalah Anak yang lebih dari seorang yang kuasanya diberikan untuk menjadi Anak Allah (Yoh 1:12, 12:36). Gelar Anak Allah bukanlah gelar yang diberikan, atau bukan karena adopsi tetapi menghakikat dalam diriNya. Gelar ini menyatakan ke-Allah-anNya yang mutlak.
Kamus Alkitab TB- Israel disebut anak Allah atau anak sulung Allah (Kej 4:22-23; Hos 11:1). Demikian juga raja Israel, keturunan Daud (2 Sam 7:14; Mzm 2:7). Tetapi kemudian terutama gelar untuk Yesus Kristus yang menyatakan bahwa Ia berasal dari Allah dan melakukan kehendak Bapa-Nya, sehingga Ia adalah orang kesayangan Allah.
BIS- Dahulu kala seluruh bangsa Israel digelar "Anak Allah" (Kel 4:22), begitu juga raja Israel keturunan Daud (2 Sam 7:14; Mzm 2:7), karena ia memerintah sebagai wakil Allah. Tetapi kemudian gelar ini diberikan terutama sekali kepada Raja yang dijanjikan oleh Allah; Ialah raja yang diharapkan datang pada akhir zaman. Dalam kitab Roma 1:3-4 yang dimaksud dengan Anak Allah ialah Yesus, karena Yesus hidup kembali dari kematian dan karena sejak Paskah, Yesus memerintah bersama-sama dengan Allah. Dalam Markus 1:9-11, pada waktu Yesus dibaptis, Ia diakui sebagai Anak Allah, ketika suara dari surga mengatakan kepada-Nya, "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi." Kata-kata itu sesuai dengan kata-kata dalam Mazmur 2:7. Matius 1:18 dan Lukas 1:35 menyatakan bahwa Yesus berada dalam kandungan Maria, seorang perawan, karena kuasa Roh Allah.
b. Yesus adalah Anak Manusia (HUIOS ANTHROPOS)
Gelar “Anak Allah” khususnya dalam tulisan Yohanes adalah dipakai secara bersinonim dengan sebutan Anak Manusia. Gelar tersebut berlatarbelakang PL, dimana istilah “be adam” (Ibrani), atau “bar ‘nasha” berarti manusia (Mzm 2:4, Yeh 2:1, 3:1). Itu bisa berarti sebagai manusia yang diutus sebagai seorang utusan Allah setelah mendapat visi dari Allah. Paralel yang paling dekat dalam pemakaian PB ialah dari (Daniel 7:13-14) yang menggambarkan mengenai “seperti seorang anak manusia” datang dengan awan-awan dari langit. Dia adalah figur surgawi dan wakil Allah. Dan abad pertama, istilah Anak Manusia digunakan sebagai satu gelar bagi Mesias (Ez.13 ; Yoh 12:32,34).
Dalam Injil Sinoptik, gelar “Anak Manusia” adalah satu ucapan yang hanya dipakai oleh Yesus sendiri. Para murid tidak pernah memakai gelar ini untuk menyebut Tuhan Yesus. Sebutan Anak Manusia oleh Yesus sendiri berbeda dengan sebutan-sebutan lain yang diberikan oleh murid-muridNya kepadaNya setelah kebangkitan. Istilah “Anak Manusia” dipakai oleh Tuhan Yesus untuk menghindarkan persepsi yang keliru tentang istilah Anak Allah yang lebih banyak muatan MesianisNya. Karena, Yesus sendiri mengerti diriNya sendiri sebagai Allah. Maka itu, penolakanNya terhadap penggunaan Mesias bagi diriNya ialah bukan berarti Ia tidak menyadari bahwa diriNya adalah Mesias. Yesus lebih interes dengan menggunakan gelar “Anak Manusia” daripada Mesias, karena gelar Mesias telah dimengerti secara politis, telah didistorsikan dengan pengharapan mesianis Yahudi yang kental dengan muatan politis.
Dalam Injil Sinoptik, gelar Anak Manusia terbagi dalam 3 kelompok yaitu: Anak manusia dalam pelayanan di dunia, Anak manusia dalam kehinaan dan kematian, Anak manusia datang dalam kemuliaan apokaliptis untuk menghakimi manusia dan mentahbiskan Kerajaan Allah. Inilah keunikan Yesus karena gelar “Anak Manusia” dikaitkan dengan tugas prerogatif Allah, yaitu mengampuni dosa (Mrk 2:10), Anak Manusia yang menderita (Mrk 14:16), Anak Manusia mempunyai kuasa untuk menghakimi (Yoh 5:27).
Yohanes mencatat bahwa ada 13 kali Yesus menyebut diriNya “Anak Manusia” Yohanes berbicara tentang Yesus yg ditinggikan dari dunia dan di dalamnya melihat kemuliaan Yesus. Sebagaimana ular ditinggikan… demikian juga Anak Manusia (3:14-15, 8:28). Namun peninggian atau pemuliaan Anak Manusia adalah dengan jalan kematianNya (kontras dengan pikiran orang Yahudi). Peninggian dalam kematianNya itu berarti menarik semua orang datang kepadaNya (12:32). Peninggian ini juga adalah pemuliaanNya (12:23, 13:31). Anak Manusia menurut Yohanes adalah Anak manusia yang memiliki otoritas ilahi, karena Allah telah menyerahkan kepadaNya semua kuasa untuk menjalankan hukuman (Yoh 5:27). Dia adalah Hakim di Akhir Zaman. Anak Manusia turun dari Surga dan yang naik ke Surga (Yoh 3:13), engkau akan melihat langit terbuka dan malaika-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia (Yoh 1:51). Ungkapan ini mengingatkan akan penglihatan Yakub (kej 29:10-15), dan dalam konteks pemikiran Yohanes bahwa Yesus sebagai Anak Manusia yang telah datang untuk mengembangkan komunikasi antara surga dan bumi. Jadi Anak Manusia adalah gerbang surga. Dialah yang membawa hal-hal surgawi kepada manusia di dunia. Dan Dialah satu-satunya yang naik ke Surga (Yoh 3:13)
c. Yesus sebagai “ANAK DOMBA ALLAH”

GELAR ‘ANAK DOMBA ALLAH’ BAGI YESUS memperlihatkan bahwa Kematian Yesus bukanlah kematian “martir” yang bermakna “mati demi mempertahankan kebenaran dan bertahan terhadap pemaksaan dari musuh-musuh Tuhan hingga akhir hayatnya”. Seseorang bisa saja menjadi martir “sebagai tanda cinta kepada Tuhan dan kebenaranNya”, sehingga ia dibunuh dalam kemartiran dimana Tuhanlah yang menjadi pusat pembaktiannya. Namun kematian Yesus adalah KEMATIAN-KURBAN, dimana seseorang merelakan jiwanya sendiri untuk dikorbankan (masih bisa dihindari, tetapi ia merelakan) demi kasih yang begitu besar untuk menyelamatkan jiwa-jiwa orang yang dikasihinya. Inilah sebuah kematian “tukar-guling” yang merupakan “win-win solution” (semua pihak diuntungkan) demi menebus kematian para kekasihnya. Kematian Yesus, total berlandaskan kasih, dan tidak diselewengkan dengan dalil-dalil manusia yang melekatkan kebencian dan dendam atas nama Tuhan atau perjuangan.
d. Yesus adalah Mesias
Dalam Injil Yohanes, pola penggunaan gelar itu sama dengan pola dalam Injil-injil lainnya. Kitab-kitab Injil menceritakan kegiatan manusia Yesus, dan bentuk gabungan Yesus Kristus hanya muncul dua kali bila totalitas makna Yesus dilihat dari sudut pandang sesudah kebangkitan. Walaupun istilah "Tuhan" berulang kali dipakai untuk menyapa Yesus, tapi dalam cerita jarang digunakan untuk memaksudkan Yesus sampai sesudah kebangkitan, yang menetapkan kedudukan Yesus yang baru. Tapi penting diperhatikan bahwa Yesus sendiri menunjukkan kedudukan-Nya sebagai "Tuhan" yang memberi perintah kepada hamba-hamba-Nya, walaupun murid-murid-Nya Dia pandang lebih sebagai sahabat-Nya ketimbang hamba-Nya.
Satu dari sekian masalah pokok dalam Injil Yohanes ialah apakah Yesus memang "Mesias" yang dinanti-nantikan oleh orang Yahudi dan orang Samaria; tujuan Injil Yohanes ialah membimbing orang mempercayai hal ini. Kendati gelar "Mesias" jarang digunakan dalam Injil-injil lain, tapi dalam Injil Yohanes Yesus diakui "Mesias". Tapi sangat menarik perhatian bahwa Yesus sendiri tidak pernah mengucapkan kata itu. Acuan-acuan lain yang bersifat setengah gelar yang digunakan dalam Injil Yohanes ialah "Yang (akan datang)", "Yang Kudus dari Allah", "Juruselamat", "Anak Domba Allah", "Nabi", dan "Raja Israel".



Baca selengkapnya GIAFIDRISA: 07/17/11