Bersekutu, Berkarya dan Bersaksi...

MERANGKAI IBADAH KREATIF

Arti Ibadah/Liturgi
Ada berbagai istilah yang kita kenal dan sering kita pakai dalam persekutuan gereja. Ada yang memakai istilah liturgi, ibadah atau kebaktian. Yang mana yang benar? Semua benar, jika kita memahaminya sebagai ungkapan diri kita sepenuhnya kepada Allah. Kata Liturgi berasal dari bahasa Yunani leitourgia (ergon: karya; leitos atau kata sifatnya laos: bangsa). Jadi secara harfiah, leitourgia berarti karya atau pelayanan yang dibaktikan untuk kepentingan bangsa. Sejak abad 4 SM, pemakaian kata leitourgia ini diperluas, yakni untuk menyebut berbagai macam karya pelayanan, demikian juga dalam arti kultus, leitourgia berarti pelayanan ibadah, karya untuk Allah. Ibadah sendiri berasal dari bahasa Ibrani Abodah yang berarti bakti, dan kemudian acaranya kita sering sebut kebaktian. Ketika kita memahaminya sebagai karya dan bakti kepada Allah, sudah tentu karya itu harus baik, bagus, teratur, khidmat, sebagai ungkapan syukur kita kepada Allah. Ibadah bukan merupakan karya pemimpin dan milik satu orang saja. Ibadah merupakan karya umat. Seluruh umat berkarya dan mengungkapkan syukur kepada Allah bersama-sama.
Ibadah merupakan suatu aktifitas agama yang dikemas sedemikian rupa sehingga tampak kesakralannya. Kesakralan itu dikemas melalui suatu tata liturgi, sehingga umat yang beribadah masuk dalam situasi yang khusuk, beralih dari dunianya, dari aktifitas kesehariannya, dan merasakan ‘kehadiran Tuhan’ (God Presence) di dalam ibadah itu. Pengertian lain memahamkan ibadah sebagai aktifitas pelayanan dalam ruang sosial, melalui serangkaian perbuatan baik, atau pekerjaan baik yang mendatangkan keadilan, kebenaran, kesejahteraan kepada orang lain/sesama. Ketika digunakan dalam lingkungan ritus agama, ibadah lalu dibawa masuk ke dalam hubungan antara Tuhan dengan umat. Bentuk relasi sosial tadi diubah menjadi suatu relasi ritual yang terkadang mistis. Karena itu aspek pelayanan dimengerti sebagai pelayanan ritual.
Aspek ekspresi umat sebetulnya yang menjadi hal penting dalam liturgi. Ekspresi yang muncul sebagai cara umat meresponi Tuhan yang telah menyatakan diri dan hadir di dalam kehidupan mereka. Orang-orang Yahudi lebih suka memahami tindakan itu sebagai ‘abodah’ yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai ‘wor[k]ship’. Kedua istilah itu menunjuk pada ada suatu sistem yang teratur di dalam tindakan melayani. Artinya sebuah realitas pelayanan itu tidak dilakukan secara serampangan, tanpa aturan dan tanpa tujuan.
Tidak sedikit para teolog praktika Indonesia yang merasa tidak puas melihat praktek liturgi Gereja-gereja di Indonesia masa kini, Salah seorang di antaranya J.L.Ch.Abineno dalam pidato Dies Natalis STT-Jakarta, pada tanggal 27 September 1962, mengungkapkan bahwa bentuk tata ibadah yang dipakai Gereja-gereja di Indonesia merupakan pengambilalihan dengan atau tanpa perubahan dari Gereja-gereja Barat. Pengimporan bentuk-bentuk dari barat ini telah terjadi berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus tahun lamanya. Hal senada juga disampaikan oleh Muller Kruger seorang teolog Jerman yang lama bekerja di Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk pelayanan yang diimpor dari Barat (oleh Gereja-gereja di Indonesia) diterima begitu saja, sehingga hampir-hampir tidak dirasakan sebagai bentuk-bentuk asing.
Rumusan dalam setiap unsur-unsur liturgi menggunakan kata-kata yang meskipun sulit dimengerti dianggap sudah baku dan tidak boleh diubah. H. Kraemer juga mencatat sekalipun Gereja-gereja muda telah merdeka atau otonom dan memerintah sendiri, tetapi dalam struktur dan gaya ekspresinya masih merupakan koloni spiritual dari Barat.
Terhadap kenyataan ini, beberapa pimpinan dan ahli teologi Gereja-gereja di Indonesia pada masa itu mulai sadar bahwa ternyata Indonesia belum lepas dari “penjajahan spiritual” karena semua liturgi pada waktu itu hanya merupakan warisan dan sebetulnya tidak relevan lagi untuk kebutuhan iman jemaat saat ini.
Di kalangan protestan, pembaruan liturgi sejalan dengan gerakan oikumenis. Puncak pembaruan adalah Liturgi Lima tahun 1982 di Peru melalui konferensi Komisi Iman dan Tata Gereja dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD). Secara umum telah terjadi penerbitan revisi buku-buku liturgi Gereja. Baik penyesuaian maupun gerakan liturgis memberi pembaruan pada unsur-unsur dalam liturgi. Tata ibadah termasuk tata ruang, para petugas, simbol-simbol, tata gerak, musik dan sakramen yang seluruhnya dalam liturgi ditempatkan dalam pemahaman kontekstualitas dalam semangat gerakan liturgi.