Bersekutu, Berkarya dan Bersaksi...

Sejarah Perkembangan dan Pembaruan Liturgi

Selama dekade abad dua puluh liturgi Gereja mengalami beberapa tahap perkembangan. Perkembangan itu terlihat dalam tahap warna ibadah dengan lahirnya berbagai bentuk simbol. Pada awalnya peribadahan Gereja berakar dari tradisi oral dan ritual di zaman umat Israel dalam Perjanjian Lama. Pengajaran di Bait Allah, Sinagoge dan rumah tangga cenderung dilakukan dengan ritual oleh para Imam (bnd Luk.4: 16-22). Bentuk pengajaran di luar ruang ibadah cenderung dilakukan dengan cara oral oleh orang-orang tua, para Hakim dan para Nabi (bnd Ul.6: 4-9).
Sejak lahirnya Gereja pada abad pertama hingga akhir Abad Pertengahan warna peribadahan Gereja sangat kuat pada tradisi oral, ritual dan visual dengan pemeran sentral ibadah adalah umat. Pengajaran kepada umat disampaikan melalui drama, homili, ritus-ritus, gambar, hari-hari raya, jenis-jenis ibadah dan berbagai benda pendukung liturgi. Pada masa kini umat mengenal kisah-kisah Alkitab dan pengajaran Gereja melalui peribadahan oral dan ritual tersebut.
Pada akhir Abad Pertengahan partisipasi umat dalam peribadahan lambat laun menurun karena perdebatan teologis tentang kedudukan klerus dan umat dalam Gereja juga karena perselisihan intern Gereja.
Reformasi membawa dampak perubahan warna ibadah dari ritual menjadi didaktik. Pada akhir Abad Pertengahan tampilan liturgi yang berpusat pada imam, sakramen, dan cenderung teaterikal digeser menjadi liturgi yang berpusat pada pemberitaan Firman Tuhan dan mimbar. Didaktik dalam liturgi hampir seluruhnya verbalisme dan tata gerak serta pemakaian simbol-simbol tidak terlalu ditekankan. Segala sesuatu: simbol, edukasi, misteri doa, komitmen, disampaikan secara verbal dari mimbar. Bersama dengan lahirnya peribadahan injili abad ke-19, altar call menjadi model ibadah yang dominan di sebagian besar di Gereja .